Menyerahkan Nyawa Tanpa Mengambil Nyawa. Pandemi Belum Pergi…, Ada Ledakan Bom Lagi….?

415
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Apakah gerangan ini?
Adakah hak kita mengambil nyawa
Sambil menyerahkan nyawa sendiri?

Minggu Palma, 28-03-21, Misa diawali ritual pemberkatan daun palma sebagai pembuka Pekan Suci. Air mata sempat menitik tanpa bisa dibendung saat mengikuti Misa on line. Bukan  sok religius dengan spiritualitas menawan lho. Aku sendiri tak tahu kenapa harus menangis dan untuk apa. Bukankah ini peristiwa sukacita di mana sesungguhnya  tengah memperingati manakala Yesus dielu-elukan memasuki tanah Yerusalem. Iringan lagu perarakan pun dengan  beat semangat namun hikmat.

di kala Yesus disambut di gerbang  Yerusalem,   umat bagai lautan dengan palma di tangan ….  Yerusalem .. Yerusalem lihatlah Rajamu… Hosana terpujilah Kristus Raja Maha Jaya……

Tuuh…, aneh kan! Dalam sukacita kok justeru ada air mata jatuh? Sekali lagi bukan mau sok melankolis, sebab seturut  judul film Indonesia besutan sutradara Richard Oh, yang salah satu bintangnya juga sutradara kondang Joko Anwar, Melancholy is a movement. Lalu buat apa air mata ini? Kutelisik hati sekejab, maka ketemulah jawabnya. Pasti keharuan menyeruak karena ini kali kedua mengikuti Misa Minggu Palma secara on line akibat pandemi menyapa bumi. Tak lagi bisa mengayunkan  daun palma di tengah kerumunan bersama orang-orang terkasih. Kini hanya dalam diam menatap layar kotak ajaib yang orang modern sebut perangkat digital.

Baiklah, satu tanya telah terjawab  dan saatnya menikmati minggu pagi. Tapi apa daya, relaksasi yang belum sempat terengkuh saja sudah langsung menguap terhalau kabar  berita ledakan bom bunuh diri di Katedral kota Makassar saat segelintir umat berupaya menghadiri misa off line di tengah pandemi virus yang masih mengintai jiwa manusia.

Haiii…. ingin kusampaikan pada….. hmmmm… pada siapa ya… ? Entahlah…,  tapi inilah yang ingin kusampaikan, baru saja aku berupaya memahami makna sebuah cinta kasih sesuai kalimat yang pernah terbaca: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawa kepada sahabat-sahabatnya.”

Izinkan aku sejenak membawa ingatan kita berkelana ke mesin waktu terdahulu. Setiap hari raya Natal atau Paskah tiba, ada denyut nadi tak biasa saat melangkah memasuki gereja.  Ini aneh! Kalau pinjam istilah Belanda dalam situasi galau-galau tersengat, begini mereka selalu berseru: “Het is echt niet normaal joh…”! Yang artinya kurang lebih,  “Ini sungguh nggak normal.”

Tja…! Kalimat yang tepat dipakai menggambarkan situasi jiwa saat aku melangkah beribadah pada hari istimewa itu. Apalagi sebelumnya sudah disertai surat edaran berisi ragam himbauan menyikapi situasi. Jelas… bikin makin kuatir.. mata jelalatan, gemetar kalau lihat orang bawa tas sedikit besar, bahkan baru sampai halaman pun sudah cemas diwarnai curiga atas nama waspada. Padahal aku sedang memasuki pintu gerbang tempat ibadah lho.., bukan mau merencanakan membobol kasir mini market. Bukan!

Tapi kenapa hati berdegup, gelisah di luar batas,  tak ada lagi ketenangan? Sudah barang tentu akibat pengaruh berita kejadian ledakan tak terduga hingga kerap merenggut nyawa saat beribadah. Manakala mulut komat kamit berdialog, kepala menengadah mohon ampun dalam kesenyapan relasi indah dengan sang pencipta, lalu…  dddwaaaaaarrrr…. tubuh terjengkang, nyawa melayang tanpa kata perpisahan pada orang tersayang. Entah sudah berapa kali kejadian sejenis dan sempat pula mereda, lalu kenapa hari ini di tengah pademi yang masih bersemi, ada lagi…?

Tempat yang seharusnya menurut otak kecilku bisa menyusupi damai, tetiba begitu menakutkan bahkan menggetarkan tempurung lutut bagai bergeser dari posisi. Pernah pula ada periode di mana menghimbau agar perayaan hari besar keagamaan tidak lagi dilakukan malam hari. Atas nama keamanan, Misa Malam Natal atau Malam Paskah dimajukan menjadi  lebih sore. Helloow.. namanya saja misa malam Natal/Paskah lho.. bukan sore Natal/Paskah kan…!

Tambah lagi dalam ritual perayaan selalu  ada upacara penyalaan lilin. Lalu sejumput tanya tersisa, masih adakah artinya cahaya di tengah sinar terang?  Bukankah cahaya akan terlihat dalam sebuah kegelapan. Kalau cahaya menyinari cahaya…, bagaimana ceritanya itu ya. Belum lagi tiba saat bersenandung lagu Malam Kudus dalam temaram lilin, tapi hari masih terang benderang.. bahkan senja pun belum menjelang.  Aduuh mak….! Kok kecerdasanku yang memang tipis ini jadi makin tak berfungsi buat sekedar memahami.

Oke oke…! Hari ini terjadi lagi.. sedikit mirip syair lagu Ariel Noah..  Dan terjadi lagi..  kisah lama yang terulang kembali lagi. .

Persis saat pembukaan Pekan Suci, seseorang telah ‘menyerahkan’ nyawa, di halaman sebuah rumah ibadah. Entah untuk siapa aku tak tahu…  untuk sahabat-sahabatnya kah.. sebagai tanda kasih yang besar hingga rela menyerahkan nyawa? Bukankah kasih yang dimaksud tadi adalah  menyerahkan nyawa untuk para sahabat? (tapi kan bukan sambil mengambil nyawa ‘sahabat’ lain kan ya.. *serius nanya lho….!

Permisiiii ..
Ini sekadar memaknai situasi
‘Kehidupan’ saja nyaris sudah dimatikan Pandemi  
Belum berlalu malah bermutasi
Akankah ledakan bom lagi….
Mewarnai ledakan angka kematian selama ini
Maafkan inilah tanyaku, tak bermaksud diskusi

Salam cinta: Ita Sembiring, Kotributor, Pekerja Seni

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here