web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Palangka Raya, Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF: Menikmati Usia Terberkati

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 21 September 2025 Hari Minggu Biasa XXV. Am.8:4-7; Mzm.113:1-2,4-6,7-8; 1Tim.2:1-8; Luk.16:1-13 (panjang) atau Luk.16.10-13 (singkat)

BEBERAPA waktu yang lalu terjadi demo di beberapa kota di Indonesia terhadap situasi sosial ekonomi di rasa tidak menunjukkan adanya keadilan. Situasi ini  cukup merepotkan banyak pihak. Sejumlah demonstran turun mengepung kompleks gedung DPR dan tempat-tempat penegak hukum dengan  menuntut keadilan bagi rakyat. Mereka memprotes besarnya tunjangan yang diterima anggota DPR sedang pajak rakyat dinaikkan sampai lebih dari dua ratus persen.

Persoalan sosial ekonomi ini ternyata sudah muncul pada zaman Nabi Amos di Israel Utara pada abad ke-8 Sebelum Masehi. Betapa liciknya penipuan terhadap orang miskin. “Menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut” (Am 8:5-6).

Pesan nabi Amos tentu sangat fokus pada kritik terhadap keserakahan, ketidakadilan, dan eksploitasi orang-orang lemah oleh orang-orang kaya dan berkuasa. Amos mengecam ritual keagamaan yang dilakukan tanpa hati yang tulus dan keadilan. Ia menekankan bahwa Tuhan menginginkan keadilan dan kebenaran, bukan hanya upacara agama.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Ada kemiripan bahkan mendekati kesamaan antara apa yang disampaikan Amos sekian puluh abad yang lalu di tempat yang jauh (di Israel Utara), dengan situasi kita masa kini: soal hidup beragama yang tidak dibarengi dengan perjuangan untuk menegakkan keadilan. Munculnya keserakahan sekelompok elit, yang kaya, tapi kebanyakan orang tercekik kemiskinan yang makin parah.

Oleh karena itu, Injil tegas dan keras (Luk 16:1-13 jangan mengabdi dua tuan: Allah dan Mamon). Hidup beriman harus  memiliki fokus urusan-urusan duniawi harus dipandang sebagai sarana, untuk bisa hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan sebagai tujuan utama untuk akhir hidupnya. Kalau harta kekayaan dijadikan tujuan, maka muncul kerakusan yang tak terpuaskan, disertai cara-cara licik, kejam dan tak jujur untuk memperolehnya.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Dalam Kitab Suci mengartikan Mamon sebagai kekayaan materi atau uang, yang sering dipersonifikasikan sebagai sosok yang jahat atau dewa kekayaan yang menggoda manusia untuk mengejar keuntungan secara rakus dan mengabdi padanya, menggantikan pelayanan kepada Tuhan. “Mamon” sering digunakan dalam konteks peringatan tentang bahaya keserakahan dan penyembahan harta duniawi. Oleh karenanya, orang beriman dalam agama apa saja tidak bisa menyembah mamon dan juga bersamaan dengan Allah. Keduanya bertentangan secara mutlak baik dari segi arti mendasarnya maupun dari segi pemanfaatannya.

Kalau orang beriman dalam hidupnya sungguh menjalankan hidup keagamaan dengann benar, maka ibadat, doa, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya pastilah akan membawa tindakan baik bagi sesama. Namun kenyataannya kerap kita saksikan justru agama dimanfaatkan untuk menjadi sarana untuk memperoleh kekayaan dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan untuk berbuat tidak adil, memeras orang lain dan untuk memperkaya diri. Praktik semacam inilah merupakan penyelewengan dan penggeseran fokus dari menyembah Allah menjadi mendewakan mamon. Lalu apa yang harus diusahakan dalam situasi sepeti ini? Kita tentu belajar dari para nabi yang diutus Allah untuk mengingatkan manusia, untuk memaklumkan pertobatan. Seperti halnya Amos melihat situasi masyarakatnya yang dipenuhi dengan ketidakadilan sosial, penipuan dan pemerasan, maka ia berani mengancam: bahwa situasi dalam kerajaan seperti itu akan dihancurkan oleh Allah.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Lalu bagaimana kita menyikapi situasi sosial-ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan dan tidak meratanya kesejahteraan bagi masyarakat? Sebagai orang beriman, perlulah kita menjalankan pertobatan untuk tidak menganut dan mempraktikkan gaya hidup mengabdi Allah dan mamon.

Kita harus konsekuen, mengabdi Tuhan saja, dan konsisten, memperjuangkan kesejahteraan yang berupa materi yang menghidupi kita sebagai sarana yang harus diperjuangkan, tanpa jatuh ke dalam perangkap kerakusan dan ketidakadilan. Perlu kesaksian prinsip ini: kesejahteraan bersama harus diperjuangkan, dan pelaksanaan hukum dan perintah agama tetap menjadi pedoman hidup sehari-hari.

Perlulah kita menjalankan pertobatan untuk tidak menganut dan mempraktikkan gaya hidup mengabdi Allah dan mamon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles