Membaca Pesan Paus pada Hari Komsos ke-55, Errol Jonathans Merasa Disentil Paus Fransiskus

148
Paus Fransiskus menyapa umat di Lapangan Santo Petrus, Vatikan.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – HAMPIR semua media ambruk dan harus mengencangkan ikat pinggang. Direktur Utama Suara Surabaya Media, Errol Jonathans mengemukakan hal tersebut ketika ditanya apa tantangan yang dihadapi Suara Surabaya Media pada masa pandemi.

Sejak awal, Suara Surabaya sudah ditetapkan sebagai radio dengan format jurnalistik. Suara Surabaya tidak bisa melakukan work from home, karena konsepnya siaran secara interaktif. Jadi mau tidak mau terjun ke lapangan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Errol justru memanfaatkan pandemi ini untuk menancapkan Suara Surabaya yang lebih besar lagi. “Isu mengenai Covid itu diangkat dan formulasikan, kami menjadi partner yang kuat bagi  pemerintah lokal, provinsi. Kami memberi sosialisasi dan validasi. Menurut saya, dengan adanya pandemi, Suara Surabaya bisa mengambil peran yang sangat besar. Sekarang ini masyarakat membutuhkan banyak fakta karena mereka hampir setiap hari di bombardir dengan berita yang tidak jelas, berita rekayasa, atau kesalahpahaman informasi, dan sebagainya,” jelasnya.

Back To Basic

Ketika membaca pesan Paus, Errol merasa “disentil”. “Paus bukan seorang jurnalis namun bisa mengungkapkan hal yang paling hakiki tentang kegiatan jurnalisme, tentang kegiatan kemediaan. Datang dan Lihatlah. Artinya, pegiat media harus turun ke lapangan dan membuktikan sendiri. Seorang jurnalis harus berada di situasi yang sedang dilaporkan. “Sebagai media, kami  harus bisa menjadi alternatif  atau menjadi tempat orang untuk memvalidasi berita-berita yang telah beredar. Sehingga di Suara Surabaya pun sering saya manfaatkan. Begitu ada kabar-kabar tertentu yang beredar di WhatsApp Group, kami jadikan bahan. Kami olah dengan  narasumber yang tepat. Setelah kami kemas ulang, kami share kembali ke media sosial,” jelas Errol.

Errol Jonathans

Fenomena yang terjadi adalah semenjak pandemi dan membuat orang untuk menjaga jarak, tidak sedikit para pegiat media yang sudah tidak lagi terjun ke lapangan. Hanya duduk manis dan mengolah rilis. Beberapa narasumber juga enggan ditemui secara tatap muka, maka ada beberapa yang wawancara melalui daring. Mengutip dari Bill Kovach & Tom Rosenstiel  dari Buku  “The Elements Of Journalism (2001)”:  ‘Journalism’s First Obligation Is To The Truth.  “Its Essence Is A Dicipline Of Verification”, Errol menghimbau pegiat media untuk kembali ke dasar, back to basic. “Kalau membaca dengan utuh, himbauan Paus Fransisku sangat jelas. Kekuatan media arus utama yang kita bisa ambil yaitu ketika kita kembali kepada yang dasar-dasar jurnalisme,” tegasnya.

Menurut Errol, pesan Paus tidak diperuntukkan hanya bagi pegiat media. Umat Katolik juga diharapkan  membaca pesan Paus ini. Errol mmeberikan suatu pertanyaan . “Bisa tidak saya punya sikap ketika menerima informasi dari WA Group saya tidak langsung buru-buru forward,  tapi kita cek terlebih dahulu dengan sumber yang kredibel. Jangan bangga jika menjadi orang pertama yang menyebarkan, tetapi malah bikin kacau. Saya rasa pesan Paus bisa berlaku untuk dua pihak, yakni pekerja media dan juga untuk umat Katolik yang harapannya menjadi pelopor pewarta kabar- kabar baik,” ungkap umat Paroki St. Yakobus, Surabaya ini.

Bukan Alasan

Pandemi bukan alasan wartawan menjadi lupa akan kerja jurnalistiknya. Hal ini diungkapkan oleh  Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, Stefanus Teguh Edi Pramono ketika diwawancari secara daring, Jumat, 30/4/2021. Pramono memang menyetujui bahwa sejak pandemi cukup sulit bertemu secara tatap muka dengan narasumber. Kalaupun akan bertemu, Pramono menghimbau agar wartawannya ‘melek’ bahwa tempat tersebut cukup aman . Protokol kesehatan terus menerus diketatkan. Namun bukan berarti wartawan lupa akan kerja jurnalistiknya yakni memverifikasi.

Stefanus Teguh Edi Pramono

Menurut wartawan yang sudah tiga tahun mendiami divisi investigasi ini, seorang wartawan tidak bisa asal menulis begitu saja. Karena yang ditampilkan adalah fakta dan data, maka harus ada verifikasi. Ia membagikan pengalammanya ketika harus menyamar sebagai TKI untuk mencari berita.  “Jelas sekali dalam pesan Paus mengenai verifikasi yakni datang dan lihat. Dengan verifikasi, wartawan dapat memilah bahwa fakata  atau berita yang ditemukan itu benar atau tidak. Memang membutuhkan waktu yang dalam proses kerja jurnalistik,” jelas Pramono.

Hal kedua yang susah dijaga oleh pihak media ketika pandemi adalah  independensi. Sudah kewajiban semua media adalah memberitakan sesuai dengan fakta dan independensi sangat mahal. Media harus menjadi suara bagi mereka yang tak mampu bersuara. Mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk berbicara. Kepada merekalah media wajib berpihak.

Paus Fransiskus mengungkapkan keprihatinannya atas liputan investigasi yang original diganti dengan narasi ygang tendensius. Bagi Pramono, publik mempunyai kencedengrangn langsung percaya terhadap berita yang mereka dapatkan. Tidak cek lagi dan langsung sebar.

“Publik mempunyai kebiasaann langsung percaya bahkan dengan membaca judul saja. Tidak melihat isinya bagaimana dan tidak melakukan proses verifikasi. Verifikasi ini tidak hanya dilakukan di dapur media, tetapi sebetulnya harus dilakukan oleh yang menerim berita,” terangnmya.

Pramono yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik selama 10 tahun lebih, menghimbau agar para wartawan hendaknya tetap fokus menghadirkan fakta. Apapun kondisinya. Pesan Paus Fransiskus sangat relevan bukan untuk media saja. Tetapi untuk para pembaca, publik yang mudah percaya pada kabar bohong dan tidak melalukan verifikasi.

Bertanggung Jawab  

Margareta Astaman, kerap disapa Margie mengakui bahwa pandemi telah memberikannya kesempatan untuk lebih produktif. Justru salah satu buku yang ia garap bersama suatu komunitas bisa rampung di masa pandemi. Riset dan wawancara pun dilakukan secara daring. Kendati demikian, menurut CEO PT Nusantara Segar Global ini dikarenakan pandemi beberapa elemen riset seperti observasi lapangan ke berbagai daerah di Indonesia tidak dapat ia lakukan.

Margareta Astaman

“Ini tantangan karena dalam wawancara via video, tidak semua clue dan elemen observasi dapat  saya lihat jelas. Terlebih wawancara daring tidak senatural dan sesantai wawancara langsung. Namun dengan kondisi ini, hal-hal lain yang biasanya kita anggap benar bisa lebih diperhatikan, seperti validasi jawaban dengan narasumber, riset latar belakang suatu area atau kelompok, sehingga membantu memahami materi konten sesuai konteks,” terangnya.

Dalam pesannya, Paus Fransiskus menekankan bahwa masa pandemi ini telah membuat kita semua menjaga jarak. Karena itu, tantangan untuk datang, melihat sendiri peristiwa-peristiwa dari dekat, dan mengalami langsung menjadi semakin nyata. Menurut Margie, pertemuan secara langsung memang tidak tergantikan, namun dalam masa pandemi saat ini, ia rasa umat juga bisa memaknai pesan Paus dalam konteks gerak yang dimungkinkan saat ini, yaitu untuk tetap ‘datang dan lihat’ di setiap media komunikasi yang saat ini digunakan.

Bagi Margie, dalam dunia digital, orang mudah merasa ‘dekat’ dan seolah ‘mengalami langsung’, karena setiap informasi bisa dikonsumsi langsung dalam jangka waktu yang singkat lewat gadget yang terasa personal (personal computer maupun ponsel). Justru ini merupakan jebakan sesungguhnya. Perasaan ‘mengalami langsung’ itu justru membuat orang menjauhi narasumber sebenarnya, tidak bersikap kritis terhadap berita yang datang, atau justru menjadi agen penyebaran berita bohong yang tidak kita verifikasi.

“Seperti dalam pesan Paus, kita semua bertanggung jawab atas komunikasi yang kita buat.’ ‘Datang dan lihat’ dalam dunia komunikasi digital bisa diartikan dengan mengambil tanggung jawab lebih atas konten yang masuk ke jejaring sosial kita dan kemudian kita sebarkan. Memastikan terlebih dahulu keabsahan konten yang kita terima, melakukan riset tersendiri dan menemukan nilai yang perlu dibagikan, sebelum kita membagikan atau mempercayai konten tersebut,” tegas Margie.

Sebagai pelaku digital, Margie merasa pesan ini terasa begitu kencang menyerukan melawan hoax. Di tengah masa pandemi seperti saat ini, berita hoax banyak bertebaran dan ini meresahkan masyarakat. “Pesan Paus juga menegaskan bahwa semua bisa berperan, baik kalangan media sebagai pencipta berita, maupun kita sebagai agen penyebar berita dan konsumen konten. Selalu melakukan verifikasi konten dan bersikap kritis. Di masa sulit dan penuh keterbatasan ini, kita tetap bisa bertanggung jawab atas konten yang lewat dari gadget kita, untuk menjadi saksi kebenaran, bukan saksi kebohongan,” pungkas penulis buku ‘Stalking Indonesia’ ini.

 Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No.20, Tahun ke-75, Minggu, 16 Mei 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here