Salib Bukan Nasib Malang atau Musibah Besar, Tapi Kisah Cinta Paling Agung

327
Pastor Herman Joseph Bataona CMF (memikul salib) dalam Jalan Salib bersama komunitas KPK Paroki St. Helena Karawaci di Sentul, Bogor 2019/Dok. Pribadi
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – SELURUH Liturgi Jumat Agung hari ini berpusat pada Salib Kristus. Kita baru saja merenungkan Jalan Salib Tuhan, dan nanti kita akan mendengarkan Kisah Sengsara yang dinyanyikan dalam Pasio. Puncak dari seluruh upacara hari ini adalah penghormatan dan Penyembahan Salib.

Dalam kehidupan sehari-hari, narasi hidup kita kerap ditilik sebagai “salib” terutama bila nasib malang atau derita hidup menimpa. Ketika orang sakit berat selalu dibilang itu salib; kalau orang kena musibah ataupun yang gagal dalam hidup itu juga salib; bahkan orang yang gagal dalam percintaan juga salib yang harus dipikul. Masih banyak deretan narasi pahit getir hidup ini yang selalu disamakan atau dianggap sebagai salib. Semua yang tidak baik selalu dibilang itu salib yang harus dipikul. Kalau bahasa orang lain mungkin yang dikatakan takdir, atau yang lain bilang karma.

Bila kita dalami makna salib, maka kita akan menemukan bahwa salib itu sebenarnya bukan suatu nasib malang yang harus diterima. Salib juga bukan sebuah musibah besar atau kecil yang menimpa dan kita tidak kuasa mengelaknya. Tapi, salib adalah satu-satunya jalan kita menuju keselamatan. Lewat salib, Tuhan menebus kita dari belenggu dosa dan maut. Dan salib bukanlah bad ending segalanya, sebab sesudah itu segera disusul cahaya Paskah – kebangkitan-Nya mulia, sebuah happy ending.

Dengan demikian salib mesti ditilik sebagai kisah cinta paling agung. Salib adalah perjuangan penuh pergumulan, dibarengi pengorbanan menuju kemenangan untuk bebaikan orang lain. Salib adalah ketika kita mau berjuang untuk orang lain, bahkan rela menderita untuk kebaikan.

Dari salib tercurah darah penebusan, bertabuh gaung pengampunan. Dari salib ada gema cinta dan pengorbanan. Gaung gema itu harus kita mainkan dalam pentas kehidupan ini.

Jangan sampai kita jadi pengecut dan bahkan pengkhianat seperti Petrus dan Yudas Iskariot. Ingat sebuah lakon kecil di halaman rumah Khayafas, ketika Petrus ditanya oleh seorang wanita, nyalinya langsung ciut dan ia menyangkal, “Aku tidak kenal orang itu”.

Kita pun akan sama seperti Petrus jika kita takut bersaksi tentang yang benar, jika kita takut membela sesama, atau takut mengambil resiko. Sikap ini termasuk dosa, karena kita tega membiarkan orang lain menderita tanpa membela. Sebagai contoh di beberapa tempat ada berita orang-orang mengusir perawat yang siang malam merawat pasien Covid-19, karena tidak mau wilayah mereka terancam kena virus. Banyak orang cari aman, tidak mau ambil resiko. Berani berjuang, berani membela sesama yang menderita adalah bagian dari ziarah salib kita saat ini.

Hanya merasa iba lalu lalu meneteskan air mata saja belum cukup. Karena itu sama dengan para wanita Yerusalem yang menangisi Yesus di jalan salib-Nya. Kita dituntut untuk maju satu langkah lagi, berani ambil risiko seperti Veronika yang mendobrak khalayak untuk menyapu wajah Yesus. Sebuah keberanian untuk menerobos tatanan, gengsi, harga diri, dan lain-lain untuk memberikan rasa setia kawan kepada yang menderita. Atau seperti Simon Kirene yang berani maju menerima salib Yesus dan bantu memikulnya bersama Dia.

Sadar atau tidak, dalam hidup ini, kita terus berjumpa dengan Yesus yang sedang memikul salib berat. Mari kita buka mata, mari kita terobos tatanan dan belenggu keseharian untuk berjumpa dengan Yesus yang hadir dalam wajah sesama yang menderita, terutama mereka yang diperlakukan tidak adil, diteror, diintimidasi. Mari kita saling membantu sekuat mampu kita memikul Salib hidup ini menuju Golgota mencapai kemenangan dan kemuliaan Paskah.

Pastor Herman Joseph Bataona, CMF/Dok. Pribadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here