web page hit counter
Minggu, 13 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (10): Membumikan Keimanan dan Keberagaman

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DENGAN membuka hati dan mencelikkan mata sedikit saja, tersaji betapa pengrusakan dan kerusakan alam telah dan tengah terjadi secara massif. Perjanjian/Kesepakatan Paris tahun 2016, perjanjian hukum internasional yang bertujuan memperkuat respons perubahan iklim tahun 2016. Di antaranya berisi kewajiban negara-negara termasuk Indonesia ikut  meratifikasi, menyediakan dana dan upaya memperlambat kerusakan alam.

Kesepakatan dan perjanjian satu soal, tindak lanjut dan niat menjalankannya soal lain. Kerakusan manusia memanfaatkan alam atas nama survival melupakan kesepakatan. Di berbagai negara, taruh Indonesia, kepedulian ini melemah, terjadi dalam kasus-kasus lingkungan, sekadar menyebut  contoh  pembangunan industri semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Menurut Guntretno tokoh masyarakat Samin yang gencar menyuarakan penolakan, selain menutup sumber-sumber mata air, industri ini juga menciptakan kemiskinan baru dengan hilangnya lahan pertanian warga yang digali habis-habisan.

Masih banyak contoh lain di sekitar, dekat maupun jauh. Di Indonesia, memang ada kementerian yang mengurusi lingkungan hidup yang dalam beberapa kasus berseberangan dengan kementerian lain yang mengedepankan hasil cepat. Sudah lama berdiri lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memberi fokus kegiatan dan perjuangan keselamatan lingkungan. Ada yang berhasil dalam beberapa kasus, sebagian besar kalah melawan kuasa uang dan pengaruh. Di samping Bumi yang harus dijaga dan dilestarikan berikut fauna yang membutuhkan habitat. Kesepakatan Paris dalam hal cara mengatasi perubahan iklim, masih belum satu kata.

Seorang penulis Denmark, Bjorn Lomborg — ahli lingkungan — menulis buku False Alarm. How Climate Change Panic Costs Us Trillions, Hurts the Poor, And Fails to Fix the Planet (Basic Book, 2020). Ia mengritik cara mengatasi perubahan iklim yang disepakati sebagai Kesepakaan Paris. Menurut Lomborg, banyak solusi perubahan iklim yang dapat memberikan manfaat ekonomi sekaligus meningkatkan kehidupan dan keselamatan lingkungan. Tidak dengan menciptakan ketakutan, penggelontoran biaya besar-besaran dan menciptakan kemiskinan, tetapi dengan pengembangan teknologi baru.

Baca Juga Artikel:  Renungan Harian 11 Oktober 2024 “Berpikir Positif"

“Terpujilah Engkau”

Tidak memasuki lebih mendalam wacana masalah kerusakan lingkungan dan upaya pencegahannya, tulisan ini fokus pada dua gagasan besar Paus Fransiskus terkait keselamatan manusia, flora dan fauna berikut habitatnya. Dua gagasan besar berdampak mondial bagi keselamatan manusia dan alam ciptaan, mencakup kepentingan masa depan umat manusia, tertuang dalam Ensiklik Laudato Si’ (Terpujilah Engkau) 24 Mei 2015 dan Fratelli Tutti (Saudara Sekalian) 3 Oktober 2020. Kedua ensiklik menunjukkan jalan membumikan keimanan dan keberagamaan, sekaligus keberpihakan pada yang miskin dan tersingkir.

Keduanya berkaitan dan saling mendukung. Gagasan pertama tentang keselamatan Bumi menghentakkan kesadaran internasional berlanjut dengan berbagai solusi usulan kegiatan mengatasi. Dengan ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus adalah peletak dasar (sosial dan teologis) kesadaran penyelamatan lingkungan. Untuk semua itu diperlukan pertobatan ekologis, pengakuan atas pengrusakan lingkungan hidup.

Ensiklik Laudato Si’ dibuka dengan kalimat pertama Laudato Si’ mi SignoreTerpujilah Engkau, Tuhanku, dikutip dari madah Gita Sang Surya – Santo Fransiskus Assisi. Ensiklik yang terdiri atas 246 paragraf ini berbicara tentang bagaimana seharusnya manusia beragama dan beriman, menyikapi alam dan lingkungannya. Dengan seruan dan ajakan pada pengantar, ensiklik meninjau beberapa aspek krisis ekologi saat ini. Menimba hasil-hasil penelitian ilmiah, membiarkan menyentuh permasalahan secara mendalam dan memberi landasan konkret perjalanan etis dan spiritual selanjutnya.

Paus Fransiskus mengakui masih terjadinya keragaman pendapat solusif. Beberapa orang mendukung secara ekstrem dengan menerapkan teknologi baru tanpa perlu pertimbangan etis dan perubahan mendalam. Pendapat ekstrem lain, menyatakan melalui intervensi apa pun manusia bisa menjadi ancaman dan membahayakan ekosistem global, karena itu kehadirannya harus dikurangi dan segala intervensinya dicegah.

Di antara dua ekstrem itu, perlu dipikirkan dan diajukan skenario-skenario baru karena tidak mungkin di depan hanya ada satu jalan keluar. Paradigma ini menghasilkan aneka sumbang saran untuk masuk ke dialog menuju tanggapan yang menyeluruh.Mengenai masalah-masalah konkret yang tengah terjadi, Gereja dalam konteks ini ensiklik tidak menawarkan pendapat. Paus Fransiskus meminta dengan sangat agar diadakan dialog baru tentang bagaimana membentuk masa depan planet Bumi. Paus berharap Laudato Si’ dapat membantu mengakui besarnya, mendesaknya, dan indahnya tantangan yang dihadapi.

Baca Juga Artikel:  Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Sinaga: Menjadi Murid Yesus secara Total

Saudara Sekalian

Ditandatangani 3 Oktober 2020 di Kota Assisi, ensiklik bertujuan mendorong keinginan persaudaraan semesta dan persahabatan sosial. Pandemi Covid-19 menunjukkan, ”tak seorang pun bisa menghadapi hidup sendirian”. Pandemi Covid-19 melatarbelakangi lahirnya ensiklik ini, bahwa tiba waktunya “mimpi sebagai satu keluarga umat manusia”. Baik Laudato Si’ maupun Fratelli Tutti, demikian Paus Fransiskus, bersumber dari payung yang sama: keteladanan Santo Fransiskus Assisi. Sedangkan dalam mengembangkannya, ensiklik diinspirasi oleh sumber-sumber lain dan sejumlah tokoh dunia.

Di luar pengantar, Fratelli Tutti terdiri atas delapan bab. Dimulai dalam Bab Satu tentang bayang-bayang gelap dunia yang tertutup, dalam Bab Dua  sampai Bab Delapan disampaikan harapan-harapan yang berbicara tentang kehausan, aspirasi, keinginan mencapai hal-hal besar dan membangkitkan pada hal-hal yang luhur. Sebagai penutup Bab Satu, Paus mengajak “marilah kita berjalan dalam pengharapan”.

Bab Dua dibuka dengan perumpamaan yang dikutip dari Injil Lukas 10:25-37 tentang Orang Samaria yang murah hati. Perumpamaan ini mengajak semua orang memberikan dimensi universal untuk mencintai, mampu mengatasi semua prasangka, semua hambatan sejarah dan budaya, semua kepentingan sempit.

Bab Tiga sampai Bab Tujuh berbicara tentang menciptakan dunia yang terbuka di antaranya ajakan keluar dari diri sendiri, nilai solidaritas, fungsi sosial hak milik (Bab Tiga), hati yang terbuka dimulai dari wawasan lokal ke wawasan universal (Bab Empat);  tentang politik yang lebih baik antara lain diuraikan tentang perbedaan populisme dan populer. Populisme menjadi lebih buruk ketika dalam bentuk kasar atau halus menjadi perampasan kekuasaan atas institusi-institusi dan hukum (Bab Lima). Dialog menjadi dasar persahabatan sosial sebab dialog membuka pintu masing-masing pribadi dan bertujuan memulihkan kebaikan hati setiap orang (Bab Enam). Perjumpaan di atas pengalaman konflik bisa terjadi dengan adanya pengampunan, “mengampuni tanpa melupakan” (Bab Tujuh). Dalam Bab Delapan, ensiklik menguraikan agama-agama hendaknya melayani persaudaraan di dunia. Pencarian akan Allah sebagai landasan terdalam hendaknya tidak mengaburkannya dengan kepentingan ideologis atau praktis, membantu para pemeluk agama-agama menjadi teman seperjalanan.

Baca Juga Artikel:  Mencecap Kesederhanaan dan Keheningan di Stadion Bola

Dalam penutup, Paus Fransiskus mengingatkan pertemuan persaudaraannya dengan Imam Agung Ahmad Al-Tayyeb yang bersama-sama “menyatakan agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan dan ekstremime, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah”.

Selain berteri kasih pada sejumlah tokoh yang menginspirasi ensiklik, Pus Fransiskus mengajak mengingat Beato Charles de Foucauld dari abad XIX, imam dan biarawan Trapis dari Perancis, martir di Aljazair yang dengan imannya  mendalam akan Allah melakukan perjalanan transformasi hingga merasa dirinya sebagai saudara bagi semua. Spiritualitas Charles de Foucauld (1858-1916), yang di tahun 2022 dikanonisasi sebagai santo, membantunya menemukan cara hidup Kristen yang lebih sederhana.

Ensiklik Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, ensiklik kedua dan ketiga Paus Fransiskus, dua gagasan besar tentang kemanusiaan yang inspiratif, yang perlu terus digali dan didalami sebagai pendorong keberimanan dan keberagamaan. Demikian Kardinal Ignatius Suharyo sebagai anggota Panitia Pengarah dan Mgr. Antonius Bunyamin Subianto, OSC sebagai Ketua Pengarah Panitia Nasional Penyambutan Paus Fransiskus 2024.

Dengan mempelajari dan menggali uraian di dalamnya, diharapkan muncul kesadaran bersama tentang seriusnya kerusakan Bumi dan seluruh alam ciptaan, serta bersama-sama mengatasi sebagai sesama  penghuni planet Bumi. Kedua ensiklik mengajak semua orang tanpa kecuali bersama-sama bertanggung jawab atas kelestarian alam ciptaan. “Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati,” (Yakobus 2: 14-26).

Kedua ensiklik membumikan makna keimanan dan keberagamaan dalam dunia yang konkret.

St. Sularto, Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles