web page hit counter
Senin, 17 Maret 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto MSF: Fokus pada Kebahagiaan Sejati dan Abadi

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 16 Februari 2025 Hari Minggu Biasa VI, Yer.17:5-8; Mzm.1:1-2,3,4,6; 1Kor.15:12,16-20; Luk.6:17,20-26

TIDAKLAH mudah mengerti dan memahami kutipan Injil Lukas yang dibacakan pada hari ini. Jikalau ditangkap secara harafiah, Sabda Yesus itu melawan konsep dan pengertian umum mengenai kebahagiaan dan ke-celaka-an dengan diberi harapan yang tidak ada jaminan kepastiannya. Betapa tidak! Orang miskin, lapar, menangis, dibenci dikatakan bahagia dengan diberi harapan yang tidak pasti; yang miskin akan memiliki Kerajaan Allah, yang lapar akan dipuaskan, yang menangis akan tertawa dan yang dibenci, dicela dan ditolak demi Anak Manusia justru diminta untuk bersukacita dan bergembira. Sementara itu, orang kaya, kenyang, tertawa dan menerima pujian disebut celaka dengan alasan seperti kita baca.

Benarlah, hidup bersandar pada keadaan di dunia yang tidak stabil/tetap, berubah-ubah jelas tidak tepat, namun banyak sekali yang memilihnya, disertai sikap mengandalkan kekuatan dan penjamin kehidupan di dunia dan kehidupan sesudahnya. Sementara itu, keadaan buruk seperti miskin, lapar, menangis dan dibenci karena Anak manusia dipandang sebagai ke-celaka-an hidup. Mestinya setiap orang menginsafi perlunya melihat dengan jernih makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya, yang bukan kegembiraan dan kebahagiaan sementara di dunia, melainkan abadi.

Baca Juga:  Foto Pertama Paus Fransiskus dalam Lebih dari Empat Pekan Diterbitkan

Oleh karena itu, hidup dalam keterbatasan bahkan miskin secara material, tetap bisa menemukan kebahagiaan sejati, ketika mata hati terbuka dan memandang Tuhan serta berada dalam lingkungan Kerajaan Allah. Demikian pun pengalaman dicela, dihina, dibenci, dan ditolak karena setia mengikuti Anak Manusia justru berbahagia, karena berada dalam Dia, sumber kebahagiaan sejati dan  jaminan keselamatan abadi. Mengikuti jalan lain seakan-akan menemukan kebahagiaan, pada hal hanya menemukan kegembiraan dan hiburan sementara.

Tanda-tanda makin banyaknya orang yang menfokuskan hidup pada hal-hal duniawi, material, kasat mata, dan mencari kenikmatan duniawi, khususnya inderawi kian jelas. Promosi kuat dan mempesona telah memikat banyak orang masuk dan terseret arus materialisme dan hedonisme. Fokus hidup terarah pada harta kekayaan, sehingga melupakan hidup bersama dengan sesama, bahkan keluarganya sendiri. Gara-gara pikiran, usaha, dan waktu terkuras untuk menambah harta, hidup keluarga terganggu bahkan berantakan.

Baca Juga:  Anak-anak Menggemakan Laudato Si’ dari Lereng Merapi

Kalau sudah begitu, di mana kebahagiaannya? Kebahagiaan di dunia tidak didapat, tujuan akhir kehidupan terabaikan. Dampak buruk selanjutnya adalah berkembangnya kerakusan yang pasti mengabaikan azas keadilan, solidaritas dan bela rasa terhadap sesama. Karena mengharapkan harta terus bertambah, pasti ada kekhawatiran bahkan kecemasan kalau-kalau suatu ketika hasil usaha menurun dan kekayaannya berkurang.

Jika tidak hati-hati dan waspada kekayaan bisa menjadi perangkap yang mencelakakan bukan hanya diri sendiri, tetapi sesama.  Sayangnya, hidup berfokus pada hal-hal itu  ditanamkan dan ditularkan baik kepada anak maupun sesama. Tidaklah mengherankan munculnya jawaban banyak anak yang saat ditanya mengenai cita-citanya akan menyebut pekerjaan atau profesi yang menghasilkan banyak uang. Semakin sedikit anak-anak yang bercita-cita untuk mengejar cita-cita untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan hidup iman yang jelas tidak mendatangkan kesejahteraan material.

Baca Juga:  Pengurus PUKAT Keuskupan Purwokerto 2025-2028 Dilantik: Melatih diri dalam Pelayanan

Kebiasaan memuaskan keinginan indera pengecap dan perasa juga telah melanda orang zaman ini, sehingga dorongan untuk mendapatkan kenikmatan rasa perasaan diikuti tanpa pengekangan diri.  Makan minum menjadi sesuatu yang “instingtif”; sekan-akan hidup ini untuk makan dan bukan makan untuk hidup. Pola hidup sehat terabaikan, sehingga berdampak buruk di kemudian hari.

Memanjakan perasaan juga diikuti makin banyak orang, termasuk anak-anak, dengan menghabiskan waktu untuk mencari hiburan yang sekan-akan memberi kebahagiaan. Benarlah bahwa berfokus pada kebahagiaan yang sesungguhnya, menuntut pengaturan dan pengendalian diri agar dengan jernih mampu memusatkan perhatian pada kebahagiaan sesungguhnya yang bisa ditemukan hanya pada  Tuhan Yesus Kristus, sumber kebahagiaan dan  jaminan keselamatan abadi.

Jika tidak hati-hati dan waspada kekayaan bisa menjadi perangkap …

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.07, Tahun Ke-79, Minggu, 16 Februari 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles