WIROK

175
Lidwina Ika
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – SUASANA refter tampak lengang. Makan pagi baru saja selesai. Tiga kamar di sekeliling refter kembali terisi oleh penghuninya, satu pastor kepala, satu pastor rekan, dan satu diakon yang sedang menjalani masa diakonat. Bunyi klitak-klitik dan air mengalir terdengar dari dapur. Pak Yo sedang mencuci piring, membereskan makan tadi. Hond, Canis, dan Koira ribut minta ampun. Masing-masing kaki depannya di teralis pintu yang membatasi dapur dan halaman belakang. Kepala ketiganya terus bergerak-gerak tak sabar seolah tahu bahwa sekarang adalah saat mereka makan. Pak Yo telah menyiapkan 3 piring berkuah sup tulang. Ben membantunya mengangsurkan piring-piring pada ketiga anjing yang sudah kelaparan itu. Anak misdinar ini paling senang berada di pastoran. Selalu ada saja yang dikerjakannya, memberi makan ikan nila di samping grotto, memandikan anjing-anjing, juga berburu tikus. Ia tinggal tidak jauh dari gereja.

“Tikus-tikus di sini kebangetan. Nggak ada takutnya. Diapa-apain nggak mempan. Diracun tidak ada yang mati. Dijepret tidak ada yang kena, dilem cuma bulunya yang kena dan ada bekas2 kakinya. Ampun deh,” keluh Pak Yo.

“Sayangnya Hond, Canis, dan Koira tidak bisa berburu tikus ya, Pak Yo?” tanya Ben seolah mempertegas apa yang telah diketahuinya.

“Anjing rumahan tidak punya naluri berburu. Jadi koloni tikus makin besar. Sepertinya gudang di lantai dua itu kerajaan mereka. Keluarga besar mereka itu. Dari kakek nenek sampai cucu cicit ada,” kata Pak Yo diiringi gelak tawa mereka berdua.

Gudang yang dimaksud Pak Yo bukanlah ruangan khusus. Barang-barang inventaris berserakan di sana meskipun ada dalam kotak atau bungkusan masing-masing. Pakaian serani anak-anak misioner sekaligus tim tiga raja berada dalam dus besar. Salah satu sudut kardus terkoyak oleh gigi-gigi makhluk pengerat. Bau pesing menyengat. Ratusan butiran hitam kotoran tikus berserakan seperti boba yang tercecer dari gelasnya. Di kardus lainnya ada piring-piring plastik sekali pakai, gelas-gelas, sedotan minum, dan cangkir-cangkir plastik. Di pojokan ada wiruk yang telah putus rantainya, patahan lilin bersama lelehan-lelehannya yang telah mengeras, juga vas-vas bunga yang tidak lagi dipakai. Ruang yang gelap, pengap, dan lembab menjadi kerajaan menyenangkan bagi koloni pengerat itu.

Beberapa waktu kemudian Pak Yo dan Ben bersantai di gazebo, di belakang grotto. Semacam pos kamling yang muat 10-an orang itu biasanya dipakai oleh mereka yang tergusur karena jam pertemuan bersamaan. Tim Guru Bina Iman, misalnya. Ketika mendapati aula dipakai oleh kelompok lain, teras gereja dipakai, ruang tamu pastoran juga dipakai, tergusurlah mereka. Dengan rela mereka memakai gazebo yang mulai lapuk kayunya itu. Rela karena memang tidak ada booking-bookingan untuk memakai tempat-tempat yang ada di kompleks gereja. Semua boleh memakai, mana yang kosong sajalah, kata rompar baru yang berniat welcome dan friendly kepada seluruh umat.

Siang ini ada rapat DPP inti. Mereka menempati ruang tamu pastoran yang semi terbuka konsep bangunannya. Beberapa bapak-bapak dan dua ibu datang berselisih waktu. Yang pertama kali duduk di situ datang 5 menit setelah waktu yang ditetapkan. Kemudian 10 menit, ada yang 20 menit, dan ada yang 35 menit baru muncul. Ada yang tampak tergopoh dan mengatakan alasannya, entah benar atau bohong, tetapi ada yang asal duduk dan bergabung tanpa malu dan canggung sedikit pun. Alih-alih pemimpin rapat memulai tepat waktu, ia lebih mengapresiasi yang datang terlambat.

“Kita menunggu beberapa menit lagi ya karena belum lengkap,” katanya.

“Sekretaris, kurang satu. Bendahara, lengkap. Sie Liturgi, kurang. Sie Pewartaan, belum,” gumamnya pada diri sendiri.

Ibu-ibu yang telah hadir duduk berdekatan dan mulai berisik seperti lebah berseteru berebut madu di mahkota bunga. Dari lektor yang salah membaca sampai jualan kue. Dari isu perkawinan bukan Katolik si ibu anu sampai resep saksang yang menantang lidah. Kisah-kisah yang lucu bisa menjadi semacam ejekan. Kisah-kisah tabu terbual-bual begitu saja seperti buih-buih sabun si Koira. Di antara embusan angin laut dan hawa siang yang gerah, terdengar sayup-sayup kata “kolekte”, “parkir”, “dana pembangunan tambahan ruang”, dan “genset”. Wajah-wajah tampak menegang ketika satu dari mereka mulai naik suaranya. Merasa sudah bekerja tetapi ditanya-tanya lagi tentang kesesuaian anggaran dan nota pembayaran membuat lelaki itu mulai menaikkan suaranya.

Di mana-mana, uang memang rentan masalah. Tetapi apakah di gereja juga harus demikian? Apa beda gereja dengan tempat lain? Kolekte per minggu ada tiga kali misa. Peruntukannya memang disebut tetapi rekapitulasi per bulannya jarang dilaporkan. Bekerja untuk Gereja memang tidak sama dengan bekerja di kantor. Kalau bekerja di kantor bisa timbul rasa malu waktu terlambat datang, mengapa rapat di gereja tidak? Kalau di kantor bisa transparan melaporkan keuangan, mengapa di paroki ini tersendat dan tampak asal-asalan menanganinya? Apakah bekerja untuk Tuhan perlu Surat Peringatan dan PHK sama seperti di kantor?

“Mohon maaf saya belum sempat menyusun laporan pertanggungjawaban, Romo, tetapi semua tercatat lengkap. Semua nota pembayaran ada dan terlampir. Saya masih terkendala waktu karena beberapa hari saya ada pekerjaan di luar kota,” kata Pak Wen.

Romo Adri, pastor rekan, mengangguk-angguk ringan. Pikirannya menghubung-hubungkan ucapan Bu Wenty kemarin tentang kecenderungan Pak Wen ketika diminta pertanggungjawaban di akhir kepanitiaan atau masa jabatan.

“Dari Sie Pewartaan melaporkan pelaksanaan program berjalan lancar, kecuali dari lingkungan Andreas belum melaporkan hasil akhir katekumennya,” kata seorang laki-laki berambut ikal.

“Dari Sie Liturgi bagaimana?”tanya rompar.

Sie Liturgi sedang membolak-balik map laporan ketika tiba-tiba ada dua wirok berkejar-kejaran di sepanjang kabel duct AC. Spontan ibu-ibu terlonjak dan berteriak histeris. Suasana menjadi gaduh seketika.

“Hush…hush…,” usir seseorang di antara mereka.

“Banyak tikus ya, Mo?” tanya seseorang.

“Waaa…banyak. Saya sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar gereja kita bebas tikus. Pak Yo sudah pasang perangkap, tidak ada yang kena. Mencampur umpan dengan racun tikus, tidak ada yang kena. Malah Diakon Jo sudah siapkan senapan angin segala. Itu gotrinya,” kata Romo Sebas sambil menunjuk kotak di rak.

“Bandel betul,” keluh Bu Mel.

“Iya, Bu. Sampai saya buatkan bubukan kapur barus, larutan cabai, larutan soda kue. Ah, pokoknya sudah berbagai cara,” kata Romo Adri.

“Namanya juga wirok, Bapak Ibu. Jadi ya memang bengal,” kata Pak Frans.

“Apa hubungannya?”

“Nama ilmiah wirok itu bandicota bengalensis. Jadi memang seperti bandit kelakuannya. Bengal pula. Lengkap pokoknya,” jelas Pak Frans yang bekerja di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian.

Suasana mendadak canggung. Terasa seperti ada angin yang mengantarkan monster bercula. Dari mulutnya keluar api, menyembur-nyembur. Mereka berpandang-pandangan. Ada bayangan samar dan kabur di pelupuk-pelupuk mata. Mereka saling menatap, namun ketika mata beradu, mereka segera mengalihkan pandangan. Pastor juga canggung. Wajahnya kaku dan pias seperti tidak ada aliran darah di wajah. Pikirannya merancang beberapa pertanyaan tentang pertanggungjawaban keuangan tanpa terlihat menelisik atau menginterogasi. Ia menetralisasi kecanggungannya dengan meneguk segelas air mineral di hadapannya. Berhadapan dengan tokoh umat yang usianya jauh di atasnya, sedangkan dia baru 6 bulan di sini sungguh membuatnya tidak nyaman. Baginya, menjadi pastor tidak serta merta mudah menegur dan mengingatkan apalagi pada umat senior, yang telah berpuluh-puluh tahun hidup menggereja di paroki ini.

“Romo, kena ni Romo,” seru Ben berlari-lari kecil.

Wajah anak itu sangat antusias. Di tangannya ada seutas kawat. Di kawat itu tergelantung 4 wirok. Diangkatnya tangannya. Tampak 4 wirok tergantung. Tiga di antaranya sudah menjadi bangkai. Satu lagi masih bergerak-gerak tapi pasti sebentar lagi wirok itu akan terkulai tanpa daya. Ada lelehan darah hampir mengering. Beberapa tetes jatuh di lantai.

Kedatangan Ben yang tiba-tiba mengagetkan peserta rapat. Ibu-ibu menjerit-jerit. Mereka terbangkit dari kursinya dan meminta Ben menjauhkan tentengan yang menjijikkan itu. Suasana gaduh kembali, lebih gaduh daripada saat melihat wirok berkejaran di duct. Ben tetap memandangi tentengannya sambil memutar-mutar kawatnya. Bau anyir tercium. Beberapa dari mereka mual dan bergerak menjauh. Entah siapa yang memulai, satu demi satu lenyap meninggalkan rapat.

Oleh Lidwina Ika

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here