Simbol Sukacita Umat Marind

225
Perarakan patung Kanak-kanak Yesus di Paroki Wendu, Merauke, Papua pada setiap tanggal 26 Desember. (Foto: Helen Yovita Tael)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Perarakan patung Kanak-kanak Yesus tak hanya untuk menghidupkan iman umat kembali. Ada tantangan lain yan sudah menunggu.

KESETIAAN seorang imam teruji ketika ia harus hidup dan menyatu dengan umat yang digembalakannya. Pastor Andreas Fanumbi  (59 tahun), akrab disapa Pastor Andi, barangkali salah satu dari imam-imam Papua yang ‘menikmati’ ujian kesetiaan itu. Tiga belas tahun ia telah menjadi gembala umat Paroki Bunda Hati Kudus , Wendu, Keuskupan Agung Merauke (KAMe), Papua.

Sejak didapuk menjadi gembala di Paroki Wendu tahun 2008, tahbisan 5 September 1993 ini telah merasakan bagaimana hidup sebagai seorang gembala yang berbau domba. Umat paroki ini memang mayoritas berasal dari Suku Marind, salah satu suku asli Papua. Umumnya mereka petani dan nelayan. Sumber penghasilan lain kelapa atau kopra dan pisang.

Imam diosesan kelahiran Sentani, Jayapura, Papua tahun 1962 ini mengatakan, dalam menjalankan penggembalaan, ia harus mencari strategi pastoral yang sesuai dengan kondisi umat. Strategi katekese yang mampu menyentuh hati umat Marind yang dipercayakan kepadanya. Salah satunya adalah mempertahankan tradisi perarakan patung Kanak-kanak Yesus pada setiap tanggal 26 Desember saban tahun. “Melalui tradisi ini, mereka sangat menjaga keharmonisan keluarga atau persaudaraan,” ujarnya.

“Setiap tanggal 26 Desember, orang-orang yang jarang ke gereja sepanjang tahun biasanya akan muncul berbondong-bondong tanpa disuruh. Semua ikut perarakan. Bahkan sepanjang jalan, melintasi keempat stasi dari Stasi Serapu sampai Stasi Anasai hingga ke pusat paroki, umat mengantar patung Kanak-kanak Yesus. Gereja penuh sampai di luar,” ungkap pastor yang pernah berkarya di Paroki Bupul, sebuah paroki yang berbatasan dengan Papua Nugini (1994-1999).

Melihat situasi ini, di satu sisi Pastor Andi merasa prihatin, namun di sisi lain, momen perarakan ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu setiap umat. “Ini merupakan sebuah pendekatan katekese pastoral alternatif untuk meneguhkan iman mereka akan Yesus,” tuturnya.

Jika tak bisa rutin ke gereja, menurut Pastor Andi, minimal lima kali setahun umat masih datang ke gereja. Yaitu pada Malam Natal, perarakan patung Kanak-kanak Yesus tanggal 26 Desember, perarakan Sakramen Mahakudus setiap bulan Juni, dan perarakan arca Bunda Maria pada bulan Oktober.

“Meski ada umat yang malas-malasan ke gereja, saya tidak pernah membiarkan mereka semakin menjauh. Justru saat-saat seperti perarakan inilah, saya merasakan bahwa mereka masih setia pada iman kekatolikan mereka. Mereka mau hadir dan sadar sepenuhnya bahwa Kanak-kanak Yesus sungguh hadir dan mengunjungi mereka secara langsung dari rumah ke rumah,” papar Pastor Andi.

Tetap Bertekun

Pastor Andi melihat, tradisi perarakan ini menjadi salah satu pengingat atau magnet bagi umat untuk tetap bertekun dalam kekatolikan. “Tanpa disuruh pun, mereka akan berbondong-bondong mengikuti perarakan ini. Pada momen ini mereka merayakan iman mereka dengan sukacita. Melalui perarakan ini mereka sungguh percaya Kristus sebagai Juru Selamat mereka,” ungkap Vikep Wendu ini.

“Mereka mau berjalan di tengah panas matahari. Mereka tidak peduli guyuran hujan. Kami tidak keluarkan uang untuk menyiapkan makanan. Semua atas kemandirian mereka. Mereka mau berkorban sesuai dengan kemampuan mereka. Ada yang main gitar, tifa dan menari  gatzi sepanjang jalan,” papar Pastor Andi yang juga mengalami sukacita yang sama.

Pastor Andi melihat, setiap tahun umat dapat menghayati imannya melalui perarakan ini. Perarakan patung Kanak-kanak Yesus yang masuk ke rumah-rumah merupakan simbol. Seuah simbol yang mudah ditangkap umat sederhana di Papua.

“Mereka merasakan, seakan-akan secara konkret Yesus masuk ke dalam rumah mereka. Bagi mereka, hal itu berarti Yesus masuk ke dalam budaya. Mereka merasakan, Yesus adalah sungguh-sungguh Saudara mereka,” tambah Pastor Andi. “Mereka menyebutnya seabgai Namek Yesus alias Saudara Laki-laki, Dia adalah Tuhan dan Juru Selamat,” tuturnya.

Keluarga menyambut patung Kanak-kanak Yesus di gamav aha.

Selain mempertahankan iman umatnya, Pastor Andi juga terus mengajak umatnya peduli pada kelestarian lingkungan alam dan Pantai Wendu. Secara geografis Wendu terletak di pesisir pantai yang paling sering kena abrasi. Hal ini berdampak pada kehidupan ekonomi umat. Seringkali terjadi penggalian pasir yang diangkut truk-truk besar yang mengakitabatkan kerusakan jalan.

“Ketika umat harus membawa jualan ke pasar di Merauke tentu akan memakan waktu yang lama karena jalan rusak. Maka salah satu cara adalah melarang menggali pasir pantai. Mereka hanya taat kepada pastor,” ujar Pastor Andi.

Sebagai bentuk kecintaan pada alam dan agar terhindar dari kerusakan, Pastor Andi mengajak umatnya untuk mendoakan alam. “Kami mendoakan setiap tahun pada bulan Oktober, dengan perarakan arca Bunda Maria di seluruh pantai supaya pantai ini menjadi subur dan indah, dilindungi, memberikan hasil ikan, udang dan biota laut semakin banyak. Dengan hasil tangkapan ikan yang baik, mereka juga tidak akan segan-segan memberi kepada Gereja karena mendapatkan rezeki,” ungkap Pastor Andi.

Basis Gereja

Data kependudukan Wendu memperlihatkan, 95% penduduk adalah Suku Marind. Mereka kerap disebut sebagia ‘pemilik’ tanah Merauke. Lima persen yang lain adalah pendatang dari Sulawesi, Jawa, dan pulau-pulau lain. Pendatang umumnya berdagang atau buka usaha. “Kendati jumlah pendatang kecil, namun merekalah yang punya kekuatan ekonomi entah sebagai penadah atau pemilik took-toko dan kios-kios,” ujar Pastor Andi yang merasa prihatin dengan situasi ini.

Pastor Andreas Fanumbi

Maka, melihat ketimpangan ekonomi ini, menurut Pastor Andi, Gereja telah berupaya meminta perhatian pemerintah atau pihak-pihak lain. Bagaimana mendukung potensi ekonomi masyarakat lokal. “Dalam pemberdayaan ini, kita tidak bisa jalan sendiri, melainkan harus bersinergi dengan pihak lain,” ujarnya. Ironis memang. Mereka disebut sebagai ‘pemilik’ namun dalam kenyataanya justru sebaliknya. Para pendatang lebih dominan.

Dan, berhadapan dengan arus modernisasi dengan makin gencarnya pendatang dari luar Papua, Pastor Andi terus memperkuat daya tahan umatnya. “Sebenarnya saya berusaha mengangkat daya tahan iman mereka agar mereka siap menghadapi tantangan dan perkembangan zaman ini,” ujarnya.

Tradisi perarakan patung Kanak-kanak Yesus adalah salah satu cara mempertahankan daya tahan iman umat agar tidak mudah goyah.  “Mau tidak mau, suka tidak suka, apakah orang mendengarkan apa yang saya sampaikan atau tidak, Paroki Wendu adalah salah basis Gereja Katolik di Merauke. Basis ini memang benar. Terbukti, perarakan ini bisa berjalan, karena ini tradisi Gereja Katolik yang sudah berlangsung hampir setengah abad,” tambahnya.

Helen Yovita Tael (Merauke)

HIDUP, Edisi No. 51, Tahun ke-75, Minggu, 19 Desember 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here