Novena Keutuhan Ciptaan dan Sinodal Yogyakarta Barat: Menghargai Orang lain, Berpaguyuban untuk Membangun Kebersamaan

347
Novena di Taman Doa Prenthaler
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Sebagian besar paroki di Kevikepan Yogyakarta Barat dilewati sungai dengan berbagai alur dan karakteristiknya. Gerak pelestarian keutuhan ciptaan yang ingin diangkat adalah pelestarian sungai. Sungai-sungai tersebut tidak hanya menjadi bentang alam yang mengalirkan air dari hulu ke hilir, tetapi juga membawa kehidupan bagi mereka yang ada di sekitarnya. Di sisi lain, Kevikepan Yogyakarta Barat terus melakukan upaya-upaya untuk membangun dan menumbuhkan gerak pastoral bagi umat di selaras dengan gerak pastoral Keuskupan Agung Semarang.

Umat yang hadir dalam novena di Jatiningsih, Klepu.

Dengan semangat “Gemati-Open-Ngopeni” hal itu diwujudkan dalam bentuk kegiatan novena di 9 tempat peziarahan yang ada di Yogyakarta Barat. Novena dilakukan dalam bentuk katekese umat dan ditutup dengan perayaan ekaristi konselebrasi. Melalui novena ini umat diajak untuk meluangkan waktu berjumpa dengan umat lain untuk membangun kesadaran belarasa; mencintai alam dan terlibat dalam upaya pelestarian keutuhan ciptaan; mengikuti gerak “Berjalan Bersama”–Sinode Keuskupan; mengenalkan tempat ziarah yang ada; membingkai gerakan penguatan kekatolikan, kebangsaan, kerasulan, sinergitas, dan profesionalitas.

Novena ini dimulai pada bulan Maret 2022 dilaksanakan di Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Selanjutnya berturutan novena berikutnya dilaksanakan di Patung Kerahiman Ilahi Pajangan, Gua Maria Jatiningsih Klepu, Gua Maria Lawangsih Nanggulan, Taman Doa Prenthaler Boro, dan bulan ini merupakan periode ke-6 diselenggarakan Minggu, 28 Agustus 2022 di Taman Doa Maria Dhamparing Kawicaksanan (Maria Ratu Kebijaksanaan) di wilayah Ngembesan Somohitan, Sleman.

Plt Bupati Kulon Progo bersama Vikep di Boro.

Semua kegiatan novena diawali dengan katekese yang mengambil tema terkait dengan pelestarian sungai dan upaya-upaya yang telah, sedang, serta akan dilakukan oleh umat bersama-sama dengan pihak lain yang sehati untuk mendukung gerakan ini. Beberapa narasumber yang diundang dalam kegiatan novena ini merupakan tokoh-tokoh umat dan pelaku pelestarian alam ciptaan, baik lintas iman maupun dari aktivis Gereja.

Beberapa komunitas dan tokoh masyarakat yang dikenal, misalnya Komunitas Cagar Urip dan Paradesa yang melakukan pelestarian sungai di wilayah Boro; Pak Supino memaparkan kegiatan pelestarian sungai di sekitar Lawangsih dan Nanggulan; ibu Utik Suprapti yang menyampaikan keprihatinan atas kerusakan sekitar Sungai Progo; MY Esti Wijayati yang memaparkan anugerah-anugerah sungai yang penting untuk dilestarikan.

Pada novena ke-6 ini Pastor Paroki Somohitan, Romo Rafael Tri Wijayanto menyampaikan semangat sinodal itu diwujudkan dengan menghargai orang lain, berpaguyuban untuk membangun kebersamaan.

Melalui tembang Asmarandhana Enthik-enthik, yang dilagukan oleh pastor paroki untuk membuka perjumpaan, umat diajak mewujudkan kehidupan yang sinodal, maju bersama, berpaguyuban sesuai dengan fungsinya masing-masing, berpartisipasi untuk mewujudkan kemaslahatan bagi banyak orang, apa pun agamanya. Dasarnya cinta kasih sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Panitia berfoto Bersama Vikep di Gua Maria Dhamparing Kawicaksanan.

Sementara dalam katekese umat yang diisi oleh Lurah Girikerto (H. Suharto, B.A, Lurah Periode 1999-2013 dan H. Sudibyo, Lurah Aktif) disampaikan tentang situasi sungai-sungai yang ada di wilayah ini.

Suharto menyampaikan bahwa sebagai wilayah yang terletak di area pemukiman tertinggi di lereng Merapi, Girikerto awalnya mempunyai 8 buah sungai yang diharapkan tetap lestari karena menjadi sumber air bagi masyarakat yang ada di bawah. Dikisahkan adanya legenda Sendang Panguripan dan lahirnya tradisi Ngrowot untuk merti air, merti bumi-merti desa agar sungai-sungai tetap lestari.

Sementara, Sudibyo mengatakan adanya banyak kendala akibat eksploitasi tambang pasir dan minimnya proses pelestarian sungai dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap sungai. Beberapa sungai itu akhirnya mati. Banyak mataair yang dikuasai oleh pribadi atau perusahaan swasta sehingga perlu diatur kembali agar pengelolaannya merata bagi rakyat. Tahun 2023 mereka berhasil mewujudkan amanah ini dengan mengembalikan pengelolaan air ke desa.

Namun, masih ada soal, masyarakat di bawah juga kurang peduli karena banyak membuang sampah di sungai. Karena itu, kedua tokoh ini menggemakan ajakan secara menyeluruh agar masyarakat terlibat langsung dalam kegiatan pelestarian sungai, merti bumi. Hal itu diwujudkan dalam patung semar yang ada di tiap pedukuhan. Semar merupakan visi, sejahtera mandiri religius berbudaya dalam lingkungan yang lestari.

Katekese umat di Somohitan.

Masyarakat disadarkan dan didampingi dalam kehidupan sosial. Warga akan jadi hebat jika ada kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Kunci kesuksesan adalah kerukunan. Implementasinya pada bagaimana kita menjaga kerukunan dalam kehidupan ini. Yang berat dan besar jadi ringan dalam kebersamaan. Program terdekat adalah gerakan menanam pohon buah di wilayah Girikerto dan sekitarnya.

Dengan menanam pohon buah, di Kawasan lereng Merapi seluas 16 hektar, akan dicoba dengan 2 hektar dulu maka pohon tetap ada meski dipanen, sehingga penyimpanan air tetap tersedia. Gerakan ini sudah dimulai dan terus akan dijalankan semaksimal mungkin. Diharapkan kawasan ini akan menyatu dengan Taman Nasional Merapi sehingga menjadi tujuan wisata rohani dan wisata alam termasuk ke Gua Lawa. Katekese diakhiri oleh MY Esti Wijayati, anggota DPR RI yang memberi kesimpulan tentang pentingnya melestarikan sungai dan dilaksanakan dalam kerja sama sinergis dengan banyak pihak.

Novena ditutup dengan perayaan ekaristi konselebrasi yang dipimpin oleh Vikep Yogyakarta Barat, Romo A.R. Yudono Suwondo, didampingi oleh RomoAdolfus Suratmo, Romo Gregorius Prima Dedy Saputro, Romo Rafael Tri Wijayanto, dan Romo Modestus Supriyanto.

Vikep Yogyakarta Barat, Romo AR Yudono Suwondo menyampaikan, “Kita akan dibawa dalam suasana penuh syukur, penuh sukacita, penuh semangat, karena kita sedang berjalan bersama, memiliki arah dan perhatian melestarikan alam ciptaan, khususnya sungai-sungai. Bumi kita ini jika tidak dialiri sungai akan seperti planet lain yang kering.”

Hal ini ditegaskan dalam homili yang disampaikan para konselebran secara bergantian. Romo Dedy menyampaikan ajakan untuk menjadi rendah hati kepada Allah dan sesama seperti petuah dalam budaya Jawa, “Aja rumangsa bisa, ning bisaa rumangsa”.

Umat mengikuti novena di Gua Maria Lawangsih.

Romo Ratmo mengajak agar umat setempat mendukung gerakan pelestarian air guna memikirkan kebutuhan masyarakat yang berada di bawahnya serta anak cucu yang akan menikmatinya di masa depan.

Terkait dengan pemanfaatan pasir di sungai, Romo Supri mengingatkan untuk tidak menggunakan bego yang besar karena akan merusak keseimbangan ekosistem lingkungan, mematikan nafkah banyak orang, mematikan sumber air, dan menghabiskan air tanah.

Dalam rangkaian novena yang mengenalkan tempat ziarah sekaligus menggiatkan Gerakan merawat sungai, umat diajak makin sadar dan mau membangun kerja sama dengan semua pihak untuk melestarikan air dan merawat keutuhan ciptaan.

Romo Tri Wijayanto kembali mengajak umat untuk rendah hati, dalam rangka novena, satu tujuan, satu misi, satu partisipasi untuk menjaga dan merawat sungai. Rendah hati dalam kebersamaan. Kalau mencari pasir secukupunyaa. Secara etimologi, rendah hati berarti andhap asor, humble. Dari Bahasa Latin humilis, akar katanya humus. Humus adalah tanah yang subur, hitam, setiap benih yang ditanam di situ pasti akan tumbuh. Kita diajak rendah hati, seperti Yesus yang rendah hati (bdk. Filipi 7).

Ditegaskannya, “Jadilah humus yang memungkinkan nilai-nilai yang lain itu tumbuh, jangan hanya diomongkan, jangan hanya bicara dlm merawat sungai, bukan hanya novena. Harus merawat dan menjaga sungai, dibutuhkan 2000 tanaman, apokat dan durian. Bersama dengan masyarakat lain, budaya menanam, budaya memetri, dilaksanakan dengan kehadiran Gereja di tengah masyarakat. Di wonokerto akan ada misa untuk sesaji bumi, juga di Girikerto dan Pakem. Dalam kebersamaan dengan masyarakat semuanya, Gereja akan menjalankan hal itu.

Menyimpulkan dari semua penegasan para konselebran, Vikep mengatakan perlunya kelompok-kelompok umat ikut menanam, dan berperan dalam kapasitas masing-masing. Hal ini diharapkan sebagai gerakan nyata untuk mewujudkan apa yang sudah direnungkan selama ini, bukan hanya untuk kita tapi untuk anak cucu kita.

Taman Doa Prenthaler

Dalam Laudato Si, dinyatakan pentingnya kita merawat dan mencintai keutuhan alam ciptaan. Ada beberapa catatan dari Paus Fransiskus yang baik diingat sebagai peneguhan gerakan ini.

Pertama, ada banyak penelitian yang menunjukkan kondisi kekurangan air karena dikuasai pihak tertentu, pertanian yang membabi buta dipupuk berlimpah tanpa memperhatikan tanah. Namun, di lereng Gunung Merapi ini kondisinya masih bagus. Air dan oksigen bersih sehingga kunang-kunang masih banyak dijumpai sebagai tanda alam yang sehat.

Kedua, ada utang ekologis, yang dilakukan masyarakat karena membuang sampah semaunya, mengeluarkan emisi karbon, dll. Negera-negara kaya wajib membayar utang ekologis ke negara-negara yang masih mempunyai hutan. Mereka yang di bawah harus mau sharing dana untuk kelestarian alam. Semua itu menimbulkan kewajiban untuk menjaga sumber air terpelihara.

Ketiga, penting adanya dukungan kebijakan, berupa tersedianya aturan pemerintah dengan aturan hukum yang jelas dan tegas. Ada kondisi orang dengan modal besar akan mudah mengambil sumber daya dengan merusak fasilitas dan sumber daya tersebut. Keempat, kita harus rendah hati kepada alam ciptaan, tidak sewenang-wenang terhadap pohon yang memberi hidup.

Menanam pohon di area Taman doa Prenthaler, Boro.

“Jadi bukan karena kita ingin mendapat sesuatu dari yang lain. Kalian sudah datang ke gunung Sion karena sudah diberi martabat luhur dalam baptisan sebagai anak Allah, punya warisan yang disandang ikut bersama Allah menciptakan dan merawat dunia. (Kej. 2: 15). Semoga karena disemangati ekaristi dan proses dinamika selama ini umat makin tergerak untuk terlibat dalam gerakan mencintai keutuhan alam ciptaan”, Vikjen menutup paparan katekese keutuhan alam ciptaan dalam homili.

Novena periode berikutnya akan berlangsung di Sumur Kitiran Mas Pakem (25 September 2022), Gua Maria Selintang Kokap (7 Oktober 2022), dan ditutup di gua Maria Sendangsono Promasan (11 Desember 2022).

Novena ditutup dengan perayaan Ekaristi. Hadir dalam setiap novena itu para pejabat pemerintah daerah, aktivis pemerhati lingkungan dan keutuhan ciptaan, perwakilan rakyat di DPR/DPR RI, serta tamu undangan dari perwakilan Bidang Liturgi, Kateketik, dan KPKC di seluruh paroki se-kevikepan Yogyakarta Barat. (Ve)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here