BERCUCURAN KERINGAT DAN AIR MATA MERAIH DIRIMU!

300
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – BEGITU melihat kok jatuh di luar garis, Apriyani langsung merebahkan diri di sudut kiri belakang lapangan, sedangkan Greysia berlari kecil dengan lucunya. Setelah tayangan gerak lambat yang memastikan kok yang dipukul lawan jatuh di luar garis, maka keduanya  berteriak, saling berpelukan, lalu menangis sesungukan dalam pelukan pelatih Eng Hian. Suatu luapan kegembiraan sekaligus pelepasan rasa tegang, karena telah memastikan satu medali emas berhasil diraih tim Indonesia dalam Olimpiade Tokyo 2020.

Medali Emas Olimpiade Tokyo 2020 yang begitu didambakan ini dirancang oleh seniman Junichi Kawanishi. Berdiameter 85 mm, tebal antara 7,7-12,1 mm dan berat 556 gram, sejatinya 92,5% adalah perak dan hanya  dilapis 6 gram emas. Harganya sekitar 11,5 juta rupiah. Namun medali emas ini adalah  dambaan terbesar serta puncak pencapaian atlit level dunia, entah amatir maupun  profesional. Contohnya Novak Djokovic asal Serbia, atlit tenis professional ranking satu ATP, pemegang 20 juara Grand Slam, datang ke Tokyo dengan tekad besar untuk meraih emas, namun apa daya kalah disemifinal  dari Alexander Zverev (Jerman). Bahkan medali perunggupun gagal ia raih.

Untuk meraih medali Olimpiade, dipastikan butuh latihan bertahun-tahun serta perjuangan melelahkan menempuh berbagai kejuaraan kualifikasi untuk mengumpulkan poin. Bila poin cukup dan memenuhi persyaratan lain, baru dapat lolos tampil dalam Olimpiade. Setelah lolos, perjuangan lebih keras menghadang mulai dari babak-babak pendahuluan sebelum akhirnya tampil di final. Khusus Olimpiade 2020 ini semua atlit selama di Jepang harus waspada terhadap musuh tak kasat mata, siapa lagi kalau bukan Covid yang selalu mengintai. Karena si Covid ini pula, para atlit berjuang tanpa dukungan sorak penonton yang biasanya menjadi bahan bakar ekstra seorang atlit.

Perebutan medali Olimpiade Tokyo 2020, yang penyelenggaraannya terpaksa ditunda selama satu tahun, diwarnai berbagai kejutan. Greysia/Apriyani merupakan pasangan nonunggulan, telah mengejutkan dunia karena meraih emas dengan mengalahkan para pemain Jepang, Korea, China yang jauh lebih diunggulkan. Kejutan juga diciptakan oleh lifter Indonesia, Rahmat Erwin Abdullah yang baru berusia 20 tahun. Tampil di grup B, kelompok junior yang dianggap belum berprestasi, Rahmat malah berhasil menoreh total angkatan 342 kg. Angka yang mengalahkan sebagian besar lifter yang berlomba di grup A. Rahmat  meraih perunggu. Atau kejutan lain, saat Ariarne Titmus (20 tahun) atlit renang Australia, mencatat waktu 1:53:50 (OR) 200 m gaya bebas. Dia mengalahkan K. Ledecky ratu renang dari USA yang menjadi favorit, bahkan juga di nomor 400 m gaya bebas.

Namun ada satu kejutan yang  sungguh membuat trenyuh. Bila biasanya persaingan sengit mewarnai perburuan medali emas, pada peristiwa  ini justru kuat diwarnai rasa persahabatan dan sportivitas tinggi. Momen final lompat tinggi pria, atlit Italia Gianmarco Tamberi dan Mutaz Essa Barshim asal Qatar, melompat setinggi 2,37 m. Tiga kali upaya memperbaiki lompatan pada ketinggian 2,39 m, mereka sama-sama gagal. Sesuai aturan, mereka diberi satu kali kesempatan lagi. Tapi Tamberi mundur karena mengalami  cedera pada kakinya. Kesempatan emas bagi Mutaz, karena saingannya sudah mundur. Namun ia justru bertanya pada panitia, kemungkinan berbagi medali emas. “Apakah emas dapat dibagi di antara kami berdua jika saya mundur dari kesempatan terakhir ini?” tanya Mutaz. Petugas mengkonfirmasi bahwa itu bisa dilakukan. Spontan Mutaz Essa Barshim  memutuskan menarik diri, sehingga ia dan Gianmarco Tamberi meraih medali emas. Mendengar hal diluar dugaan ini, Tamberi langsung melompat dan memeluk erat  Mutaz, lalu ia berlari dan berguling-guling serta berteriak suka cita. Tentu saja Mutaz juga melakukan selebrasi akan keberhasilannya. Ternyata Tamberi dan Mutaz di luar arena adalah dua orang sahabat kental. Mereka berdua pada waktu yang berbeda, pernah mengalami cedera yang hampir membuat kandas karier mereka sebagai atlit. Tapi saat itu mereka saling memberi semangat dan menguatkan. Dan kini mereka datang ke Jepang untuk menunjukkan bahwa nilai persahabatan lebih tinggi dari sekadar ego menjadi nomer satu. Sungguh menyentuh hati.

Gianmarco (kanan) dan Mustaz (tengah)

Haru biru perjuangan para atlit peserta Olimpiade telah berakhir. Selamat kepada Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Selamat juga kepada Eko Yuli Irawan, Windy Cantika Aisah, Rahman Erwin Abdulla, dan Anthony Sinisuka Ginting. Selamat kepada tim pelatih cabor bulutangkis dan angkat besi. Terima kasih kepada 23 atlit lainnya dan semua pelatih yang telah berjuang namun belum berhasil. Kini saatnya kembali bersemangat bersiap diri untuk lebih baik di Olimpiade Paris 2024. Jaya Indonesiaku!

Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPPKS Tangerang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here