Mengunjungi Berbagai Tempat Ibadah yang Berdampingan, Mahasiswa Merasakan Sesuatu yang Berbeda

83
Para mahasiswa di dalam Masjid Istiqlal.
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – PARA Mahasiswa “Pertukaran Mahasiswa Merdeka Inbound Universitas Kristen Indonesia” (PMM UKI) Angkatan 4 mengunjungi Masjid Istiqlal, Katedral Jakarta, Vihara Dharma Bhakti, Klenteng Toa Se Bio, dan Gereja Santa Maria pada hari Sabtu, 9/3/2024. Kegiatan bertema “Harmoni Bergama di Jakarta, Wajah Damai Indonesia Kita” diikuti 51 orang dari berbagai perguruan tinggi di luar Pulau Jawa. Saat ini mereka mengikuti program PMM di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur selama satu semester.

Firman dari Biro Humas dan Protokoler Masjid Istiqlal menyambut dengan ramah dan antusias kehadiran mahasiswa. Arbi Ristiadi, mahasiswa Program Studi Administrasi Bisnis Politeknik Negeri Pontianak memiliki kesan tersendiri setelah mengunjungi Istiqlal. Ini kali pertamanya ia masuk ke dalam masjid dan merasakan megah, sejuk dan indahnya arsitektur Istiqlal. “Kesan saya mengikuti kegiatan ini sangat luar biasa, karena keindahan keragaman agama membuat hidup itu penuh warna. Walaupun kampung saya mayoritas umat Muslim tapi saya belum pernah masuk ke masjid. Ini adalah pengalaman baru bagi saya,” ujar Arbi.

Arbi Ristiadi

Di Katedral, mahasiswa tidak hanya melihat Katedral dari dalam dan dari luar tetapi juga diajak oleh Humas Gereja Katedral Lili dan Susyana Suwadie untuk ke Museum Katedral. Museum memiliki koleksi benda umat Keuskupan Agung Jakarta.

Terdapat alasan historis dari tokoh pendiri bangsa tentang Berdampingannya Katedral dan Istiqlal. Presiden Soekarno memutuskan untuk mendirikan Masjid di seberang Gereja Katedral agar memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia. Kini terdapat juga terowongan yang menghubungkan dua rumah ibadah ini yang disebut dengan Terowongan Silaturahmi.

Di selasar Katedral Jakarta.

Mahasiswa melanjutkan perjalanan ke kawasan Glodok untuk mengunjungi tiga tempat ibadah sekaligus yang berdampingan di Jalan Kemenangan III Glodok, Jakarta Barat, yaitu Klenteng Toa Se Bio, Vihara Dharma Bhakti dan Gereja Santa Maria De Fatima.

Kunjungan yang pertama adalah ke Klenteng Toa Se Bio atau disebut Klenteng Duta Besar (Toa Se Kung) atau Da Shi Miao/Feng Shan Miao. Klenteng ini merupakan salah salah satu yang tertua di Jakarta. Diperkirakan usia Klenteng Toa Se Bio ini sekitar 400 tahun. Angka tahun pendirian ini diketahui melalui meja Hio Louw tertulis tahun pembuatan bangunan ini, yaitu tahun 1754.

Klenteng ini memadukan bangunan beton dan kayu yang lebih dominan pada bagian depannya. Terdapat banyak ornamen naga yang melilit di beberapa bagian bangunan. Nyala lilin dari yang besar sampai yang kecil terus menyala sepanjang waktu. Klenteng ini menjadi tempat puja sekitar 20 dewa sehingga diperuntukkan bagi penganut ajaran Tri Dharma, yaitu Konghucu, Taoisme, dan Buddha.

Vihara Dharma Bhakti adalah vihara tertua di Jakarta yang dikenal dengan nama lainnya Kim Tek Le yang berati secara harfiah adalah Kebajikan emas. Vihara ini dibangun pada 1650 oleh Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen. Nama itu disematkan demi mengingatkan manusia supaya tidak cuma mementingkan kehidupan materialisme, tapi juga mengedepankan kebajikan antar sesama manusia. Dalam perkembangannya, masyarakat sektiar mengenalnya dengan sebutan klenteng Petak Sembilan atau vihara bercorak Buddhis-Taois. Vihara Dharma Bhakti sejak lama dikenal sebagai pusat perayaan hari-hari raya Tionghoa di Jakarta.

Di Vihara Dharma Bhakti

Natalia Tomhisa, mahasiswi program studi Akuntasi Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, mengungkapkan kesannya setelah mengujungi Vihara Dharma Bhakti dan Klenteng Toa Se Bio. “Di Maluku sendiri jarang saya dapati orang yang beragama lain selain Muslim dan Kristen oleh karena itu saya baru pertama kali menginjakan kaki kesana. Kesannya adalah saya sangat suka dengan arsitektur dari Vihara dan Klenteng, menurut saya itu sangat detail jadi masih kental terasa etnis Tionghoanya dari nama-nama tempat dan para pengujungnya yang mayoritas beretnis Tionghoa. Ternyata apa yang saya lihat di film sama persis seperti aslinya,” paparnya.

Natalia Tomhisa

Natalia bercerita tentang toleransi di daerah asalnya yang telah membaik dan bertumbuh. “Setiap hari raya masing-masing agama, kami sangat bergembira dan sangat bertoleransi satu sama lain. Contoh saat bulan puasa Umat Muslim berjualan takjil di depan masjid dan yang membeli kebanyakan justru dari umat Kristen. Atau seperti arak-arakan malam takbiran pasti umat Kristiani akan meramaikan dengan tiupan torompet gereja, begitula pula sebaliknya. Jadi saat datang ke tempat-tempat ibadah di Jakarta, saya melihat keramahan mereka dan betapa terbukanya mereka saat kita wawancara, menurut saya sudah lebih dari cukup.” Ujar Natalia.

Di Gereja Santa Maria De Fatima

Kunjungan terakhir ke Gereja Katolik Santa Maria. Gereja  ini menjadi satu-satunya bangunan gereja yang menggunakan arsitektur Cina di Jakarta. Ornamen dengan perpaduan warna merah, kuning, dan emas mendominasi bangunan. Dua buah patung singa atau patung kilin yang diletakkan pada bagian bangunan utama, yang melambangkan kemegahan. Gereja ini berdiri di tengah permukiman padat penduduk .

“Selain memperluas pengetahuan akademis mahasiswa, kami harapkan kunjungan ini dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan wawasan kebangsaan, meningkatkan pemahaman mahasiswa pada keberagaman suku, agama, ras, dan antargologan dan semangat persatuan. Serta mengembangkan perjumpaan dan dialog  intensif dalam keberagaman dan sikap saling memahami sehingga tercipta penguatan persatuan,” tutur Haposan Sinaga Sahala Raja Sinaga, Dosen Fakultas Hukum UKI/Dosen Modul Nusantara. (fss)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here