WARISAN

173
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM

Terjual!

Tangan keriput Ibu bergetar memegang bolpen menggoreskan tanda tangan pada kwitansi pembayaran tanah di kaki Gunung Sibayak wilayah Sumatera Utara. Ludi anak tertua penuh kasih membantu Ibu tetap tegak di kursi. Ruwi adiknya beberapa kali membetulkan letak alat bantu dengar di telinga kanan Ibu lalu membisiki  apa yang tengah terjadi. Nuni si bungsu spontan berucap lega, “Akhirya selesai juga.”

Ya, Ruwi dan Nuni beberapa tahun belakangan sibuk mencari pembeli tanah warisan Ayah yang selama ini memang tak pernah digunakan keluarga karena tinggal berjauhan. Sudah lama seperti tak bertuan baik selama ayah masih hidup, apalagi setelah tiada. Tapi Ibu tak pernah mau menjual meski beberapa kali Ludi, Ruwi dan Nuni membujuk agar di jual, ditukar dengan aset serupa di sudut kota Jogjakarta tempat mereka berdomisili kini.

***

Garis wajah Ibu mengeras.

Meski tidak kuat berdiri, ditambah pendengaran terganggu termakan usia, tetapi dalam berpikir dan bersikap Ibu masih sangat teguh. Bercucuran air mata Nuni memohon mendapat sedikit bagian dari warisan karena sedang kesulitan keuangan. Ruwi pun tak tega melihat adik bungsunya, ikut membujuk Ibu agar berkenan membagi sedikit ke anak-anak.

“Uang warisan bukan untuk dibagi-bagi,” sahut Ibu berwibawa meski diucapkan teramat pelan dan tenang. Ibu memang wanita lembah lembut, tak suka mengeluh, nyaris bebas amarah tapi jangan coba-coba mengusik. Langsung  berubah total melebihi singa gondrong. Itu pun belum tentu terjadi satu kali dalam satu dasawarsa. Tetapi pernahlah sekali disaksikan Nuni di masa lalu.

“Nuni dalam kesulitan, Bu,” timpal Ruwi mendukung adiknya di samping dia sendiri juga sesungguhnya butuh uang. Pemilik kontrakan sudah memenuhi pesan-pesan WAnya.

“Kalian bukan anak kecil yang harus Ibu santuni. Sudah dewasa dan bertanggung jawab atas hidup masing-masing,” tegas Ibu tapi tetap penuh kasih.

“Ibu buat apa sih uang sebanyak itu…? Sudah tua juga.. mau ke mana….? Liburan enggak kuat lagi, beli baju juga mau dipakai ke mana…? Sekalian beli toko bajunya saja uang itu masih berlebih. Aku cuma minta bagian sedikit…….!” Nuni mulai hilang kontrol, antara memelas tetapi juga menyimpan amarah tak terurai.  Merasa ibu sangat tidak kooperatif apalagi peduli akan kesusahannya.

“Terserah Ibu, buat apa…. ! Uang Ibu kan…!”

“Tapi itu warisan Ayah. Aku anak ayah berhak dong, Bu!”

“Nanti kalau Ibu sudah tiada, kamu berhak. Sekarang belum! Selama masih hidup, ini milik Ibu,” suara Ibu lembut, bahkan berucap tanpa emosi, tetapi tetap terdengar kurang enak. Membangkitkan tumpukan kesal Nuni. Meski sedikit lebih sabar, Ruwi juga sepaham dengan Nuni, sebagai anak ayah layak menerima bagian apalagi demi meringankan beban anak-anak yang terjepit kesulitan di tengah pandemi tak berujung entah kapan berakhir. Pun saat berakhir, entah sudah bagaimana kondisi keterpurukan ini. Bangkit atau semakin nyungsep.

Nuni mulai nyerocos menumpahkan kesal. Sesekali ditimpali Ruwi dengan tingkat kecewa lebih tipis sedikit sebab sesekali masih berusaha menyadarkan adiknya kalau ibu memang berhak sepenuhnya selama masih hidup.

“Iyaaaa….tahuuuuu….milik Ibu! Aku bukan bilang milikku. Hanya minta belas kasihan Ibu. Enggak salah kan….!” Nuni mulai meninggi.

Dengan santai Ibu malah melepas alat bantu dengar dan mereka terkesima. Sudah merupakan isyarat tajam, melepas alat bantu dengar  sebagai pengganti kalimat serupa dalam syair tembang lawas Rod Stewart, “I don’t want to talk about it!”

Tanpa debat, Nuni pamit. Mencium tangan Ibu sekadarnya akibat masih dongkol.  Ruwi masih berusaha menenangkan Nuni.

“Nanti kita minta bang Ludi yang bicara ke Ibu,” bujuk Ruwi.

“Enggak perlu.., cuma bikin makin terpuruk. Bang Ludi pasti setuju sama Ibu. Diakan enggak punya beban finansial,” tolak Nuni

“Jangan begitu. Dia pengganti Ayah kita. Selalu punya jalan keluar…,”

“Aku juga punya jalan keluar,” Nuni masih dongkol.

“Naah…. gitu dong. Seperti Ibu bilang tadi.., kita sudah dewasa, harus bisa mengatasi masalah sendiri.”

“Ini jalan keluar kan…….,” Nuni sinis sambil mendorong pintu gerbang rumah Ibu lalu keluar. Masuk mobil banting pintu, tancap gas menyusuri jalan raya. Air matanya mengucur tak mengira kekerasan hati Ibu tidak selembut sikapnya selama ini.

***

Perawat berkerudung biru mengganti botol infus Ibu. Sudah 6 kali dan Ibu  terlihat lebih segar meski pergerakan melambat. Ini bukan soal usia Ibu ke-83 yang membuat melemah tetapi penyakit mulai menggerogoti.  Nuni mendapati Ludi dan Ruwi duduk di samping tempat tidur mencoba berkomunikasi. Nuni mendekat dengan kecamuk rasa yang dia sendiripun tak paham mendefenisikan. Sedih tak terperi melihat kondisi ibu tanpa daya. Bola matanya berputar mengikuti arah langkah Nuni hingga mencapai tepi ranjang. Nuri balas menatap penuh kasih dan penyesalan.

“Maaf, Bu! Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran Ibu. Tetapi selalu melihat hasil sempurna dari pemikiran itu. Ibu paham betapa Ayah sangat tahu mempersiapkan kebutuhan Ibu,” air mata Nuni menitik satu per satu, raut wajahnya berselubung duka.

Betapa telah salah menilai Ibu yang dianggap menolak membantunya. Padahal Ibu tinggal menjentikkan jemari pun bisa menyelesaikan, namun malah membiarkan. Tetapi ternyata Ibu telah mengajarkan ilmu hidup dalam berupaya lebih keras dan makin bertanggung jawab. Sebaliknya Ibu dengan kebijaksanaan dalam ketenangan yang sekilas tampak misterius telah mempersiapkan diri untuk tidak menyusahkan  meski kondisi raga teramat susah. Ibu seolah tidak peduli kesusahan anaknya padahal karena tak ingin menyusahkan mereka. Betapa simpelnya Ibu berpikir tetapi hasilnya mencengangkan.

Tiba-tiba Nuni merasakan kehangatan jemari Ibu yang diangkat susah payah, meraih kepalanya perlahan ke dada Ibu, lalu berbisik mesra.  “Sebagian istri menjual peninggalan suaminya demi menyelamatkan situasi sesaat  tanpa berpikir apa bakal terjadi kemudian. Tapi aku kenal betul Ayahmu yang selalu menyiapkan segala sesuatu untuk jangka panjang. Semoga kamu paham anakku.”

Nuni terkesima! Perasaan berkecamuk, sedih, menyesal dan bahagia berpadu dalam sebuah pemahaman. Betapa cinta dan tanggung jawab Ayah begitu besar pada Ibu kekasih hatinya. Mempersiapkan kebutuhan Ibu meski Ayah sudah tidak mendampingi. Tidak sedikit biaya pengobatan Ibu di masa tua,  dan tak sekalipun Ibu menyusahkan dengan membiayai sendiri dari hasil peninggalan ayah. Tahu persis pada saat butuh, ayah sudah tidak menemani Ibu.

Nuni terus mensyukuri sikap Ibu meski sempat kecewa dan prasangka.  Sulit membayangkan bagaimana andai warisan sudah dibagi kepada tiga anak, lalu mempergunakan dengan cara masing-masing. Lantas Ibu terbaring  seperti sekarang, pasti seliweran drama keluarga selama proses perawatan. Berkat kebijakan  mengelola warisan dengan perhitungan kapan menyimpan dan bilamana melepas, maka semua terkendali.

Entah bagaimana  membiayai pengobatan mahal dan membutuhkan perhatian ekstra dalam situasi sulit. Salah satu anak akan bilang, duit dan tenaga habis. Atau tenaga sudah tercurah, jadi kalau masalah uang menyerah sajalah. Bahkan pasti ada yang lebih ekstrem akan bilang, uang tak punya, waktu untuk menjaga ibu juga tidak ada karena harus bekerja menghidupi keluarga.

Arrrrgggggghhhhhh…..! Nuni menutup telinganya berusaha melepas semua kalimat yang terngiang mengganggu pikiran. Masih bercucuran air mata Nuni memeluk Ibu. Secara ajaib tangan Ibu kembali terangkat membelai kepala Nuni karena masih terisak di tepian ranjang. Perlahan Ibu mengambil tiga amplop putih  dari bawah bantal, lalu menyodorkan satu pada Ludi, Ruwi, dan Nuni.

“Pergilah merayakan Natal bersama anak-anak kalian,” ujar Ibu tersenyum.

Nuni menerima amplop, lalu spontan menyerukan canda: “Kok tipis, Bu….?” “Jangan protes, buka dulu,” timpal Ludi.

“Diraba saja tidak berasa apa-apa, amplop kosong nih. Waaahhh… Ibu ngeprank…!” canda Ruwi.

Nuni cepat membuka dan memang tidak ada selembar uang pun, selain kertas kecil  persegi panjang berlogo Bank. Ya.., bukti transfer! Matanya membelalak disusul sorak gembira.

***

Nuni meletakkan bunga putih di atas pusara Ayah lalu meninggalkan tulisan:

 Ayah, terima kasih telah mencintai Ibu sedemikian rupa sampai akhir dan memelihara Ibu meski sudah tidak di sisinya. Menitipkan warisan sebagai pengganti kehadiran.

 Ayah terima kasih untuk warisan yang juga kudapat darimu, bukan harta benda, tetapi warisan tak ternilai harganya dalam bentuk ajaran hidup yang akan membuatku ‘kaya’ selamanya.

 Selamat Hari Natal, ayah…, jangan lupa mampir di rumah Ibu saat nanti kami merayakan Natal bersama. I love you, Ayah!

Oleh Ita Sembiring

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here