web page hit counter
Minggu, 13 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (12): Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – “IMAN-Persaudaraan-Bela Rasa” tema kunjungan Paus Fransiskus yang diusulkan Bapak Kardinal Ignatius Suharyo selaku Ketua KWI tahun 2019 kemudian disetujui Vatikan, sejalan dengan misi negara Kota Vatikan. Mengembangkan hidup keagamaan, kemanusiaan, perdamaian, dialog agama, dan kesejahteraan. Paus Fransiskus membawa misi kemanusiaan.

Misi kemanusiaan merupakan tali simpul kunjungan Paus Fransiskus, juga para Paus sebelumnya, termasuk, juga rencana kunjungan Paus Fransiskus ke Belgia dan Luxemburg, 25-29 September 2024. Menurut Kardinal Suharyo, memaknai kunjungan para Paus, sangat mempertimbangkan faktor prioritas, kepedulian, kesehatan Paus dan aktualitas yang sedang terjadi di negara-negara yang dikunjungi. Berbela rasa (compassion) artinya sikap untuk mau berpihak dan merasakan penderitaan yang sama  sebagai sesama saudara semesta (Kompas, 06/08/2024) . Paus Fransiskus membawa misi apostoliknya pada persaudaraan dan berbela rasa pada kelompok miskin dan tersingkir, di samping dialog perdamaian melanjutkan misi Paus Benediktus XVI dan Paus (Santo) Yohanes Paulus II.

Vatikan tidak berpolitik praktis, tetapi menggelorakan perdamaian, menumbuhkan kepedulian bersama, dan mengusahakan peningkatan martabat manusia. Posisinya ibarat nabi, mengingatkan, menyerukan, dan mendesakkan. Dokumen Abu Dhabi  9 Februari 2014 menjadi peristiwa historis penting seruan untuk perdamaian dunia yang ditandatangani Imam Agung Al-Azhar Syeikh Akhmad el-Tayeb (Juni yang lalu datang ke Indonesia dan bertemu Presiden Joko Widodo) bersama Paus Fransiskus.

Dokumen ini menginspirasi Paus Fransiskus menulis ensikliknya yang kedua, Laudato Si’ (Saudara Sekalian), 24 Mei 2015. Masih beragamnya pendapat tentang efektivitas Dokumen Abu Dhabi, memperlihatkan bahwa Paus Fransiskus adalah seorang pembaharu, selain konservatif dalam  (kondisi ini justru memperlihatkannya sebagai pembaharu besar yang konservatif sekaligus setia pada Konsili Vatikan II, magisterium para Bapa Suci berikut doktrin-doktrin Gereja (Austen Ivereigh, The Great Reformer. Francis and the Making of a Radical Pope, Heny Holt and  Company, 2014).

Kerendahan Hati

Kepemimpinan Paus Fransiskus yang membetot kekaguman, mengundang seorang pakar manajemen, Jeffrey A. Kramers, mempelajari model kepemimpinan paus ke-266 kelahiran Argentina itu. Studinya menghasilkan buku Lead with Humility. 12 Leadership Lessons from Pope Francis (Jeffrey A. Krames, McGraw Hill, 2014). Sikap rendah hati oleh Krames ditempatkan sebagai lesson pertama. Dia kutip ujaran Paus Fransiskus, “Kalau kita dapat mengembangkan sikap rendah hati yang benar, kita dapat mengubah dunia.” Menurut Krames, dalam 12 lessons itu, ada tiga corak utama kepemimpinan Paus Fransiskus, yakni humility (kerendahan hati), inclusion (merangkul semua orang), dan evangelisasi (penginjilan dengan suka cita).

Baca Juga Artikel:  Renungan Harian 12 Oktober 2024 “Mendengar dan Melakukan Firman"

Lesson nomor dua, demikian Krames, seorang pemimpin harus bergelut dan melekat dengan mereka yang dipimpinnya dan dengan demikian inspiratif. Krames menyimpulkan lesson kedua ini dari seruan apostolik Paus Fransiskus Evangelii Gaudium (Sukacita Injili), 2013. “Para pewarta kabar gembira memiliki ‘bau domba’ dan domba-domba pun mau mendengar suara mereka. Maka komunitas yang mewartakan Injil siap ‘menemani’. Menemani kemanusiaan dalam seluruh prosesnya” (Sukacita Injil, No. 24).

Sampai tahun 2022, berbagai seruan apostolik dan tiga ensikliknya, tidak berangkat dari olah intelektual sebagai teolog, tetapi refleksi seorang Gembala Agung dalam terang iman dan Injili (Kabar Gembira) atas apa yang dihidupinya selama bertahun-tahun. Hidup dan berkembang tiga tahap dalam dirinya: pengalaman rohani mendasar atas panggilan hidupnya, bahwa bukan dia sendiri yang memilihnya (semboyan pelayanan sebagai Uskup Agung Buenos Aires sekaligus sebagai paus: Miserando atque Eligendo yang bisa diartikan “dengan wajah kerahiman memanggil dia” (1). Sepanjang hidupnya kemudian, Paus Fransiskus mengalami transformasi pribadi yang hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, terepresentasi dalam kegembalaannya sebagai Uskup Agung maupun sebagai paus (2). Transformasi pribadi itu kemudian menjadi bagian utuh dalam diri dan karya apostoliknya, terlihat dalam berbagai seruan dan ketiga ensikliknya (3).

Menghentakkan 

Dari tiga ensiklik yang ditulis Paus Fransiskus, menurut para teolog dan agamawan, Laudato Si’ (Terpujilah Engkau) dan Fratelli Tutti (Saudara Sekalian) merupakan dua gagasan besar secara intelektual, mendalam, teologis, teleologis (tujuan kehidupan), dan berdampak pada masa depan dunia. Keduanya berangkat dari sisi keselamatan manusia berikut alam sebagai habitat. Agar manusia bersama-sama bisa hidup berdampingan perlu berkembang kesadaran dan diusahakan penyelamatan lingkungan dan persaudaraan semesta.

Baca Juga Artikel:  Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Sinaga: Menjadi Murid Yesus secara Total

Kedua ensiklik itu saling mendukung secara komplementer. Gagasan tentang penyelamatan Bumi dan segenap ciptaan menghentakkan kesadaran internasional, diawali dengan kritik konsumerisme dan pembangunan yang tidak terkendali. Tanggapan mendukung berdatangan dari para pimpinan pemerintahan, mendukung perjuangan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam upaya penyelamatan lingkungan. Para aktivis penyelamatan lingkungan memperoleh penguatan secara etis-sosial dan teologis tentang keharusan menyelamatkan Bumi serta isinya, dan mengerem upaya pembangunan yang melupakan hak-hak Bumi beserta isinya untuk hidup.

Adanya beberapa negara yang memiliki kementerian lingkungan hidup, taruh contoh Indonesia, mendapatkan dukungan etis dan moral. Mengajak diambil aksi global yang terpadu dan mendesak segera dilakukan. Kesepakatan/Perjanjian Paris tahun 2016 pun mendapatkan darah baru untuk penguatan secara etis dan teologis bagi perjuangan menahan pemanasan Bumi.

Di saat dunia berjuang melawan pengrusakan lingkungan, taruh dengan Kesepakatan Paris – dari 176 negara Indonesia dan ikut meratifikasi—ada pendapat kritis yang menyebut pemborosan besar untuk penyelamatan lingkungan sebagai kesia-siaan. Bjorn Lomborg, penulis buku-buku tentang lingkungan hidup dari Denmark, menulis False Alarm, How Climate Change Panic Costs Us Trillions, Hurts the Poor the Poor, and Fails to Fix the Planet, Basic Book, 2020. Upaya penyelamatan lingkungan dengan penurunan panas Bumi jangan dengan menciptakan ketakutan, penggelontoran uang dan menciptakan kemiskinan baru, hendaknya dibarengi dengan pengembangan teknologi.

Beberapa tahun kemudian dia tegaskan lagi lewat artikelnya. Merosotnya pertumbuhan negara-negara kaya terus terjadi, dari empat persen di tahun 1960-an ke dua persen di tahun 1990an, dan akhir-akhir ini hanya satu persen (Jakarta Post, 20 Juli 2024). Mengatasi kondisi ini, fokus penyelamatan dunia perlu diubah pada pengembangan pendidikan, pertahanan, dan kesehatan.

Baca Juga Artikel:  Mencecap Kesederhanaan dan Keheningan di Stadion Bola

Dalam konteks itu Laudato Si’ menghentakkan kesadaran tentang perlunya aksi global mengatasi kerusakan alam dan lingkungan, yang kemudian secara tidak langsung ditin daklanjuti dengan semakin besarnya kesadaran bersama, bukan merealisasikannya dengan kekerasan (hard power) tetapi dengan ajakan, seruan dan kelembutan—sifatnya self-conciousness (kesadaran diri).

Ensiklik Saudara Sekalian terbit tahun 2020, yang diinspirasi pandemi Covid 19. Paus menyampaikan harapan atas kehausan, aspirasi, keinginan mencapai hal-hal besar dan membangkitkan hal-hal yang luhur. Ia mengajak semua orang berjalan bersama sebagai sesama saudara dalam pengharapan. Dialog menjadi kata kunci untuk persaudaraan semesta, dilakukan dengan keluar dari kepentingan-kepentingan sepihak, diawali dengan “mengampuni tanpa melupakan” di antara bangsa-bangsa yang mengalami konflik. Sebagai penutup, Paus mengingatkan peranan agama-agama dalam melayani persaudaraan, dan tidak mengaburkannya dengan  kepentingan ideologis dan praktis.

Apa arti kunjungan empat hari Paus Fransiskus di Indonesia? Eksistensi Vatikan berdampak luas dan berpengaruh besar, tidak hanya bagi 1,3 miliar di seluruh dunia, tujuh juta di antaranya di Indonesia, tetapi juga bangsa negara Indonesia sebagai sesama peziarah. Paus Fransiskus dengan kesederhanaan dalam pelayanan, misinya keberpihakan pada yang miskin dan tersingkir tanpa kecuali, mendesakkan makna persaudaraan semesta sesama ciptaan penghuni Bumi, karena itu sering disebut-sebut sebagai paus zaman ini (Andrea Tornielli, Paus dari Dunia Baru, terj. RF. Bhanu Viktorahadi, Pr, Gramedia, 2014).

Masyarakat dunia masih berharap dan umat berdoa semoga di hari-hari  mendatang muncul amanat (ensiklik) lain yang berdampak luas bagi karya penggembalaan sebagai pemimpin umat sekaligus bagi dunia seperti Laudato Si’ dan Fratelli Tutti. Senyampang itu perang dan konflik terus terjadi, perdagangan orang masih berlangsung, juga ketidakadilan dan kekerasan. Seolah-olah Vatikan hanya melakukan cubitan-cubitan kecil. Namun cubitan-cubitan yang dilakukan tanpa pamrih kecuali luapan iman, persaudaraan dan bela rasa, menjadi letupan-letupan pengingatan yang berpendaran tentang hubungan sesama bangsa dan manusia dalam orkestra persaudaraan semesta.

St. Sularto, Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles