K O S T E R

59
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – SENJA di ufuk barat kian menggelap. Tampaklah bukit yang rimbun pepohonan itu semakin membayang, pertanda malam akan segera tiba. Aku lihat jarum jam yang bergantung di dinding kapel, telah lurus ke atas dan ke bawah.

Aku beranjak menuju pojok kapel. Di tempat itulah sebuah menara berdiri dengan lonceng bergantung di puncaknya. Aku menarik tali lonceng itu, lalu bandul berayun ke kiri dan ke kanan, membentur logam. “Theng theng…thentheng…thengtheng,” lonceng kudentangkan sebanyak 18 kali, memberitahukan ke semua umat untuk berdoa Angelus.

Seminggu ini aku menjalani tugasku sebagai koster di stasi yang berjarak 20 km dari gereja paroki. Meskipun wilayah gerejani ini berstatus stasi, namun romo paroki berkenan mempersembahkan misa kudus seminggu sekali, mengingat hampir semua warga di wilayah ini adalah umat Katolik.

Aku datang di stasi ini pada saat yang tepat.

“Saya percaya ini tidak kebetulan. Tuhan telah mengirimkan bapak ke stasi ini. Saya dan umat di sini dengan senang hati menyambut niat bapak untuk melayani di sini sebagai koster. Terima kasih banyak, Pak Budi. Saya ucapkan, selamat melayani di sini,” tutur ketua stasi dengan wajah berseri-seri.

Dengan niat yang sungguh aku menyediakan diri menjadi seorang koster di gereja Stasi St. Yusuf ini. Aku meninggalkan Ibukota, untuk tinggal di desa yang sepi, dimana tak seorang pun mengenalku. Aku akan hidup sendiri. Telah kuniatkan untuk memutus dunia hedon yang selama ini kunikmati. Aku bertekat untuk bertobat, lepas dari jerat maksiat, kembali ke praktek hidup yang membawa berkat.

Plong, lega hatiku saat mendengar restu pak ketua stasi. Sejak saat itu aku melanjutkan tugas Pak Ignatius Igur, koster yang selama setahun ini menyiapkan segala jenis peralatan liturgi, buku-buku tatacara liturgi, kitab suci, dan mengurus kebersihan, kerapian, dan keasrian kapel ini.

Pak Igur telah kembali ke rumah Bapa di surga dua minggu lalu. Dia menghembuskan nafas terakhir di kamarnya. Dia menampati pondok kecil di belakang kapel. Menurut cerita bapak ketua stasi, tak seorang pun mengetahui waktu tepatnya Pak Igur berhenti bernafas. Saat mentari meninggi, seorang umat mengetuk pintu kamar Pak Igur, namun berkali-kali diketuk, tiada berbalas. Melaporlah dia ke ketua stasi, lalu digebrak pintu kamarnya. Di dalam kamar, Pak Igur telah membujur diam tiada bernafas di tempat tidurnya. Kata pak ketua stasi, dia masuk angin akibat terlalu keras bekerja.

Jenazah almarhum disemayamkan di kapel ini. Hampir semua umat yang tinggal di sini hadir memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Namun, menurut bapak ketua stasi tidak ada seorang pun keluarga Pak Igur. Ini menjadi pertanyaan banyak orang, siapa sebenarnya pak Igur?

Kisah tentang Pak Igur di stasi ini, bermula pada tahun lalu. Pak ketua stasi menuturkan, senja hari, Pak Igur bertamu di rumah bapak ketua stasi. Dia datang dari Jakarta, menyatakan mau melayani sebagai koster di kapel ini. Pak Igur juga memberi uang yang tidak sedikit. Bapak ketua stasi lalu mengumpulkan beberapa orang pengurus stasi. Mereka bersepakat menerima Pak Igur, dan menggunakan uang itu untuk membeli sound system yang memang belum ada. Sisa sumbangan itu dibelikan dua puluh kursi dan mengecat ulang dinding kapel.

Keberadaan koster Pak Igur di stasi ini sangat membantu kelancaran ibadat. Satu jam sebelum misa dimulai, Pak Igur telah menyiapkan segala sesuatunya. Di meja kecil di pinggir altar, tertata piala dengan kelengkapannya, seperti sehelai kain putih memanjang (purificatorium), piring kecil yang terbuat dari logam untuk meletakkan horsti besar (patena), hosti besar, dan selembar kain penutup dari linen (palla). Di sebelahnya ada dua gelas kecil berisi anggur dan air putih, yang ditutup palla. Juga lavabo, atau tempat cuci tangan diserta kain lap. Di meja altar, Pak Igur memastikan telah terpasang salib dan dua lilin. Dia juga menyiapkan buku-buku tatacara liturgi sesuai Tahun Liturgi A, B, atau C, Kitab Suci, Mazmur, Puji Syukur, dan buku pengumuman.

Aku sejalur dengan Pak Igur, semua yang ia telah kerjakan juga aku akan lakukan. Termasuk aku juga menyapu dan mengepel lantai kapel, mengatur kursi, dan mengoperasikan sound system. Di lahan yang terbatas, Pak Igur menanam berbagai jenis tanaman hias yang mempercantik lingkungan kapel ini.  Asri, rapi, dan indah, seperti itu kesan semua orang yang memasuki area kapel ini.

Hampir saban hari, orang-orang yang bertemu denganku membicarakan kebaikan Pak Igur. Aku senang mendengar cerita itu, dan dalam hati, aku bertekad untuk menjadi seorang koster sebaik Pak Igur.

Pada setiap senja yang menghantar ke malam, seiring dentang lonceng yang menipis, aku selalu menghirup aroma mawar melati di taman kecil buah tangan dingin Pak Igur. Aku merasa mendiang hadir. Lantas kusebut namanya seraya mengucap doa. “Selamat jalan menuju rumah Bapa di surga. Allah Bapa Maharahim akan memberkatimu, merahmatimu dengan hidup tentram dan damai selamanya.”

“Selamat siang, leres ini kapel Santo Yusuf?” tiba-tiba seorang perempuan menyapaku dengan suara yang lembut. Aku menegakkan badan, melepas topi, lalu memballikkan badan.

Njih, ibu siapa?” tanyaku, membalas sapaannya.

Dengan suara lemah dia melanjutkan. “Apakah Bapak tahu, ada yang bernama Ignatius Igur, saya mendapat kabar dia tinggal di sini?” ujarnya, lalu menunduk.

Aku kaget.

“Oh, maaf ibu siapa ya?” tanyaku

“Saya istrinya,” jawabnya lirih.

“Oh, ibu silakan duduk dulu,” ajakku sambil melangkah ke teras  kapel. Ibu itu mengikutiku, dan kami duduk di kursi panjang.

“Minta maaf dengan ibu siapa ?” tanyaku. Dia melihatku. “Saya Indi, istri Igur. Boleh minta tolong saya diantar ke tempat tinggalnya?’ pintanya.

“Ibu Indi, minta maaf. Mohon ibu bersabar ya. Pak Igur telah tiada. Maksud saya, Almarhum Pak Igur telah dipanggil Tuhan seminggu yang lalu,” ujarku sambil menatap wajah ibu itu. Ibu Indi kaget. Wajahnya memucat. Tiba-tiba kepalanya terkulai, jatuh ke pundakku. Aku memandang ke sekeliling. “Bu, bu, buuuu, tolong!” aku memekik, memanggil seorang ibu yang kulihat berdiri di depan rumahnya. Ibu itu melihatku, lalu berlari ke arahku.

Kami mengurus Bu Indi sampai siuman.

Sore itu juga aku antar Bu Indi ke makam mendiang Pak Igur. Dalam perjalanan pulang dari makam, Bu Indi bercerita tentang suaminya. Inilah ceritanya.

Pak Igur adalah seorang pengusaha di bidang advertising yang berhasil di Ibu Kota. Hidupnya berkelimpahan. Istrinya, Bu Indi ke mana-mana diantar seorang sopir. Tanpa sepengetahuan Pak Igur, Bu Indi berselingkuh dengan sopirnya. Pak Igur tahu kelakuan sang istri. Namun dia hanya diam, karena Bu Indi adalah anak bosnya dulu. Dia bisa jadi pengusaha karena pemberian mertuanya. Setelah mertua tidak ada, istrinya berulah. Puncaknya, Bu Indi pergi meninggalkannya, hidup bersama sang sopir.

Pak Igur pun bangkrut. Ia kehilangan istri dan usahanya. Dua orang anaknya hidup di luar negeri, tak pernah kembali. Pak Igur memutuskan pergi dari Ibukota, menyepi di pegunungan, tinggal di stasi ini, dengan mengabdikan diri sebagai seorang koster.

Indi mengalami nasib buruk. Dia ditinggalkan lelakinya, si sopir itu, setelah hartanya ludes untuk hidup royal. Dia bermaksud  kembali ke Pak Igur. Namun Indi tidak menemui suaminya itu di rumah. Dia mendapat kabar keberadaan Igur dari bekas karyawannya.

Namun sudah terlambat, Bu Indi menemukan Igur telah dikubur. Menyesal seperti apapun, Igur telah tiada. Penyesalan yang tiada akhir.

“Oh Tuhan. Betapa mulia Pak Igur,” ujarku ke diri sendiri.

Aku semakin bertekad untuk melanjutkan pelayanan Pak Igur di Gereja Stasi Santo Yusuf ini. Aku sejalur dengan mendiang. Lari dari kejamnya Ibu Kota, membaktikan diri dalam pekerjaan Tuhan di tempat ini. Namun aku bukan lelaki mulia seperti Pak Igur. Praktik hidupku awut-awutan. Sebelum semakin berantakan, aku bertekad menata hidup dengan menyepi di stasi ini. Pelayananku sebagai seorang koster di Gereja Santo Yusuf ini, semoga dapat menjadi silih atas segala dosa dan kesalahan hidupku di masa lalu.

Majalah HIDUP, Edisi No.09, Tahun Ke-78, Minggu, 3 Maret 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here