Bung Karno yang Mendengarkan dengan Telinga Hati

297
Ir. Soekarno (kedua dari kiri) dan Mgr. A. Soegijapranata, SJ (kedua dari kanan)
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Peringatan hari lahir Bung Karno pada 6 Juni menjadi momentum untuk mendalami role model dan profil manusia Indonesia paripurna, yang mau dan mampu mendengarkan sesama warga bangsa dengan telinga hati.

Dalam hal kebangsaan, terutama identitas dan jati diri pariwisata Indonesia, eperti Bung Karno inilah manusia Indonesia yang dicita-citakan dan menjadi salah satu elemen kunci dalam country branding ”Wonderful Indonesia”.

Country branding yang dibuat oleh pemerintah dan pemasar beranjak dari key attributes dan brand promise yang dicanangkan. Alasan logis untuk melakukan country branding adalah memperkenalkan Indonesia lebih dalam, memperbaiki citra, menarik wisatawan dalam dan luar negeri, menarik investor untuk berinvestasi dan meningkatkan perdagangan.

Branding yang singkat, memikat atau menarik, harus mencerminkan keasliannya. Merek dagang pariwisata Indonesia pada dasarnya adalah frase pendek yang memberikan deskripsi atau informasi dari suatu merek destinasi pariwisata. Jadi, branding dapat memberikan gambaran kepada marketer mengenai intisari dari suatu merek dan kepada konsumen (wisatawan) dapat memberikan informasi singkat yang membuat suatu merek memilki keunikan.

Dimensi country branding sendiri mensyaratkan dua hal. Selain menjadi pembeda yang khas dan unggul satu destinasi negara dengan destinasi negara yang lain (externally different), juga harus menginspirasi khalayak di dalam negeri yang di-­branding-kan untuk menjalankan laku hidup sesuai falsafah branding itu sendiri (internally inspiring). Maka, branding bisa menjadi pisau bermata dua manakala hanya menyampaikan informasi yang palsu tentang keadaan yang sebenarnya ada di dalam negara yang di-branding-kan.

Kinerja branding diharapkan memiliki kemampuan menarik wisatawan dari warga bangsa. Merek pariwisata yang bercirikan atribut-atribut seperti wonderful people, wonderful culture, wonderful destination, wonderful food dan wonderful investment itu, haruslah memberikan inspirasi, motivasi dan daya ungkit bagi warga bangsa untuk ikut memiliki dan menjadikan pilihan berwisata di dalam negeri sebagai prioritas utama. Kelima hal tersebut tak terbantahkan, namun problemnya tetap pada cara mengemas keunggulan tersebut hingga menjadi keunggulan yang kompetitif dan membuat pariwisata Indonesia unggul.

Wonderful people of Indonesia meniscayakan manusia Indonesia yang ’memeluk’ pluralitas dan aneka keberagaman di negeri ini. Tak hanya ’memeluk’, manusia Indonesia yang paripurna memperjuangkan keberbedaan dan keberagaman sebagai keniscayaan kehidupan, karunia Tuhan Sang Pencipta yang Maha Agung yang berkehendak agar semua mahluk ciptaan-Nya bersatu padu, saling mengasihi dan memuliakan kehidupan. Negeri Indonesia menjadi miniatur universalitas kehidupan, yang berbeda-beda, tetapi memiliki satu nilai yang dijunjung tinggi: kemanusiaan, keadilan, kasih sayang, persatuan.

Spirit dan praktek hidup seperti itulah yang menjadikan negeri Indonesia bertahan dan bertumbuh melintasi peradaban. Persatuan Indonesia merupakan laku hidup yang dibutuhkan warga dunia untuk bersatu padu meski berbeda-beda. Kepentingan universal mempersatukan negara-negara di dunia untuk memiliki bahasa yang sama seperti yang sudah teramat biasa di Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.

Dua sejarah melibatkan Bung Karno dalam proses formasi/pembentukannya sebagai manusia Indonesia paripurna. Pertama, berdekatan dengan sejarah Hari Lahir Pancasila, Bung Karno sebagai manusia Indonesia, dibentuk oleh alam Indonesia yang indah karena keberagaman budaya. Perjumpaan Putra Sang Fajar dengan dua pastor misionaris Belanda di Ende, Flores, merupakan perjumpaan manusia Indonesia dengan kehidupan di Tanah Airnya yang amat kaya nilai luhur dan karya ciptaan ini.

Dua pertanyaan kunci yang ditujukan kepada Bung Karno dalam sebuah percakapan semasa pembuangannya di Ende, menjadi bahan refleksi mendalam atas fakta dan keniscayaan kebangsaan negeri Indonesia. Pertama, “Di mana tempat mamamu yang beragama Hindu itu di dalam negara yang mayoritas muslim?” Kedua, “Di mana tempat orang-orang Flores yang mayoritas Katolik ini dalam negara yang Marxis dan mayoritas muslim itu?” (Gaudensius Suhardi, Media Indonesia, 3 Juni 2021).

Bung Karno diapit oleh Pater G. Huytink, SVD (paling kiri) dan Pater A. Thijssen, SVD (kanan) ketika Bung Karno berkunjung ke Ende sebagai Presiden RI tahun 1950. (Repro HIDUP)

Tentu, perjumpaan dan refleksi itu bukan satu-satunya yang membentuk dan mengantarkan sang proklamator dan para pendiri bangsa lainnya menjadi role model manusia Indonesia paripurna. Kegetiran, kesengsaraan dan penindasan semasa kolonialisme dan penindasan bangsa asing, menjadi pengikat yang erat untuk keluar dari kegelapan jaman karena ketidakadilan manusia, arogansi dari penjajahan negara kuat pada mereka yang lemah.

Kedua, pada pertengahan hingga akhir Februari 1947 ada peristiwa besar yang jarang terekam dalam ingatan publik. Saat itu, Uskup pribumi pertama Indonesia, Mgr. Albertus Soegijapranta, memberi tempat perlindungan kepada Ibu Negara Fatmawati, dan putrinya yang kala itu belum genap berusia satu bulan dan kelak menjadi Presiden RI ke-5 (Megawati Soekarnoputri).

Bung Karno kala itu diasingkan ke Pulau Bangka, dan untuk menyelamatkan keluarganya dari kejaran serdadu Belanda, Romo Kanjeng (panggilan akrab Uskup Soegijapranata) memberi tempat berlindung bagi Ibu Negara dan putrinya yang lahir pada 23 Januari 1947 di Kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code, Yogyakarta. Saat ini, tempat berlindung itu masih ada, berada di kompleks Gereja Katolik di Bintaran, timur Kali Code, Yogyakarta. Merasakan atmosfer di bangunan bernilai sejarah tinggi bagi bangsa Indonesia itu akan menjadikan kita bangga dengan bangsa ini, dan bersyukur hidup di Tanah Air yang memiliki sejarah leluhur dan pendiri yang mengagumkan dan layak dibanggakan.

Dalam buku “Soegija, Si Anak Betlehem” (G. Budi Subanar, S.J, 2003), menceritakan, akhir November 1946, Soekarno-Hatta memindahkan pusat pemerintahan barunya dari Jakarta ke Yogyakarta. Sebagai ungkapan sikap nasionalisme dan dukungan terhadap pemerintahan Dwitunggal Soekarno-Hatta, sejak 15 Februari 1947 Romo Kanjeng memindahkan kantor Vikariat Apostoliknya dari Gereja Katedral Semarang ke Gereja Bintaran. Dari sinilah setting sejarah kisah heroik dan praktek kasih sayang yang universal di atas bermula.

Relasi ini yang kemudian mengeratkan Romo Kanjeng dengan Bung Karno. Bahkan, Bung Karno pernah menghadiahi Romo Kanjeng sebuah repro lukisan karya perupa masyhur Italia berjudul “Heilige Maagd”. Dalam surat pengantar yang dibuat di Yogyakarta tertanggal 10 Agustus 1948, Bung Karno menulis, “… Sekarang saya bergembira hati dapat menghadiahkan lukisan itu kepada Yang Mulia, sebagai tanda penghargaan saya kepada golongan Roma Katolik di Indonesia. Moga-moga golongan Roma Katolik tetap sejahtera dalam Republik.”

Di sinilah relevansi perayaan hari lahir Bung Karno. Manusia Indonesia masa kini dan mendatang, haruslah memeluk dan unggul dengan nilai-nilai luhur kebangsaan yang melekat dan telah lama mendidik serta membentuk anak bangsa ini. Bung Karno telah meneladankan hal itu semasa hidupnya, mendengarkan dengan telinga hati.

 

I Dewa Gde Satrya, Dosen Universitas Ciputra Surabaya; Warga Paroki Redemptor Mundi, Surabaya

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here