Perjalanan Hidup Misionaris Belanda Terakhir di Keuskupan Amboina: Pastor Kees Böhm, MSC

812
Pastor Cornelis Böhm, MSC/Dok. Pribadi
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM-NAMA Pastor Cornelis Johannes Böhm, MSC tidak asing di telinga Umat Katolik Keuskupan Amboina. Pastor Kees atau Böhm sudah mengabdi sebagai imam di Keuskupan Amboina selama 55 tahun. Lebih dari setengah abad ia menghabiskan hidupnya di Keuskupan Amboina dan tak pernah menjadi misionaris di luar Keuskupan Amboina.

Pastor Cornelis Böhm, MSC/Dok. Pribadi

Ia menjadi misionaris asal Belanda terakhir yang bekerja di Keuskupan Amboina. Sebelumnya umat Keuskupan Amboina pernah mengenal sosok-sosok misionaris asal Belanda seperti almarhum Mgr. Andreas Peter Cornelius Sol, MSC (Uskup Amboina) atau almarhum Pastor Wim Zomer, MSC yang dikenal misionaris yang suka bersepeda sekaligus penganggas berdirinya Credit Union Hati Amboina.

Hati Kudus Yesus
Pastor Böhm dikenal sebagai sejarahwan tentang Gereja Katolik di Maluku sekaligus tentang Gereja Kristen Protestan. Banyak penutur sejarah kerap meminta referensi tentang sejarah Gereja Maluku kepada Pastor Böhm. Banyak juga tulisan-tulisan tangannya tentang sejarah Gereja di Maluku. Usianya tidak mudah lagi 86 tahun pada November 2021, tetapi semangat pelayanannya tak pernah pudar.

Pastor Böhm lahir di Saantport, Velsen, Belanda pada 5 November 1935 dari pasutri Bernardus Johanis Bӧhm dan Geertruida Maria Glas. Anak kedua dari dua orang bersaudara ini sejak kecil memang sudah memiliki keinginan kuat untuk menjadi misionaris. Kees, begitu sapaan masa kecilnya, begitu tertarik dengan para Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) yang kebetulan melayani di parokinya.

Pastor Cornelis Böhm, MSC/Dok. Pribadi

“Sejak kecil saya pernah mendengar cerita tentang Indonesia dari beberapa misionaris MSC, khususnya tentang misi di  Papua. Saya juga begitu tertarik tentang kisah St. Fransiskus Xaverius yang tiba di Maluku,” tulis Pastor Böhm suatu ketika kepada HIDUP yang terangkum dalam Rubrik Kesaksian edisi 22  November 2014 lalu.

Apakah harapan dan cita-citanya menjadi imam berjalan mulus? Tidak sebab nyatanya Pastor Böhm justru menemukan kendala. “Ayah saya tidak ingin saya menjadi imam. Maklum saya anak laki-laki satu-satunya. Kakak saya perempuan,” ceritanya lagi.

Dengan keinginan yang gigih, Kees kecil dengan dibantu seorang guru akhirnya bisa mendaftarkan diri di seminari sebagai calon imam. Ketika lulus, dia menyampaikan niatnya ini kepada orang tua dan betapa terkejut sang ayah. “Jangan menjadi imam yang setengah-setengah. Imam itu harus dekat dengan Tuhan. Jangan permainkan kepercayaan Tuhan,” ujar sang ayah dengan raut pasrah waktu itu.

Dengan restu orang tua, Kees menjalani panggilan di seminari menengah lalu masuk Seminari Tinggi dan memilih sebagai imam MSC. Soal pilihan ini, Pastor Böhm membeberkan bahwa semangat Hati Yesus yang membara sebagaimana tergambar dalam Kitab Suci yang melayani orang sakit, membantu orang miskin, membangkitkan orang mati, menjadi suatu daya pikat baginya untuk bisa seperti Kristus.

“Ini suatu panggilan jiwa yang sebenarnya tidak bisa saya gambarkan. Panggilan itu seperti rahasia saya dengan sang Ilahi. Ketika Dia memanggil, saya cukup mendengarkan dan mengikuti suara-Nya.”

Tahbisan Imam

Terbilang belia, 24 tahun Kees ditahbiskan imam di Belanda, tepatnya 4 September 1960 oleh Mgr. Antoon Konings, SMA, seorang uskup dari Society of African Missions (Uskup Emeritus Kheta-Ho, Ghana, Afrika). Setahun setelah tahbisan, ia kehilangan sang ayah pada Januari 1961, dan dia sendiri sebagai imam yang memimpin ibadah saat itu. “Jadi Misa pemakanam pertama saya adalah untuk ayah,” kenangnya waktu itu.

Pastor Kees Bertens, MSC (kedua dari kiri) dan Pastor Bohm (ketiga dari kiri) bersama rekan-rekan yang baru ditahbiskan di Belanda/Dok. HIDUP

Tugas perdana Pastor Böhm adalah mengajar di Seminari Menengah di Tilburg, Belanda selama 4 tahun. Dalam suatu kesempatan, sebagai staf pengajar ia bertemu dengan Uskup Amboina Mgr. Andreas Peter Cornelius Sol, MSC yang sedang berlibur ke Belanda. Uskup Sol lantas menawarkan sebuah daerah misi kepada Pastor Böhm yaitu Maluku.

Tanpa banyak berpikir, Pastor Böhm lantas menerima tawaran itu. Bak durian runtuh, mendengar tawaran itu karena itulah harapannya untuk bisa mengabdi di Maluku dan Papua. “Maluku dan Papua adalah dua daerah misi yang saya inginkan. Maka tawaran ini tidak saya tolak. Saya lantas bertanya kapan saya bisa berangkat ke Maluku?” ceritanya.

Sejurus kemudian, ia belajar bahasa Indonesia dari Pastor Paulus Rademeker, MSC. Pastor asal Belanda ini pernah melayani di Indonesia khususnya Sulawesi Utara. Pastor Böhm cepat menangkap dan menguasai bahasa Indonesia. Ia juga mahir dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan Latin.

Tiba di Nusantara

Tak butuh waktu lama, pada 4 Desember 1966, Pastor Böhm tiba di Jakarta. Sebulan kemudian, ia tiba di Keuskupan Amboina. Ia sempat tertahan selama 4 hari di Kota Ambon sebelum pindah ke Langgur, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara pada Februari 1967.

Tugas perdananya adalah sebagai Pastor Paroki di Waur, Kei Besar, Maluku Tenggara. “Waur waktu itu sangat sulit. Masyarakat hidup dalam kesederhanaan. Saya harus menyesuaikan diri dengan situasi setempat,” sebutnya sambil menambahkan, “Tetapi umat senang karena mereka baru melihat seorang misionaris kulit putih.”

Pastor Cornelis Böhm, MSC/Dok. Pribadi

Tugas ini tak berlangsung lama sebab 8 bulan kemudian, ia diangkat sebagai Rektor Seminari St. Yudas Thadeus Langgur. Sejak menjadi rektor, ia membenahi bidang akademik khususnya bahasa Latin di seminari.

Pembinaan calon imam itu tidah mudah karena Keuskupan Amboina baru saja menjadi keuskupan mandiri pada 3 Januari 1961 dengan Mgr. Jacobus Grent, MSC sebagai ordinaris wilayah yang pertama. Pada tahun 1965, Mgr. Andreas P.C. Sol, MSC menggantikan Mgr. Jacobus Grent MSC sebagai Uskup Amboina.

Pastor Cornelis Böhm, MSC bersama para Suster TMM/Dok. Pribadi

“Mgr. Sol menetapkan standar lulusan khususnya bidang akademik yaitu bahasa Latin dan Inggris wajib bagi para seminaris. Tidak saja itu, kita harus membina calon-calon imam agar bisa bersaing di seminari tinggi nanti,” ceritanya.

Karya Pelayanan

Tahun 1975, Pastor Böhm berpindah dari Kepulauan Kei ke Kota Ambon sebagai Pastor Paroki Sta. Maria Bintang Laut, Benteng. Selanjutnya tugasnya terus berpindah sebagai kepala paroki tidak saja di Kota Ambon tetapi di beberapa paroki di wilayah Kepulauan Tanimbar. Tahun 1980-1995 menjadi Rektor Seminari St. Yohanes Maria Vianey Saumlaki, Kepala PGA; dan Wakil Uskup Kepulauan Tanimbar.

Antara tahun 1995-2008, ia menjadi Kepala Paroki St. Yakobus Ahuru, Ambon. Selanjutnya tahun 2008-2012 menjadi Kepala Paroki St. Yoseph Rumah Tiga, Ambon sekaligus menjadi staf pembina bagi para frater teologi di Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon. Dalam masa itu, ia sempat menjadi Kepala Paroki St. Yohanes Maria Vianey Halong, Ambon. Tahun 2015-2021, Pastor Böhm menjadi Dosen Pengajar di Sekolah Tinggi Pastoral Agama Katolik St. Yohanes Penginjil Ambon.

Pastor Cornelis Böhm, MSC/Dok. Pribadi

Pada 20 Agustus 2021, Pastor Böhm dipanggil Tuhan. Ia dikabarkan sempat terjatuh di ruang kerjanya karena tiba-tiba pusing. Ia baru ditemukan oleh sopirnya 30 menit kemudian. Pastor Böhm sempat dilarikan ke RSUP Leimena Kota Ambon tetapi nyawanya tak tertolong. Selamat jalan misionaris Terakhir di Keuskupan Amboina.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here