web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Manifestasi Pertobatan Ekologis dalam Ensiklik Paus Fransiskus

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KRISIS ekologis yang mengancam peradaban global adalah manifestasi nyata dari paradigma antroposentris, teknokratis, dan reduksionis yang telah lama mengakar dalam pemikiran modern. Ensiklik-ensiklik Paus Fransiskus — Fratelli Tutti, Laudato Si’, Laudate Deum, dan Dilexit Nos — mengajukan kritik mendalam terhadap cara pandang ini, sekaligus menawarkan visi transformasi yang berlandaskan solidaritas sosial, keutuhan ciptaan, dan pertobatan ekologis.

Melalui pemahaman holistik atas pesan-pesan dalam ensiklik ini, manusia diajak untuk meredefinisi relasinya dengan alam, meninggalkan pola konsumsi eksploitatif, dan menciptakan tatanan yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, moral, dan kearifan lokal masyarakat adat. Visi ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memberikan solusi konkret yang relevan dengan berbagai dimensi krisis, termasuk perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh pola ekonomi global yang tidak berkelanjutan.

Dalam Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mengangkat tema persaudaraan universal sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Persaudaraan ini mencakup hubungan antar manusia dan antara manusia dengan alam, yang selama ini dirusak oleh logika antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal atas ciptaan.

Dalam konteks ini, masyarakat adat di Indonesia seperti suku Baduy dan Mentawai menunjukkan model kehidupan yang harmonis dengan alam, di mana tanah, air, dan hutan dipandang sebagai bagian integral dari keberadaan mereka. Filosofi hidup mereka menentang dominasi narasi global yang menjustifikasi eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan ekonomi.

Misalnya, masyarakat adat di Mentawai, masyarakat Baduy, yang menjaga kawasan hutan sebagai ruang sakral, merupakan perwujudan nyata dari solidaritas ekologis yang selaras dengan visi Paus Fransiskus. Tradisi ini tidak hanya melindungi lingkungan secara fisik tetapi juga memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan ekosistem yang lebih luas.

Lebih jauh, dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus mengritik reduksionisme yang mereduksi nilai alam menjadi sekadar sumber daya ekonomi. Ia menekankan konsep keutuhan ciptaan, yang menuntut manusia untuk melihat alam sebagai jaringan kehidupan yang saling terkait, bukan sebagai komponen-komponen terpisah yang dapat dieksploitasi secara bebas.

Kritik ini relevan dengan kebijakan pembangunan modern yang sering kali mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Misalnya, pembangunan tambang dan bendungan di wilayah adat sering kali menghancurkan keanekaragaman hayati sekaligus menggusur komunitas lokal yang telah menjaga ekosistem tersebut selama berabad-abad.

Paradigma teknokratis yang hanya mengukur keberhasilan melalui angka pertumbuhan ekonomi gagal menangkap kerugian ekologis dan sosial yang lebih luas. Sebaliknya, Paus mengajukan pertobatan ekologis sebagai jawaban terhadap krisis ini, yaitu perubahan mendalam dalam cara manusia memandang dan memperlakukan alam, yang dimulai dari kesadaran hati.

Menjaga Bumi

Dalam Laudate Deum, pesan ini diperdalam melalui ajakan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama. Dalam dunia yang didominasi paradigma teknokratis, makna bumi sering direduksi menjadi sekadar komoditas untuk dieksploitasi, sementara proyek pembangunan besar merusak keseimbangan ekologisnya.

Ensiklik ini mengajak manusia untuk mengubah cara pandang terhadap bumi—dari objek eksploitasi menjadi subjek yang dihormati dan dilindungi. Konsep ini sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat seperti Baduy dan Mentawai, yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai hubungan sakral.

Dalam praktik adat mereka, harmoni antara manusia dan alam dijaga melalui penghormatan terhadap siklus alam, menunjukkan bahwa perlindungan rumah bersama memerlukan kesadaran kolektif yang melampaui paradigma antroposentris.

Di sisi lain, Dilexit Nos menekankan pentingnya dimulainya semua perubahan dari hati. Dalam konteks pertobatan ekologis, perubahan ini bukan sekadar kepatuhan pada aturan atau norma eksternal, tetapi kesadaran mendalam yang lahir dari refleksi batin.

Dalam ensiklik ini, Paus Fransiskus juga mengangkat ironi bahwa masyarakat adat—yang sering kali tidak berbaju agama formal—justru lebih peduli terhadap lingkungan dibandingkan kelompok-kelompok yang mengklaim memiliki otoritas moral atas alam. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis bukanlah hasil dari simbol-simbol religius semata, tetapi dari pemahaman dan penghormatan mendalam terhadap nilai intrinsik alam.

Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa Masyarakat adat sering kali disingkirkan dalam proses pembangunan, meskipun kontribusi mereka terhadap pelestarian lingkungan sangat signifikan. Ketidakadilan ini mencerminkan kegagalan solidaritas sosial, yang menjadi akar dari banyak krisis ekologis dan sosial yang kita hadapi saat ini.

Peran Pelajar

Sebagai pelajar, peran kita adalah mengintegrasikan pesan-pesan ensiklik ini ke dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pendidikan, advokasi, maupun tindakan nyata. Pendidikan harus menjadi alat untuk membongkar paradigma antroposentris dan teknokratis yang merusak, serta menggali nilai-nilai kearifan lokal sebagai solusi alternatif.

Pelajar dapat mempelajari dan mendokumentasikan praktik-praktik masyarakat adat yang relevan dengan keberlanjutan, sekaligus mengadvokasi kebijakan yang melindungi hak-hak mereka. Lembaga sosial juga memiliki peran penting sebagai jembatan antara masyarakat adat, pemerintah, dan masyarakat luas, memastikan bahwa suara mereka didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa dukungan aktif dari lembaga-lembaga ini, transformasi yang diharapkan dalam ensiklik Paus Fransiskus hanya akan menjadi utopia.

Krisis ekologis yang kita hadapi adalah tantangan eksistensial yang membutuhkan respons kolektif dari seluruh umat manusia. Ensiklik Paus Fransiskus memberikan kerangka kerja yang tidak hanya menawarkan solusi teknis, tetapi juga membangun fondasi moral dan spiritual untuk transformasi yang lebih mendalam.

Dengan belajar dari masyarakat adat Indonesia, kita memiliki kesempatan untuk melampaui paradigma destruktif yang telah membawa kita ke ambang kehancuran, dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan bermakna.

Pertobatan ekologis, seperti yang diajarkan Paus Fransiskus, adalah langkah pertama menuju dunia di mana solidaritas, keadilan, dan harmoni menjadi dasar dari segala tindakan manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat memenuhi panggilan untuk merawat rumah bersama ini, tidak hanya untuk generasi kita, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Pertobatan ekologis, seperti yang diajarkan Paus Fransiskus, adalah langkah pertama menuju dunia di mana solidaritas, keadilan, dan harmoni menjadi dasar dari segala tindakan manusia.

Bernard, Gerard, Natya, Peter, Siswa/i SMA Santa Ursula BSD

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.05, Tahun Ke-79, Minggu, 2 Februari 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles