HIDUPKATOLIK.COM – SEPERTI kalimat sederhana di atas inilah gambaranku terhadap sosok Suster Franscesco Marianti, OSU. Semula terkesan semacam tak membutuhkan keberadaan orang lain, namun ketika orang itu sudah berada bersamanya, dijamin terpelihara baik dengan kualitas teratas.
Sedikit menyelami, benar juga ya! Buat apa mengajak orang menjadi pengikut, sementara yang diajak tidak merasa perlu mengikuti atau bahkan karena terpaksa. Lebih ironi lagi hanya fomo (Fear of Missing Out) kalau meminjam istilah anak sekarang.
Apalagi dalam dunia pendidikan, yang harus membangun kepercayaan dan bukan sekadar ikut-ikutan. Sistem yang dibangun harus bisa mengakomodir kebutuhan banyak pihak agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Mengajar adalah sebuah seni, bukan hanya pekerjaan. Harus memiliki unsur pelayanan yang merupakan sebuah misi pula. Suster Francesco telah berhasil meramu semuanya di sekolah Santa Ursula lewat tangan besi, tidak cuma dalam proses, juga terlihat sampai hasil akhir.
Tak mudah menerapkan sistem agar diterima tanpa mengesampingkan faktor suka atau tidak suka. Sosok Suster Francesco tentu saja bukan semata figur populer protogonis di kalangan peserta didik, pendidik, wali murid apalagi masyarakat umum yang tidak bersinggungan dengan beliau.
Pihak yang merasa keberatan dengan disiplin dan ketegasan yang diterapkan beliau pun bukan tidak ada. Bahkan yang terang-terangan menolak pun bukan tidak ada. Tapi demi tujuan murni pendidikan, tampaknya tak menggoyahkan cara yang telah dipilih beliau. Tetap tegas meniti yang telah diyakini dengan segala pro kontra.
Jadi jangan heran kalau pertemuan awal wali murid pun akan selalu dimulai dengan kalimat klasik dari jaman ke jaman tanpa tawar menawar: “Kami tidak meminta Anda bersekolah di sini, tetapi Andalah yang telah memilih untuk bersekolah di sini.”
Sudah barang tentu kalimat penutup itu benar-benar menutup pertemuan tanpa ruang tanya jawab sebagaimana layaknya berlangsung di sekolah lain. Lalu, apakah semua orang menerima cara ini? Tentu tidak!
Uniknya tak seorangpun memberi reaksi apalagi menentang lalu batal melanjutkan setelah pertemuan berlangsung. Jusru menerima saja aturan yang dibuat dan ‘menyerahkan’ anak-anaknya untuk dibentuk dan dijadikan insan terdidik.
Awalnya aku sebagai wali murid boleh dikata termasuk kelompok yang kurang setuju dengan ‘ketegasan’ versi beliau. Menurutku komunikasi dua arah penting. Terlebih antara wali murid dan sekolah. Komunikasi dua arah memang ada, tapi tetap berkiblat pada aturan yang ada. Bagian kita hanya sekedar pemberitahuan bahwa semua sudah tertata dalam system.
Secara tersirat, setiap orang wajib menerima konsekuensi akan sebuah pilihan. Silakan merujuk kembali pada kalimat tegas beliau tadi. Akhirnya akupun tetap bertahan menyekolahkan anak-anak di situ sambil terus berusaha berdamai dengan diri sendiri dan sistem yang telah berjalan.
Banyak kisah lahir dari kebijakan buatan seorang Suster yang pernah mengecap pendidikan S2 di Washington, bahkan sempat berjabat tangan dengan Presiden Amerika ke-35, John F Kennedy di tahun 1963. Selalu saja kebijakan yang semula sulit dipahami, serta merta menimbulkan ‘kejengkelan’, ternyata menyimpan alasan mengharukan.
Sebut saja perkara sederhana seputar kursi kantin. Pernahkah terpikirkan kenapa tidak ada kursi di kantin sekolah Santa Ursula? Spontan pasti meluncur komentar tak sedap: “Kantin macam apa ini?”
Pada masanya, siswa pun takkan bisa menyembunyikan kejengkelan setiap kali ke kantin. Harus mencari lokasi lesehan buat menyantap makanannya. Sambil membatin, kisah apa gerangan melatar-belakangi kebijakan kantin tanpa kursi?
Simak yuk! Setiap nonton sinetron atau film, baik produksi Indonesia maupun luar negeri, entah kenapa kerapkali kisah perundungan antar siswa bermula dari kursi kantin sekolah. Kebetulan atau tidak, selalu muncul aksi perundungan di kursi kantin. Perkara senior menetapkan kursi dan meja sebagai ‘wilayah’ mereka, atau anak baru wajib mentraktir seluruh siswa lama hingga perebutan ‘gebetan’.
Keputusan meniadakan kursi di kantin yang semula dinilai tidak pas bahkan norak, ternyata menyimpan tujuan mulia. Justru memberi ‘perlindungan’ bersahabat. Pemecahan masalah secara efektif dari sekedar menyebar poster “Hentikan Perundungan”. Langsung menutup saluran perundungan itu sendiri.
Bagi para Ursulin angkatan lama, selain kantin tanpa kursi, pasti juga pernah menjadikan WC sekolah sebagai bahan pergunjingan. Kenapa toilet sekelas sekolah Santa Ursula menggunakan WC jongkok?
Sekali peristiwa saat numpang menggunakan toilet, akupun mempertanyakannya. Dalam benakku pasti alasan kesehatan, sebab WC jongkok yang sesungguhnya masih banyak digunakan di wilayah Perancis, lebih higienis karena tidak bersentuhan dengan permukaan kloset.
Jujur aku sendiri tak sempat tahu jawaban pasti soal WC jongkok ini. Tapi dari seorang siswa konon pernah terinfokan, bertujuan membiasakan siswa bisa bertahan dalam segala situasi. Semisal suatu hari kelak bertugas atau berpetualang ke sebuah tempat di mana tak tersedia WC dengan bentuk sebagaimana mereka harapkan, sudah terlatih dan tidak kesulitan.
Meski saat ini situasinya sudah berbeda dan toilet sekolah sudah berganti dengan kloset duduk sebagaimana barangkali perubahan tuntutan kebutuhan, setidaknya wanita tangguh yang hingga akhir hayatnya membaktikan diri dalam dunia pendidikan, sudah memikirkan seluruh komponen pendidikan dari hal sederhana hingga perkara rumit.
Kantin dan kloset, dua hal simpel tapi vital yang kerap terlupakan pengelolaannya, justru dalam sistem pendidikan Suster Francesco menjadi perhatian penting. Lengkap berlatar kisah bermakna, terangkum sebagai komponen dasar pembentukan karakter.
Jika perihal sederhana saja tangan besinya memberi hasil maksimal, masih perlukah menghamburkan energi untuk meragukan kebijakan beliau? Sekalipun berbalut ketegasan bahkan terkesan dominan dalam menjalankan segala aturan dan kebijakan. Rasanya tak lagi butuh ruang debat, sebab lembaga pendidikan sudah selayaknya memiliki ketahanan wibawa, tegas serta independent tanpa intervensi.
Ada masa memang kebijakan beliau terkesan arogan. Tak berpihak pada siswa apalagi wali murid. Setidaknya aku pernah merasakan hal serupa dan beberapa kali tidak sepaham dengan ‘ketegasan’ yang jujur membuat tertekan. Bukan mustahil pula aku tidak sendiri memiliki perasaan ini di kalangan wali murid. Tapi karena didukung visi terencana, infrastruktur memadai ditambah sumber daya manusia yang kompeten, semua bentuk ketegasan tadi bisa dipahami.
Tidak hanya mendidik para siswa, termasuk tenaga pengajarpun selalu mendapat asupan ilmu dari program-program yang dilahirkannya. Suster Francesco tampaknya sangat meyakini bahwa seorang tenaga pendidik adalah merupakan perangkat yang dapat mengaktifkan rasa penasaran, pengetahuan dan kebijaksanaan. Karena mereka merupakan jantung dalam sistem pendidikan, jadilah beliau tetap menomor satukan pula pengembangan sumber daya manusianya.
Seorang siswa tidak membutuhkan tenaga pendidik yang sempurna. Mereka perlu memiliki Guru yang bahagia, sehingga mampu membuat para murid bersemangat berangkat ke sekolah serta menumbuhkan kecintaan untuk terus belajar.
Sejenak merenung dari waktu luang, tentu ada yang menganggap pendidikan ala beliau terkesan diktator tanpa ruang kompromi. Minimal ini sempat mengisi jaringan-jaringan halus dalam benakku. Apalagi tak pernah lekang dari ingatan akan kalimat soal siapa memilih siapa tadi. Adalah benar kita telah memilih bersekolah di situ dengan telah memahami segala konsekuensi yang timbul.
Beruntung segala prasangka lenyap setelah melihat ‘bekas’ dari didikan tersebut dalam diri para alumni. Tak lekang oleh waktu apalagi situasi karena telah terbentuk sebagai insan berkarakter kuat. Suster Franceso telah menginspirasi dalam menciptakan dunia pendidikan yang bermakna berbalut kewibaan, ketegasan, keleluasaan sekolah diiringi tanggung jawab utuh dari segala bidang.
Terlihat satu arah memang, tetapi justru Suster Francesco sukses menegakkan wibawa sistem pendidikan sesungguhnya, mulai dari pendidikan karakter sampai akademis. Melahirkan insan cerdas dengan jati diri pantas dipenuhi ilmu tak terbatas.
Sebagaimana pepatah kuno, Suster Francesco tidak memberikan ikan untuk disantap pada hari itu saja, tetapi telah mengajarkan bagaimana menangkap ikan untuk dimakan sepanjang hidup.
Legenda pendidikan ini telah meniti perjalanan kehidupan yang tak pernah kita pahami sepenuhnya, tapi kita telah menikmati hasilnya bahkan sangat beruntung bisa menjadi ahli warisnya.
Terima kasih sudah menginspirasi dan membuat dunia pendidikan begitu bermakna Suster Francesco. Selamat jalan menuju keabadian. In paradisum deducant te angeli (Para malaikat akan mengantarmu ke surga).
Ita Sembiring (Kontributor)
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.2, Tahun Ke-79, Minggu, 12 Januari 2025