web page hit counter
Minggu, 13 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (9): Gereja Senantiasa Diperbarui

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM UNGKAPAN Ecclesia Semper Reformanda mungkin sudah akrab kita ucapkan, artinya mengenai hubungan Gereja dan perkembangan zaman. Terjemahan harfiahnya Gereja perlu selalu diperbarui/direformasi. Ungkapan imperatif sekaligus jaminan, semboyan bahwa Gereja tidak bisa tidak dan niscaya tidak akan ketinggalan zaman dengan segala plus-minusnya. Gereja sebagai institusi, persekutuan umat beriman, baik kata benda maupun kata kerja (menggereja) tidak akan out of date-basi. Sebagai bagian integral dunia dengan berbagai persoalan dan perkembangannya yang supercepat ibarat tunggang langgang, Gereja aktif melakukan refleksi, otokritik dan aktualisasi, terbuka pada kritik, terus memberikan seruan dan desakan sebagai bagian tugas profetisnya.

Dari sejarah tercatat hubungan Gereja sebagai institusi dan dunia tidak selalu baik-baik saja. Memang sama-sama mengakui otonomi masing-masing, tetapi kadang-kadang muncul keinginan dan usaha saling mendominasi. Kolusi, korupsi dan nepotisme dunia dan Gereja juga pernah terjadi. Reformasi yang dilakukan Martin Luther (1483-1546), teolog, biarawan Dominikan dan reformator di abad XVI merupakan pukulan besar terhadap Gereja Katolik, baik dalam ajaran maupun praksis penggembalaan. Dari waktu ke waktu, reformasi yang dimulai Martin Luther meluas dan berkembang dalam berbagai bentuk gereja Kristen (Protestan) – Injili — berkembang sebagai institusi dan agama di luar Gereja Katolik. Tidak hanya sampai di tingkat skisma (perpecahan) atau yang menyangkut dogma infabilitas Paus, tetapi juga sampai pada masalah pribadi dan paham magisterium Gereja dalam mengembangkan iman, persaudaraan, bela rasa. Terjadi pemisahan-tegangan antara semangat pembaharuan dan ortodoksi-konservatif.

Reformasi yang dilakukan Martin Luther 500 tahun lalu berawal dari protes atas kebijakan dan aturan Gereja yang menyimpang. Dia menempelkan 95 dalil di gereja-gereja di Jerman yang menguraikan praktik penyalahgunaan dan penyelewengan dalam Gereja. Salah satu dari perbedaan dengan Katolik ialah tidak mengakui keberadaan Paus. Secara keseluruhan pemeluk Kristen Protestan di Indonesia dengan berbagai denominasi sekitar 16,5 juta (2024), sementara Katolik sekitar 7 juta.

Teologi pembebasan yang lahir di Brasil dan berkembang di negara-negara Amerika Latin lainnya, bergelut dengan realitas penindasan, kemiskinan dan ketidakadilan. Metodologi teologi dikritik, demikian para teolog pembebasan, perlu dibongkar dari bawah ke atas dengan titik tolak kondisi kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan. Awalnya kritik ini ditolak, apalagi komunisme sedang berkembang di tahun 60-an bersama sekularisme. Dalam perkembangannya, Vatikan-Gereja lebih terbuka, menerima teologi pembebasan sebatas tidak menggunakan kekerasan seperti cara-cara marxistis; sejalan dengan semangat pembaruan Gereja yang dibawa Konsili Vatikan II.

Baca Juga Artikel:  Renungan Harian 12 Oktober 2024 “Mendengar dan Melakukan Firman"

Namun dalam masalah-masalah mendasar teologis, Gereja dalam berbagai kasus tetap kekeuh, setia dengan ketentuan Kitab Hukum Kanonik-dasar hukum untuk mengontrol kekuasaan sebagai acuan legal, magisterium dan tradisi. Kasus-kasus besar yang menyangkut masalah teologis, sebagai contoh penolakan hasil-hasil Konsili Vatikan II dan kekeuh dengan yang berjalan sebelum konsili dalam kasus Mgr. Marcel Lefebre yang diekskomunikasi (dikeluarkan dari Gereja) yang menolak segala pembaruan Konsili Vatikan II.

Peristiwa terbaru Mgr. Carlo Maria Vigano (83) dari Italia, mantan Dubes Vatikan di Amerika Serikat  diekskomunikasi tanggal 5 Juli yang lalu dalam kasus skisma. Mulai 5 Juli yang lalu, Mgr. Vigano kehilangan semua haknya dalam Gereja. Kardinal Vigano memang sudah lama dikenal berbeda paham dengan Paus Fransiskus, pengritik Paus Fransiskus, konservatif, berbeda padangan tentang perubahan iklim, hidup bersama pasangan sejenis. Skisma tidak semata-mata masalah doktriner tetapi perbedaan paham mengenai kekuasaan dan Gereja. Sementara dalam sejarah Gereja, skisma terbesar adalah pisahnya Katolik di Barat dan Ortodoks di Timur tahun 1054, dampak perkembangan luar biasa  reformasi Martin Luther di abad XVI.

Otokritik dan Terbuka Kritik

Dengan  berbagai bentuk, sarana dan bertahap, Gereja senantiasa melakukan otokritik. Mulai dari jenjang di tingkat struktural paroki, keuskupan di tataran Gereja Lokal sampai kepausan di tataran Gereja Universal. Sinode, sidang agung dan konsili merupakan beberapa bentuk riil menyelenggarakan otokritik. Dalam acara-acara itu dipotret, dikenali dan direfleksi kondisi aktual yang berkembang, dibahas solusi yang dikembangkan dalam terang Roh Kudus dan semangat Injili.

Dalam kaitan teologi pembebasan, misalnya, ketika dibahas dalam Sinode Keuskupan-keuskupan di Amerika Latin (CELAM) ke-7, Sinode mengusulkan peringatan bagi pengembangan teologi pembebasan. Di Indonesia misalnya, Sidang Agung Gereka Katolik Indonesia (SAGI) tahun 2005, pertama kali klerus dan umat bertemu dalam sebuah pertemuan besar, merupakan salah satu contoh upaya melakukan otokritik dan keterbukaan terhadap kritik.

Baca Juga Artikel:  Mengapa Bapa Suci Menambah Kardinal Baru untuk Indonesia: Ada Dua Kardinal Elektor

Otokritik dan keterbukaan pada kritik menyatu sebagai jati diri Gereka (menggereja) dengan semangat dasar dan tujuan akhir ecclesia semper reformanda. Bahwa dengan tetap setia pada pokok-pokok ajaran iman, Gereja selalu memperbarui diri sejalan dengan perkembangan dunia, walau selalu terjadi tegangan antarkeduanya. Paus Fransiskus mengajak umat untuk berjalan bersama-sama atau sinodal dengan bangsa-bangsa, sejalan dengan semangat cinta perdamaiannya.

Gereja Katolik Indonesia bukannya tidak terimbas pengaruh teologi pembebasan, apalagi kondisinya mirip dengan Amerika Latin. Pernah disebut beberapa teolog yang membawa napas teologi pembebasan, tidak seradikal dengan para teolog pembebasan, melainkan terlebih dalam membangun penyadaran bersama tentang kondisi kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan sebagai titik tolak berteologi. Apalagi sampai turun langsung ke aksi-aksi pembebasan secara fisik.

Kehadiran Pater Franz Magnis-Suseno, SJ membuat banyak orang kagum dan segan. Aktif memberikan pencerahan dalam berbagai kesempatan di luar tugas pokok sebagai guru besar etika politik, sesekali muncul tulisan dan pernyataannya menyengat (ngentup) penguasa dan masyarakat. Jarang ada yang menyanggah. Pater Magnis disegani, sebab yang disampaikan dilandasi latar belakang ilmiah, pengetahuan, pengalaman dan kepedulian demi maksud baik: kemanusiaan dan kebaikan bersama. Secara tidak langsung dia membahasakan “suara diam” Gereja maupun kalangan intelektual yang “menabrak tembok” praktik ketidakadilan dan pelanggaran etika.

Dalam ungkapan dan cara yang berbeda, Pastor Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun) (1929-1999), dengan komitmen peningkatan hidup dan martabat manusia, menunjukkan perhatian lewat berbagai cara. Ia terjun ke lapangan, secara tidak langsung mengambil risiko besar seperti yang dialami Mgr. Oscar Arnulfo Romero (1917-1980) yang dibunuh karena gigih menyuarakan dihentikannya penindasan di El Salvador. Pater Magnis, Mgr. Oscar Romero, Romo Mangun — dalam bentuk dan cara masing-masing, berada dalam satu napas: menyadarkan masyarakat tentang kondisi kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan.

Senyampang itu Pater Magnis dan Romo Mangun aktif melakukan otokritik ke dalam tubuh Gereja. Keduanya gencar mengingatkan, bahwa jumlah umat Katolik Indonesia amat kecil dibanding dengan jumlah umat Islam. Indonesia adalah negara majemuk dan amat dihargai kondisi kemajemukannya. Jangan Katolik jorjoran dan bergaya sok, seru Pater Magnis mengenai perlunya membangun tenggang rasa dengan lingkungan (Franz Mgnis-Suseno, SJ, Menggereja di Indonesia. Percikan Kekatolikan Sekarang, Kanisius, 202O). Aja dumeh (jangan mentang-mentang), pernyataan yang sering disampaikan Romo Mangun.

Baca Juga Artikel:  Mencecap Kesederhanaan dan Keheningan di Stadion Bola

Jorjoran, demikian Pater Magnis, artinya memunculkan diri untuk menunjukkan keunggulan.  Tetapi dalam sejarah, sikap jorjoran juga pernah ditunjukkan Gereja dan sudah disadari sebagai otokritik, yang niscaya membuat malu orang Kristen. Misalnya penganiayaan terhadap orang Yahudi, tujuh perang salib dan “penindasan” ajaran sesat di abad pertengahan, perang antara Katolik dan Protestan. Dengan jumlah kecil pemeluk agama Katolik di Indonesia, semestinya umat Katolik lebih peka. Di saat yang sama, Pater Magnis dan Romo Mangun, gigih melakukan pembelaan terhadap kritik yang tidak benar tentang Gereja, termasuk fitnah dan kecaman yang dialamatkan pada Paus, utamanya Paus Fransiskus.

Dalam sejarah kepausan, tercatat beberapa penulis yang mengritik secara pribadi tokoh Paus Fransiskus. Tidak hanya ketika Paus Fransiskus sebagai Provinsial SJ Argentina dan Uskup Agung Buenos Aires, tetapi juga di saat keterpihannya dan sesudahnya sebagai Paus.

Sambil mengakui “di mana ada kekuasaan tidak terkontrol kebusukan berkembang”, dalam kasus-kasus pelecehan seksual oleh klerus, Paus Fransiskus mengakui, membuka aib, dan tidak mendiamkannya. Dia terbuka terhadap kritik, menetapkan dan menindak tegas kasus pelecehan seksual yang dilakukan klerus, dan kalau bersifat kriminal alat negara harus dilibatkan. Paus Fransiskus dalam menangani kasus vitaleks-bocornya kecurangan keuangan negara Vatikan dan kasus-kasus besar lainnya, berpegang pada ajaran iman dan penghargaan martabat kemanusiaan, seperti menolak perkawinan sejenis. Dari sisi ini dia konservatif, tetapi di sisi lain dia pembaharu. Menurut Austen Ivereigh yang menulis biografinya, Paus Fransiskus seorang Paus Pembaharu yang menuju radikal (Austen Ivereigh, The Great Reformer. Francis and the Making of a Radical Pope, Henry Holt and Company, 2014–ibidem). Paus Fransiskus membumikan semboyan Ecclesia semper reformanda dalam tugas penggembalaan apostoliknya.

 

St.Sularto, Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles