Beata Margareth dari Castello (1287-1320): Cara Si Buta Memandang Tuhan

143
Beata Margareth dari Castello /ww.dominican.org
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Dibuang orangtuanya karena buta. Tuhan memakainya bak batu penjuru untuk melaksanakan kehendak-Nya.

 SEORANG anak perempuan bertubuh kurus dan buta, sering duduk di pintu masuk sebuah gereja. Banyak orang mengenal gadis itu sebagai “si buta” dari desa Metola, sebuah wilayah perbatasan antara Tuscany dan Umbria, Italia tengah. Gadis kecil ini seringkali mendapatkan makanan dan minuman dari belakasih orang-orang yang berziarah di gereja itu.

Suatu ketika, beberapa wanita dari wilayah Castello, Umbria yang mampir di gereja itu. Rasa iba menyergap hati wanita-wanita itu ketika melihat gadis berusia tujuh tahun dengan rambut terurai dan badannya penuh bauh. Para wanita lalu memutuskan untuk merawat gadis yang bernama Margareth. Satu demi satu mereka melayani dan merawat Margareth hingga mendapatkan kehidupan yang layak.

Lambat laun, gadis miskin ini bertumbuh dalam kesahajaan. Ia menjadi berkat bagi wanita-wanita yang memeliharanya. Tabiatnya yang baik dan penurut membuat ia diterima dalam rumah-rumah wanita yang sederhana itu. Dari penerimaan ini, hidup rohani Margareth menjadi sempurna. Ia menjadi gadis yang mengabdikan diri kepada Kristus. Dari kesaksian hidupnya, banyak orang mengalami pertobatan. Lewat doa-doanya, banyak orang selamat.

Anak Buangan

Margareth sebenarnya lahir dari keluarga berada. Orang tuanya adalah warga terhormat bahkan berjiwa sosial yang tinggi. Akan tetapi, kekacaun politik di Italia mengguncang finansial keluarga Margareth. Lambat laun keluarganya jatuh miskin. Duka mereka bertambah ketika Margareth lahir dalam keadaan buta tahun 1287.

Sudah ada berbagai usaha yang dilakukan kedua orang tua untuk kesembuhan Margareth. Demi memperoleh kesembuhan, ayah dan ibunya sering mengantarnya pada beberapa tabib tradisional, tetapi hasilnya sama saja. Orang tua pernah mengantarnya berziarah ke makam seorang imam Fransiskan suci di Castello untuk mendapatkan kesembuhan. Rupanya Allah tidak berkenan menyembuhkan Margareth. Terakhir kedua orang tua berdoa devosi khusus kepada Bunda Maria untuk kesembuhannya, tetapi mukjizat itu tak kunjung tiba. Sebaliknya Margareth terus hidup dalam kebutaan.

Kekecewaan yang bertubi-tubi membuat orang tua putus asa. Membayangkan masa depan yang penuh beban membuat kedua orang tuanya sengaja meninggalkan Margareth di depan pintu gereja. Di tempat ini, Margareth mulai belajar menyandarkan diri pada Allah. Dalam kegelapan penglihatan, Tuhan berbicara dengan hatinya.

Para tetangga di Castello yang silih berganti merawatnya juga tidak kesulitan memahami kehendaknya. Mereka merasa Margareth adalah rahmat yang dikirim Tuhan bagi masyarakat Castello. Perangai yang manis dan baik hati, membuat ia begitu cepat bergaul dengan siapa saja. Ia bisa tampil bercerita tentang Kitab Suci, melerai pertengkaran antar temannya, mengajarkan lagu-lagu rohani, dan lainnya.

Masyarakat Castello yang awalnya melirik sinis kepadanya, akhirnya terbuka dan menerimanya. Margareth kerap diundang untuk bernyanyi atau menceritakan Kitab Suci kepada anak-anak yang sedang sakit. Kerapkali juga ia menjadi tempat curhat persoalan suami isteri yang sulit. Ia berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan itu dengan baik. Hal ini membuat ia sejak remaja sudah dipanggil orang kudus.

Kekudusan dan peranggainya yang menyenangkan membuat sekelompok suster dari Castello berniat mengadopsi Margareth. Mendengar hal ini, Margareth makin senang karena setidaknya hidup rohaninya bisa lebih diperdalam dalam bimbingan para suster.

Sayangnya harapan untuk mengalami kehidupan yang lebih terarah tak didapatkannya. Kehidupan biara terlalu santai dan penuh keduniawian. Kesalehan dan semangat mati raga Margareth berbanding terbalik dengan kehidupan biara. Akibatnya para suster bukan mengikuti gaya hidup Margareth, mereka malah mengatainya wanita sok suci. Pada akhirnya ia diusir dari biara dan harus menghadapi dunia profan.

Pengalaman Rohani

Ketika keluar dari biara, banyak orang bersedia menampungnya kembali. Tetapi Margareth lebih memilih sepasang suami isteri petani di ujung kota Castello. Di rumah kecil dan sederhana ini, Margareth tinggal hingga akhir hayatnya. Tidak saja itu, rumah ini menjadi saksi kehidupan rohaninya dan penglihatan-penglihatan rohani Margareth selanjutnya.

Melalui suami isteri ini juga, Margareth mulai mengenal Ordo Ketiga Dominikan. Tidak lama setelah menjadi anggota Dominikan, rumah kecil itu menjadi rumah doa bagi sejuta orang. Banyak umat yang dirundung masalah mencari pertolongan kepada Margareth. Lewat doa-doanya, masalah-masalah finansial, keturunan, bahkan kesetiaan suami isteri diselesaikan dengan baik.

Meskipun tidak pernah bersekolah atau belajar Kitab Suci, Margareth menghafal semua ayat-ayat Kitab Suci dengan benar. Doa-doa ofisi juga mampu dikumandangkannya tanpa melihat buku brevir. Ia memiliki karunia khusus untuk bisa memahami pesan Kitab Suci secara lengkap. Meski tidak belajar bahasa Latin, Margareth sangat fasih berbicara dan membaca tulisan-tulisan kuno berbahasa Latin.

Margareth hidup dan bertumbuh dalam pengalaman, tiada hari tanpa doa. Siang dan malam, ia berkonsentrasi berbicara dengan Allah. Tak heran Allah juga berkenan memberinya ragam siksaan batin dan kekeringan jiwa. Kadang-kadang Allah mengizinkan iblis merasukinya agar mengetahui sejauh mana iman Margareth. Lewat doa dan mati raga, semua godaan itu dilalui dengan baik.

Dalam setiap cobaan, Margareth selalu berusaha menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Allah. Meski penglihatan fisik tak berfungsi, Allah memberinya rahmat penglihatan mistik yang luar biasa. Dalam beberapa kesempatan, Margareth berjumpah dengan Kanak-Kanak Yesus. Ia juga bertemu Bunda Maria dan Santo Dominikus yang selalu menasihatinya agar tak lepas dari hidup doa.

Batu Penjuru

Dalam perjalanan kesalehan hidupnya, satu hal yang bisa dipelajari dari figur Margareth adalah selalu belajar sabar dalam penderitaan. Ia tak pernah mengeluh ketika fisiknya lemah, apalagi imannya dirasuki kuasa iblis. Ia selalu bertahan dalam penderitaan karena punya keyakinan, Allah akan membantunya.

Corak hidup demikian membuat ia terus diingat sebagai orang kudus buta yang tak pernah merasakan penderitaan. Sukacita dan kegembiraan dalam melayani menjadi kekuatan hidupnya. Kendati pribadinya kurang dikenal di luar Castello, tetapi banyak orang sangat menghormati dan menyayanginya.

Ia terus dicintai hingga ajal menjemputnya pada 13 April 1320. Ia meninggal dalam usia terbilang muda 33 tahun. Ia dimakamkan di sebuah Gereja Dominikan, diiringi dengan berbagai mukjizat. Entah kenapa hujan tiba-tiba berhenti ketika jazadnya dimasukan ke dalam peti. Seorang anak yang datang melayat dalam keadaan buta tiba-tiba bisa melihat. Begitupun mukjizat-mukjizat yang terjadi mencenangkan banyak orang.

Beberapa hari setelah penguburannya, para biarawati baru memahami kalimat yang sering diucapkan Margareth, “Andai saja kalian tahu apa yang ada di dalam jantung hatiku!”.  Kata-kata ini membuat para biarawati atas izin medis, membuka kembali makamnya dan membuat pemeriksaan medis atas jantungnya.

Ketika jantung diiris terbuka, keluarlah tiga butir bola kecil yang berkilau-kilau bak mutiara. Ada yang memberi kesaksian pada satu bola tergambar wajah Bunda Maria, bola kedua ada gambar bayi Yesus dan pada bola ketiga ditemukan gambar Santo Yosep. Semua yang hadir menjadi heran. Pengalaman iman ini juga menjadi salah satu dari sekian butir fakta-fakta mukjizat untuk beatifikasinya.

Margareth dari Castello dibeatifikasi oleh Paus Paulus V pada 19 Oktober 1609. Hingga saat ini, jenazahnya tak pernah membusuk. Ia dikenang setiap tanggal 13 April dengan gambarannya sebagai wanita tua, bertubuh kecil dan bungkuk, menggunakan tongkat.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here