LANANG

215
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COMSUDAH menjadi kewajibanku sebagai orang tua untuk membahagiakan buah hati. Kebetulan, dua minggu lagi, Lanang, akan berulang tahun. Maka, aku akan menghadiahkan kado spesial di ulang tahunnya yang ke-12. Ia adalah si bungsu yang paling kusayangi. Tentu, bukan serta merta karena aku tidak menyanyangi kakaknya juga. Lebih dari itu, ia memiliki ‘keistimewaan’ yang membuat kami harus memberikan perhatian ekstra. Usianya dengan kakaknya terpaut cukup jauh. Seingatku, Sinta mengandung Lanang di kala Intan mempersiapkan diri untuk mendaftar sekolah lanjutan tingkat pertama. Itu artinya usia yang terpaut di antara mereka kurang lebih 12 tahun. Faktor inilah yang membuat relasi di antara mereka tidak mudah, terlebih karena ‘keistimewaan’ yang dimiliki Lanang.

“Dek…..ulang tahun nanti mau dikadoin apa?” tanyaku dengan perlahan. Maklum, Lanang tidak dapat menangkap pesan yang disampaikan secara cepat. Butuh waktu lebih baginya untuk mencerna kata-kata yang kami ucapkan.

“Yah…. Lanang mau boneka berbi….” jawabnya dengan singkat. Maklum, ia akan menjawab sekenanya bila sedang asyik dengan mobil-mobilan kesayangnnya.

“Lho, tapi kan boneka berbi untuk anak cewek?” sahut Sinta dengan ekspresi sedikit keheranan.

“Ah, ya maklum. Kan dia anak aneh…,” seloroh Intan bernada mengejek. Aku pun langsung menyodorkan jari telunjuk kananku ke mulutnya. Isyarat untuknya agar tidak terlalu lancang dalam bercakap. Memang, kusadari relasi antara Intan dan Lanang tidak terlalu akur. Sesekali mereka terlibat dalam perdebatan kusir. Sebagai contoh, pernah suatu ketika mereka saling adu argumen perihal manakah yang lebih dahulu ada; ayam atau telur. Memang, tampak bila pembicaraan itu terkesan remeh-temeh. Tetapi, sepertinya itu cara Intan untuk berkomunikasi dengan adiknya yang kerap asyik dengan dunianya sendiri.

“Pokoknya Lanang mau boneka berbi… Kalau ayah dan ibu tidak mau membelikan, ya sudah ndak apa-apa,” serunya dengan tegas.

Dalam hati, aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Baru pertama kali ia kekeuh agar permintaannya dituruti. Biasanya tidak pernah. Memang, dari segi ekonomis, harga boneka itu tidak seberapa buatku. Namun, keyakinannya untuk meminta benda itu membuatku bertanya-tanya. Apakah selama ini ada yang salah? Ataukah aku kurang mengarahkan dia sesuai dengan perkembangan anak lelaki pada umumnya? Entahlah, tetapi yang jelas peristiwa itu cukup membuatku termenung hingga ketiga jarum jam dinding hampir bersamaan berada di posisi angka 12.

***

“Kamu pasti ngajarin Lanang yang enggak bener?” kataku sembari berkacak pinggang.

“Eh, enak aja. Ayah kok nuduh seperti itu?” jawab Intan dengan penuh pembelaan.

“Sudah-sudah, jangan berdebat pagi-pagi. Tidak enak kalau Lanang tahu. Toh tidak ada salahnya menuruti permintaannya agar dia senang, bukan? Bisa jadi dia sedang bosan bermain mobil-mobilan.” seru istriku mencairkan suasana.

Aku pun langsung bergegas menuju kantorku. Kebetulan ada sesuatu yang perlu kutangani secara langsung sehingga tidak bisa work from home. Di tengah perjalanan, aku menebak-nebak alasan Lanang minta diberi kado boneka Barbie. Apakah memang dia telah bosan dengan bermain mobil-mobilan lamanya? Ataukah kesibukanku dalam pekerjaan membuatku belum bisa mengajarinya sebagai “laki-laki sejati” yang cukup maskulin. Memang, selama ini yang kerapkali berinteraksi dengannya adalah Sinta, istriku. Aku tak berniat meremehkan peran istriku dalam mendampingi Lanang. Akan tetapi, sepertinya aku harus lebih sering membimbing Lanang sebagai seorang bapak sekaligus lelaki.

Pah, jangan lupa mampir beli titipan Lanang ya. Katanya dia mau boneka yang rambutnya dikepang.”

“Oke Mah. Dari kantor nanti, aku langsung meluncur ke toko mainan. See u,” jawabku sebelum mengakhiri percakapan video.

Di tengah perjalanan, aku memerhatikan dengan seksama kalau-kalau melewati sebuah toko mainan. Hingga akhirnya, mataku tertuju pada sebuah toko mainan yang terletak persis di seberang kafe tempat kami sesekali makan malam di sana. Rupanya toko itu masih baru diresmikan. Terbukti beberapa karangan bunga ucapan selamat yang berderet di sepanjang dinding toko yang berkelir biru langit tersebut.

“Selamat datang, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa karyawan dengan ramah kepadaku.

“Mas, apakah ada boneka barbie dengan rambut dikepang?”

“Ada, Pak,” sembari tangannya menunjukkan deretan etalase yang penuh pajangan aneka boneka.

Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mengambil sebuah boneka cantik yang mengenakan gaun putih.

“Pasti untuk anak gadis kesayangan ya Pak,” tanya pemudi kasir sembari memberikan struk dan uang kembalian kepadaku. Aku hanya tertawa kecil sebab menjawab pertanyaan tersebut akan malah membuatku tidak segera pulang. Hal yang ada di pikiranku sekarang hanya bergegas menuju rumah untuk merayakan ulang tahun Lanang.

***

Sesampainya di rumah, aku melihat bahwa beberapa tamu undangan sudah saling bercengkerama. Beberapa di antaranya adalah teman-teman satu sekolah Lanang. Mereka adalah penyandang disabilitas, sama seperti Lanang. Namun, tidak semua dari mereka berasal dari keluarga yang beruntung seperti Lanang.

Ada dari antara mereka yang tidak diakui oleh orang tua kandung mereka sehingga dititipkan kepada kakek, nenek, paman, bibi, bahkan asrama yang dikelola para suster.

“Selamat ulang tahun Lanang, semoga panjang umur, sehat selalu dan menjadi anak yang baik bagi Papa Adi, Mama Sinta  dan Kak Intan,” ucap Sr. Graciana, kepala sekolah yang telah memerhatikan perkembangan Lanang sejak pertama masuk sekolah. Darinya, kami mendapatkan informasi Lanang selama beraktivitas di sekolah. Syukur, ia selama ini memiliki perkembangan yang positif, bahkan disebut-sebut memiliki sikap tolong menolong yang baik kepada teman-temannya. Sayang, penilaian itu tidak mengubah sikap Intan yang acuh tak acuh terhadap Lanang, adik kandungnya sendiri.

“Mana kado untuk aku, ayah?” tanyanya seusai meniupkan lilin kue tart.

“Ada dong. Tapi Lanang sun ayah dulu ya….”

Tanpa berpikir panjang, ia mendaratkan bibirnya ke pipiku. Langsung saja aku mengeluarkan kado itu dari tas ranselku. Ia pun langsung memelukku dengan kegirangan.

Makacih, ayah…” serunya dengan berlompat-lompat.

Walaupun aku lega karena melihatnya sangat bergembira, namun aku masih memikirkan alasan ia memilih boneka sebagai kadonya. Tidak seperti biasanya, bahkan bagiku ini semua terkesan aneh. Apakah ini terjadi karena kesibukanku sehingga kurang meluangkan waktu untuknya? Ataukah dugaanku memang benar, yakni Intan selama ini telah mengajari hal yang aneh-aneh kepada Lanang. Belum sampai menemukan jawabannya, lamunanku terbuyarkan setelah melihat Lanang berlari menghampiri seorang teman perempuannya dengan membawa kado boneka tersebut.

Nih Arin. Jangan nangis lagi di kelas ya. Mungkin mukanya gak mirip kayak mama kamu. Tapi, semoga kamu sekarang gak lagi kesepian….” serunya dengan agak terbata-bata.

Makacih, Lanang,” jawab anak gadis itu dengan senyum mengembang di bibirnya.

Melihat hal tersebut, Intan segera memeluk erat Lanang dengan mata berkaca-kaca, tanda kalau ia bangga sekaligus menerima adiknya dengan sepenuh kasih.

***

Dialog yang singkat itu seketika menjawab pertanyaanku sekitar dua minggu belakangan ini. Syukurlah, permintaannya untuk dibelikan boneka timbul dari hatinya yang begitu murni. Ia tahu, kelimpahan yang dimilikinya, harus dibagikan kepada orang lain, salah satunya kepada Arin. Belakangan baru kuketahui kalau dua bulan yang lalu ibunya meninggal dunia usai berjuang melawan leukimia. Sementara ayahnya telah lama pergi meninggalkan mereka karena tidak sudi menerima kekurangan Arin. Beruntung, Sr. Graciana mau merawat dan memasukkannya ke dalam asrama seberang sekolah. Andai saja aku tidak menuruti permintaan Lanang waktu itu, barangkali drama indah pada sore ini tidak akan pernah terjadi.

Fr. Gabriel Mario L, OSC

HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-76, Minggu, 11 September 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here