web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Inkulturasi Jawa Warnai Misa Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Bertepatan dengan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus, Gereja Santo Leo Agung Paroki Jatiwaringin, Jakarta Timur, mempersembahkan Misa dan Adorasi berbalut inkulturasi Jawa pada Jumat, 27 Juni 2025.

Prosesi petugas liturgi yang diiringi tarian mengawali Perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh Pastor Laurensius Sutarno, SJ dan Pastor Enos Bulu Bali, CSsR. Umat dari berbagai paroki di wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) turut menjadi saksi.

Irama gamelan dan nyanyian berbahasa Jawa menggema, memenuhi setiap sudut gereja. Dari awal hingga akhir, seluruh bagian perayaan dibacakan dan dinyanyikan dalam Bahasa Jawa.

Petugas liturgi dan umat juga tampak mengenakan busana adat Jawa, seperti beskap dan kebaya beraneka motif.

Dalam kotbahnya, Pastor Sutarno menekankan bahwa Perayaan Ekaristi tersebut tidak ada hubungannya dengan Satu Suro. “Kami kumpul bukan karena tanggal Satu Suro tetapi karena Hari Raya Tyas Dalem Sri Yesus Kang Mahasuci,” ujarnya.

Benediktus Adianto, ketua panitia pelaksana, hadir mengenakan busana adat Jawa berupa surjan, kain, dan blangkon. Ia menerangkan bahwa Misa dan Adorasi bertujuan untuk menyatukan umat sesuai dengan Kristus sebagai “Sang Porta Sancta.”

“Jadi ini adalah kesempatan langka. Tahun Yubileum, Jumat Kliwon, Satu Suro, dan perayaan Hati Kudus Yesus secara bersamaan. Hal ini membuat liturgi sebagai pemersatu umat, bukan membeda-bedakan, ” ujarnya.

Ia juga menyebutkan hal unik yang ditampilkan saat Misa, yakni musik gamelan, nyanyian, dan persembahan yang berupa tumpeng dan berbagai jenis makanan lainnya.

“Unsur budaya Jawa tentunya musik itu sendiri, yaitu dengan musik gamelan, nyanyian, dan ada budaya persembahan yang diwujudkan menjadi suatu rasa syukur, yaitu dengan lambang-lambang berupa tumpengan dan hasil makanan yang menggambarkan kembul bujono. Kembul bujono berarti ucapan syukur dengan makan bersama,” ungkapnya.

Walaupun berasal dari berbagai latar belakang suku, umat hadir dengan antusias dan bersatu dalam semangat mencintai seni serta kearifan budaya Jawa. Peristiwa ini mencerminkan nilai toleransi, menunjukkan bahwa seni mampu menjadi jembatan pemersatu perbedaan. Hal ini diakui oleh Adianto.

“Umat kategorial lain ingin melihat kalau inkulturasi dan liturgi tidak ada bedanya, tetap patokannya adalah liturgi yang Katolik, hanya saja bahasanya yang berbeda. Anggota kor tidak hanya orang Jawa dan yang menabuh gamelan sebagian orang Batak. Jadi ini merupakan salah satu bentuk bahwa liturgi yang dibalut dengan kesenian dapat mempersatukan umat,” jelasnya.

Seusai Misa, acara dilanjutkan dengan sarasehan bertema “Budaya dan Seni sebagai Sarana Pemersatu Umat Gereja Katolik.” Dalam forum ini, budaya tak hanya dilihat sebagai warisan masa lalu, melainkan sebagai kekuatan pemersatu di tengah keragaman zaman kini.

Berlangsung hingga siang hari, sarasehan menghadirkan diskusi hangat mengenai bagaimana inkulturasi bisa menjadi cara Gereja merangkul umat dari segala latar budaya, sekaligus mendorong keterlibatan generasi muda dalam seni-seni liturgis tradisional.

Bernadeth Amorita Manulyu, Mahasiswi Universitas Diponegoro

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles