HIDUPKATOLIK.COM – Tanggal 1 Juni 2025 diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Dalam rangka itu pertanyaan yang relevan diangkat: apakah Pancasila semakin terhayati ataukah semakin menjauh? Langkah apa yang perlu dilakukan untuk menghidupkan kembali Pancasila sebagai fundasi hidup berbangsa dan bernegara? Dua pertanyaan ini nampaknya relevan dalam memakna momen penting tersebut, lebih-lebih membaca situasi bangsa akhir-akhir ini.
Tentang pertanyaan pertama, satu fakta yang jelas di republik ini adalah bahwa fenomena perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila semakin tumbuh dan berkembang. Perilaku menyimpang dari Pancasila itu, sebagaimana digambarkan oleh Franz Magnis Suseno (2021) mengejawantah minimal dalam empat hal berikut. Pertama, merajalelanya sikap pragmatisme. Pragmatisme tercermin pada sikap mengupayakan jalan pintas demi ambisi dan tujuan tertentu, termasuk dengan merendahkan martabat orang lain. Banyak orang mengupayakan berbagai cara dalam mewujudkan ambisi politiknya, bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Fanatisme Beragama
Kedua, fanatisme beragama. Sikap ini mengejawantah pada penolakan terhadap nilai budaya, dan keyakinan etika seperti hormat kepada martabat setiap orang, yang dianggap tidak benar karena di luar ajaran agama dan tidak terdapat dalam ayat-ayat Kitab agama. Meminjam istilah Richard Roty, Magnis, kelompok ini adalah kaum “liberal metafisis”, yakni orang hanya akan bersikap baik terhadap orang lain jika ada ayat yang mendukungnya atau sesuai omongan tokoh yang diidolakannya. Ini sesungguhnya tidak mencerminkan mutu kehidpan agama. Mutu kehidupan agama dan berbangsa bukan pada hal ini, melainkan pada penghargaan terhadap kemanusiaan, tidak bersikap kejam kepada siapapun.

Ketiga, munculnya populisme baru. Seperti diamati oleh Magnis, populisme yang muncul dewasa ini memiliki arti yang sangat berbeda dengan makna populisme yang sebenarnya. Jika sebelumnya populisme muncul sebagai gerakan rakyat yang murni didasari ingin memperbaiki kinerja pemerintah dengan alasan objektif, sekarang ini populisme justru bergeser pada kepentingan pribadi dan kelompok dengan segala cara mengupayakannya, termasuk dengan cari panggung menjadi orang top.
Tren dewasa ini adalah orang menginginkan popularitas demi perut, demi “gut feeling” dengan segala cara. Ia tidak memilih hal yang rasional, sebaliknya mengumbar irrasionalitas dan dikuasai oleh naluri instingtual hewani. Hati nurani dimatikan, demikian juga nalar sehat dipudarkan. Yang menghawatirkan gerakan yang irrasional dan bermotif naluri instingtual itu diikuti banyak orang, yang juga bergerak dengan dasar yang sama. Gerakan ini memisahkan diri dari yang lain, dengan menyebutnya “kami”, yang tidak lain adalah identitas negatif. Mereka bergerak dengan identity obsession, yang orientasinya adalah kepentingan diri dan kelompok, seperti dikatakan oleh Fuad Hasan.
Seiring dengan tantangan tersebut tumbuh pula sikap-sikap negatif, yang tercermin dalam minimal empat hal berikut. Pertama, semakin menghilangnya penghargaan terhadap jasa para pemimpin, sebaliknya semakin munculnya perilaku yang merendahkan, bahkan menghinakan para mantan pemimpin: sebuah perbuatan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terlebih sila pertama dan sila kedua.
Kedua, semakin berkembangnya benih-benih perpecahan di masyarakat sebagai buah dari ulah segelintir orang. Ketiga, tumbuh berkembangnya sikap memaksakan pendapat sendiri di ruang publik sebagai kebenaran absolut, lalu menyangkal otoritas birokrasi negara. Keempat, sebagai konsekuensi dari butir ketiga ini, nasionalismepun semakin pudar.
Sekali lagi, semua hal di atas menjadi indikasi bahwa semakin tersingkirnya nilai-nilai Pancasila dari kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat. Banyak orang akhir-akhir ini lupa bahwa Indonesia adalah bangsa yang menganut demokrasi Pancasila, yang diperkuat dengan nilai-nilai religius. Sebaliknya, mereka menghidupkan gerakan-gerakan yang memisahkan keduanya, bahkan mengeleminir keduanya dari kehidupan bersama.
Perlunya Konsientisasi
Fenomena buruk sosial di atas membawa dampak buruk bagi eksistensi bangsa ini, lebih-lebih menyongsong Indonesia Emas 2045. Apa yang diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dan menghentikan tumbuh kembangnya sikap-sikap negatif di atas? Dengan pertanyaan lain, langkah apa yang perlu dilakukan untuk menghidupkan kembali Pancasila sebagai fundasi hidup berbangsa dan bernegara? Menurut hemat penulis, perlunya melakukan apa yang pernah digagaskan oleh tokoh Pendidikan Brasil, Paulo Freire, yakni konsientisasi. Seperti ditegaskan oleh Paulo Freire dalam Pedagogi Pengharapan (2001), untuk menggugah kembali situasi dan kondisi sekitar, perlu ada konsientisasi atau upaya penyadaran terus menerus. Dalam konteks Indonesia tentu penyadaran kembali akan nilai-nilai Pancasila sebagai pijakan dalam mengelola hidup bersama.
Seperti dikatakan Franz Magnis Suseno, Pancasila merupakan cita-cita bangsa Indonesia tentang masyarakat yang baik, karena mengungkapkan nilai-nilai yang ingin direalisasikan dalam kehidupan bersama oleh bangsa Indonesia. Karenanya nilainya merupakan keharusan dalam segala kebijakan politik Indonesia. Pancasila juga merupakan etika politik, dalam arti menjadi fundasi norma bagi kebijakan politik dan perilaku warga Indonesia. Ini merupakan kesepakatan pendiri bangsa. Dalam kesepakatan itu tertera komitmen yang kuat untuk menjadikan Pancasila penyatu masyarakat Indonesia yang majemuk dalam identitas, agama, keyakinan dan budaya. Implikasinya adalah bahwa mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila merupakan kesediaan untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing, mendukung kemajemukan bangsa dan senantiasa menata kehidupan bangsa Indonesia secara inklusif.
Dalam penguatan cita-cita bangsa di atas, sekali lagi perlu konsientasi nilai-nilai Pancasila. Tiga alasan perlunya penyadaran akan nilai-nilai Pancasila itu. Pertama, penerusan dan penguatan kembali kesepakatan pendiri bangsa. Seperti ditegaskan oleh Magnis Suseno,para pendiri bangsa telah bersepakat dan berkomitmen untuk menempatkan Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara serta penyatu bagi kebhinekaan dalam budaya dan keyakinan. Semangat dan komitmen ini perlu dibangkitkan kembali. Dan menghidupkan dua hal ini perlu kesadaran kembali.
Kedua, revitalisasi etika politik berbangsa dan bernegara. Pancasila memuat unsur-unsur paling pokok etika pascatradisional, selain membuat kekayaan etika dan budaya bangsa menjadi penunjang persatuan. Sebagai etika politik masing-masing sila berperan penting. Sila pertama menjamin persatuan bangsa karena menjamin semua komunitas beragama yang Berketuhanan yang Maha Esa, dan demikian menjamin kebebasan beragama. Sila kedua menuntut agar warga Indonesia selalu membawa diri secara adil dan beradab, dengan menghargai hak-hak asasi manusia. Sila ketiga memuat nilai kesetiaan dan komitmen bagi bangsa, sementara sila keempat memuat nilai-nilai demokrasi, yang dasarnya keadilan sosial yang bermartabat. Diperlukan kesadaran kembali untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai etika berbangsa dan bernegara.
Ketiga, prevensi bibit-bibit perpecahan akibat matinya penghayatan nilai kebangsaan. Seperti sudah disinggung di atas, akhir-akhir ini marak gerakan yang menyimpang dari nilai-nilai kebangsaan, yang dampaknya adalah tumbuhnya benih-benih perpecahan. Situasi ini haruslah dihentikan sedini mungkin. Caranya adalah dengan konsientisasi dan penegakan hukum. Konkretnya, bagi penggerogot bangsa dan Pancasila, hukum harus diberikan pelajaran, dan baginya hukum ditegakkan. Hukum adalah sarana negara yang beradab untuk menyelesaikan konflik yang tidak diselesaikan dengan musyawarah. Untuk itu negara harus bertindak tegas terhadap kelompok demikian. Kalau tidak, republik akan menjadi Republik para preman.
Sesuai dengan cita-cita bangsa ini, yakni mengupayakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mencapai masyarakat adil dan makmur, serta mengupayakan perdamaian, Pancasila adalah dasar. Karena itulah menumbuhkan solidaritas bangsa, memberi ruang bagi kemajemukan, menghidupkan demokrasi yang sejati dengan mengedepankan penghargaan martabat manusia, memberantas korupsi serta memberi kesempatan besar pada generasi muda untuk maju menjadi upaya penting. Cita-cita luhur ini membutuhkan penyadaran kembali akan nilai-nilai Pancasila. Gerakan ini nampaknya semakin diperlukan. Di sinilah urgensi konsientisasi akan nilai-nilai Pancasila bagi warga secara berkelanjutan sangat diperlukan, lebih-lebih di tengah gempuran teknologi digital yang membuat ruang publik digital yang cenderung menerapkan nilai-nilai antitesis Pancasila. Semoga.
Kasdin Sihotang
Dosen Pancasila di Unika Atma Jaya Jakarta