HIDUPKATOLIK.COM – HARI Kamis (15 Mei 2025), kami mendengarkan dan menonton kuliah umum yang dibawakan oleh seorang maestro panggung dari Italia, Franco Ricardi, yang juga seorang filsuf Italia masa kini. Itu sebabnya saya katakan “menonton” dan “mendengarkan”. Kami “menonton” dia sebagai maestro panggung yang mementaskan sesuatu yaitu balada puitis La Divina Commedia Dante Aleghieri. Kami juga “mendengarkan” dia sebagai filsuf atau lebih tepat sastrawan Italia dengan kepakaran mengenai Dante Aleghieri.
Franco Ricardi adalah seorang ahli dengan specialisasi tentang Dante. Karena itu, ia hafal di luar kepala syair-syair romantika Dante baik itu syair yang terkait perjalanan (ziarah, pilgrimage) dia ke Neraka (Inferno), Api Penyucian (Purgatori), maupun ke Surga (Paradiso). Bahkan sang maestro itu membawakan (mementaskan) beberapa penggal dari puisi itu di luar kepala di atas panggung dengan ekspresi memukau. Lalu sesudahnya ia mencoba menjelaskan penggalan atau potongan balada puitik itu dalam bahasa Inggris.
Cinta Sebagai Pesan Universal
Ricardi memadatkan inti pementasan kuliah umumnya dengan satu kalimat ini: Cinta Adalah Pesan Universal (kiranya untuk semua makhluk, tentu termasuk manusia). Menurut Ricardi, salah satu pesan abadi yang senantiasa tidak lekang oleh waktu dari karya Dante ialah tentang cinta dan cinta itu adalah sebuah universal message bagi semua makhluk hidup.

Bagi saya itu sesuatu hal yang sangat luar biasa. Saya sangat mengagumi kepakarannya dalam bidang ilmu tentang Dante itu. Ternyata puisi mistik-romantik Dante pun bisa menjadi bidang ilmu tersendiri, dan ada sesesorang yang bisa menjadi spesialis karena menekuninya dengan konsisten dan juga dengan sepenuh hati dan cinta. Kira-kira seperti sosok Frederick Ozanam dulu yang juga juga menjadi ahli Dante (dan mengajar di Paris) tetapi kemudian berbelok arah jalan hidupnya dan mendirikan sebuah serikat hidup religius, Oblate Maria Immaculata (OMI) yang juga aktif berkarya di Indonesia sekarang ini.
Ricardi hadir di UNPAR sebagai bagian dari kerja-sama antara Institut Kebudayaan Italia Jakarta (L’Istituto Italiano di Cultura Jakarta) dan Universitas Katolik Parahyangan Bandung.
Acara itu dilangsungkan bersamaan dengan penanda-tanganan MoU antara UNPAR dan Institut Kebudayaan Italia Jakarta. Lalu dalam rangka itu Fakultas Filsafat UNPAR mengadakan kuliah umum (studium generale) tentang La Divina Commedia karya Dante Aleghieri.
Ricardi hadir di auditorium UNPAR atas sponsor dari Institut Kebudayaan Italia Jakarta. Itulah sebabnya hadir juga di sana pada kesempatan itu atase Kebudayaan Italia, Ibu Maria. Salah satu hal yang dicanangkan Ricardi sebagai poin yang tetap senantiasa relevan dari warisan Dante ialah cinta sebagai sebuah pesan universal bagi kemanusiaan bahkan bagi semua makhluk hidup. Cinta itu ada tiga: Cinta Sensual, Cinta Rasional, dan Cinta Mistikal. Saya akan menjelaskan hal itu pada waktunya di bagian lain dari tulisan ini.
Menekankan Ide Ziarah
Sebagai penanggap dari Fakultas Filsafat UNPAR, tampillah Pastor Fabianus S.Heatubun. Ia memberi tanggapan dan catatan kritis terhadap paparan dan penampilan Ricardi.
Dalam tanggapannya, Pastor Fabianus, di samping mengamini pesan cinta universal dari Dante, juga menekankan aspek ziarah (pilgrimage), aspek perjalanan dalam hidup manusia untuk mencari makna hidup, yang antara lain juga ada dan ditemukan dalam cinta itu juga. Karena Ricardi mementaskan beberapa potongan balada-puitik Dante, maka Romo Fabie juga mementaskan puisi dari Chairil Anwar, Aku (Maret 1943).
Menurut Pastor Fabianus , puisi “Aku” ini sangat bercorak eksistensialist; pertama karena menolak sikap cengeng (Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu, Tidak juga kau. // Tak perlu sedu-sedan itu). Kedua, karena menekankan petualangan, pengembaraan (Luka dan bisa kubawa berlari// Berlari// Hingga hilang pedih peri). Hal itu kurang lebih sama seperti ide dasar Dante yang juga menekankan petualangan, pengembaraan, dari dunia ke neraka, ke api pencuci, lalu ke paradiso.
Di samping menampilkan Chairil Anwar, Fabianus juga mengutip novelis Iwan Simatupang, yang salah satu novelnya yang terkenal dengan ciri dasar eksistensialisme ialah Ziarah (walaupun Novel Merahnya Merah, bagi saya lebih bercorak eksistensialistik daripada novel Ziarah). Iwan Simatupang sendiri, dalam rangka menekankan eksistensi manusia sebagai peziarah di dunia, sebagai seorang pengembara, perantau di dunia ini (1Petrus 2:11), ia hidup sebagai “manusia hotel.” Ia tidak memiliki rumah. Ia tinggal “menumpang” di hotel.
Di hotel orang hanya menumpang sementara. Ia tidak memiliki hotel itu. Tidak ada yang mengikatnya di sana. Ia hanya menumpang sementara saja. Si penumpang itu tidak bisa mendaku sesuatu apapun dalam hotel itu. Sebab memang ia bukan sang pemiliknya. Ia hanya menumpang sementara saja. Besok akan pindah lagi. Itulah hidup ziarah, itulah hidup pengembaraan.
Pastor Fabianus mengingatkan para pendengar bahwa dalam hal ini Iwan Simatupang sangat dipengaruhi filsafat eksistensialisme J.P. Sartre. Tetapi pastor Fabianus tidak menyinggung tentang ide homo viator dari Gabriel Marcel, yang kiranya relevan juga untuk dipadankan dengan passion Dante itu. Tidak lupa pastor Fabie juga mengutip salah satu karya terkenal dari Paulo Coelho, Ziarah (Pilgrimage) yang menggambarkan betapa pentingnya ide ziarah itu dalam hidup manusia, sebuah Gambaran tentang eksistensi manusia yang sedang dalam sebuah perjalanan menuju sebuah tujuan akhir tertentu (dalam hal Paulo Coelho, tujuan akhir itu ialah Santiago de Compostela; tempat ziarah terkenal di Spanyol yang hingga kini masih terus diziarahi oleh umat Kristiani).
Perspektif Fransiskan
Karena waktu tidak terlalu panjang, maka kesempatan diskusi untuk eksplorasi ide-ide tidak begitu lapang. Sesungguhnya saya mau memberi beberapa tanggapan terhadap hal itu dan saya siap dengan beberapa ide besar yang saya bentangkan dalam bagian berikut ini. Pertama catatan kritis dari sastra sebelum Dante. Pada abad ketigabelas, di kalangan Fransiskan, muncul karya sastra yang sangat unik. Judulnya, Sacrum Commercium (selanjutnya SC; Jay M. Hammond (ed), Francis of Assisi, History, Hagiography and Hermeneutics in the Early Documents, NY: NewCityPress, 2004. John V.Fleming, An Introducition to the Franciscan Literature of the Middle Ages, Chicago: Franciscan Herald Press, 1977).
SC ini melukiskan persatuan-cinta-mistikal antara Fransiskus Asisi dan Tuan Putri Kemiskinan (Domina Paupertas, Lady Poverty). Karya ini ditulis oleh Cesar von Speyer. Ada sedikit kemiripan antara puncak SC dan persatuan-cinta-mistikal dalam Paradiso ala Dante.
Tetapi saya mau mengatakan bahwa berbeda dengan Dante dengan La Divina Commedia-nya, pesta perjamuan persatuan-cinta-mistikal dalam SC itu terjadi di dunia ini, sementara dalam Dante, pesta perjamuan cinta-mistikal itu terjadi di surga, dalam paradiso. Jika penilaian ini benar, maka SC merupakan kritik paling dini terhadap Dante, yaitu bahwa persatuan-cinta-mistikal perkawinan itu tidak harus menunggu kita mencapai paradiso, sebab paradiso itu bisa juga diwujudkan di atas dunia ini. Inilah perspektif Fransiskan sejauh terekam dalam SC itu.
Perspektif Teologi Tubuh
Jika yang pertama tadi diangkat dari karya sastra abad ketigabelas, maka catatan kedua ini ditimba dari karya teologis akhir abad keduapuluh. Yaitu dari Theology of the Body dari Paus Yohanes Paulus II, yang disampaikan sebagai bahan renungan Audiensi Umum Rabu-an (1979-1984). Teks ini hanya renungan Audiensi Rabu-an. Tetapi teks inilah yang menjadi latar belakang dari Apostolic Exhortation Yohanes Paulus II, yang terbit tahun 1981, Familiaris Consortio yang berisi ulasan tentang teologi perkawinan. Ulasan tentang ini bisa dilihat dalam buku John Paul II, Man and Women He Created Them, A Theology of the Body (Boston: Pauline Books & Media, 2006; 1986).

Catatan kritis saya itu begini: jika kita baca Dante, maka kita mendapat kesan adanya sebuah perjalanan naik dari bawah ke atas (memakai kosmologi abad pertengahan yang menggambarkan semesta alam dengan pola pikir atas-bawah: Bumi di tengah, di bawah ada neraka, di atas ada surga). Bahkan Dante memberi kita gambaran, perjalanan turun dulu ke bawah, ke inferno, dan di sana ia bertemu dengan pasangan “terkutuk” karena perbuatan cinta terlarang (sensual love yaitu Love of the physical beauty of the body), antara Paolo dan Francesca.
Dante meninggalkan mereka di sana lalu ke Purgatori. Di sana ia bertemu kekasihnya, Beatrice, yang mati muda, sehingga ia tidak sempat mengawininya. Tahap purgatori ini dilukiskan sebagai rational love, cinta akan pengetahuan dan kebijaksanaan (love of knowledge and wisdom). Sesudah itu, ia ke surga, Paradiso dan di sana mengalami atau menyaksikan persatuan-cinta-perkawinan-mistikal antara Kristus dan gereja yang dilambangkan dengan tuan putri kemiskinan.
Ricardi dengan cukup jelas mengemukakan anggapan itu di dalam aksi panggung dan penjelasannya. Jadi, Dante berusaha melukiskan perjalanan ziarah peralihan itu dari neraka ke api penyuci lalu ke surga dan di surgalah ia mengalami dan menyaksikan mystical-love, cinta-mistikal.
Persis di sinilah muncul pertanyaan dari perspektif teologi tubuh Yohanes Paulus II: Apakah cinta-mistikal itu tidak bisa dialami sekaligus juga dalam dan bersama dengan cinta-sensual dan cinta-rasional di bumi ini, dalam rangka hidup di bumi ini? Menurut Dante, cinta-mistikal menuntut kita meninggalkan dua cinta terdahulu. Hanya dengan meninggalkan kedua cinta terdahulu itu, kita bisa mengalami persatuan cinta-mistikal.
Teologi tubuh Yohanes Paulus II, justru menyarankan bahwa persatuan cinta-mistikal itu bisa dialami dalam dan bersama dengan cinta-sensual dan cinta-rasional dalam rangka hidup di bumi ini. Memang teologi tubuh Yohanes Paulus II mengandung pandangan positif akan tubuh dan akan cinta persatuan perkawinan. Kiranya visi La Divina Commedia Dante itu dilatar-belakangi oleh pandangan dualisme akan dunia dan akan tubuh manusia, sesuatu yang ditolak teologi tubuh Yohanes Paulus II. Justru dalam tubuhlah manusia bisa mengalami dan merasakan cinta-mistikal. Mengapa? Karena tubuh adalah bait Roh Kudus, sehingga Paulus mendorong umat agar memuliakan Allah dengan tubuhnya (1Kor 6:19-20), dan juga mendorong agar umat tidak berdosa dengan tubuh itu.
Luhur dan Mulia
Tubuh dan perkawinan adalah sesuatu yang luhur dan mulia. Hal itu senantiasa ditekankan dalam perspektif biblis dan teologi para Bapa Gereja. Tidak ada alasan untuk menempelkan pandangan negatif akan tubuh dan perkawinan. Sedemikian luhurnya hidup perkawinan itu, sampai persatuan cinta mesra antara suami-isteri bisa dipakai sebagai perlambang misteri cinta-perikoresis dalam misteri Allah Tritunggal Mahakudus. Jika kita mau melihat dan memahami the mystery of perichoretic love dalam Allah Tritunggal Mahakudus, kita bisa melihatnya dalam relasi cinta dan persatuan mesra suami-isteri, dalam the mutual indwelling relasi persatuan cinta-mesra mereka sebagai suami-isteri.
Jadi, jika Dante memberi kita kesan sebuah pandangan negative akan tubuh dan akan dunia ini, maka baik SC maupun Theology of the Body dari Yohanes Paulus II, memberi pandangan tegas sebaliknya. Persatuan-Cinta-mistikal pun bisa dialami dan dirayakan dalam tubuh, bersama tubuh dan di bumi ini. Yerusalem baru, langit baru (2Pet 3:13; Why 21:1), turun ke atas bumi ini (bdk Why 21:2). Bukan bumi ini binasa, barulah muncullah Yerusalem baru, langit baru.
Dr. Fransiskus Borgias
Dosen Teologi dan Peneliti pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Bandung
Terima kasih kepda Redaksi hidup.com yg sdh menayangkan artikel ini. Slamat memvaca kpd para pembaca sekalian…
Terima kasih
Kira-kira seperti sosok Frederick Ozanam dulu yang juga juga menjadi ahli Dante (dan mengajar di Paris) tetapi kemudian berbelok arah jalan hidupnya dan mendirikan sebuah serikat hidup religius, Oblate Maria Immaculata (OMI)….
tolong dikoreksi bagian ini dalam artikel ini, Frederick Ozanam tidak mendirikan Oblate Maria Immaculata (OMI), pendiri OMI adalah St Eugene de Mazenod. Ozanam bersama beberapa temannya mendirikan Conference of Charity yang kemudian menjadi Society St Vincent de Paul.
Thank you.