HIDUPKATOLIK.COM – Sehari sebelum perayaan puncak HUT Paroki Citra Raya, suasana sudah terasa berbeda. Udara pagi di kawasan Citra Raya dipenuhi derap langkah para peserta Jalan Santai Kebangsaan—perwakilan dari lingkungan-lingkungan, tokoh masyarakat, dan para tamu lintas agama yang berjalan bersama dalam satu barisan penuh warna. Tidak ada sekat, tidak ada jarak; semua melebur dalam semangat kebangsaan yang lahir dari perjumpaan sederhana, dari saling sapa yang tulus, dari rasa menjadi bagian satu sama lain. Momen ini seperti pembuka yang lembut namun tegas, bahwa perayaan ke-19 Paroki Santa Odilia tahun ini memang ingin menegaskan tema besar: S1ner9y—sinergi yang bukan hanya menjadi slogan, tetapi praktik nyata.
Semangat itu rupanya tidak berhenti di jalan santai saja. Sejak awal November, Paroki telah menghidupkan rangkaian kegiatan yang menyentuh langsung dinamika umat. Fesparawi antar-lingkungan yang digelar pada 2 dan 16 November menjadi salah satu magnet terbesar. Partisipasi umat mencapai lebih dari 50 persen: 43 dari 69 lingkungan terjun langsung menampilkan talenta terbaik mereka. Bukan hanya kompetisi, tetapi perjumpaan musikal yang memperlihatkan bahwa iman yang bernyanyi selalu membawa kehangatan tersendiri. Lima lingkungan meraih predikat Gold Choir—Santa Bernadet, Santo Yakobus, Arnoldus Jansen, Maria Ratu Damai dan Fransiskus Xaverius—yang kemudian menjadi bagian dari liturgi perayaan. Dari ruang latihan yang sederhana, mereka membuktikan bahwa harmoni lahir dari kerendahan hati untuk bekerja bersama.
Puncak perayaan yang berlangsung pada Minggu 23 November 2025 itu menampilkan suasana yang jauh lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Pada perarakan pembukaan, setiap ketua lingkungan membawa vandel lingkungan masing-masing. Pemandangan itu membuat umat seolah menyaksikan miniatur tubuh Gereja yang hidup—beragam namun satu. Arakan itu bukan sekadar simbol; ia adalah pernyataan visual bahwa keberagaman tidak pernah menghalangi kebersamaan, justru memperkaya.
Sebelum Perayaan Ekaristi dimulai, tiga lingkungan peraih Gold Choir—Santa Bernadet, Santo Yakobus, dan Arnoldus Janssen—menampilkan kembali lagu-lagu terbaik mereka sebagai bagian dari pra-liturgi. Suasana menjadi syahdu, tenang, namun sekaligus menggetarkan. Mereka seperti menata ruang batin umat agar siap memasuki momen puncak syukur. Sementara itu, dua peraih Gold lain yang tidak tampil, Lingkungan Fransiskus Xaverius dan Maria Ratu Damai, tetap menjadi bagian dari kebanggaan bersama, karena prestasi mereka adalah bagian dari mosaik kebersamaan umat Santa Odilia.

Dalam homilinya, Pastor Felix Supranto, SSCC—Pastor Kepala Paroki—mengajak umat melihat lebih dalam makna angka 19, usia Paroki tahun ini. “Angka satu mengingatkan kita—sinergi sejati harus berpusat pada Kristus, Satu Tuhan yang kita sembah. Dan bila kita bertumpu pada Dia, maka akan lahir sembilan buah Roh,” ujarnya merujuk pada surat Galatia. Buah-buah Roh itu—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri—adalah indikator nyata bahwa hidup menggereja tidak berhenti pada ritual, tetapi harus berdampak. Kotbah itu terasa mengena, sebab umat tidak hanya merayakan ulang tahun Paroki, tetapi juga meneguhkan langkah untuk menjadi Gereja yang hidup dan bergerak.
Keindahan Misa semakin lengkap oleh kehadiran Saint Odilia Choir, sebuah paduan suara yang lahir dari sinergi antar-lingkungan. Mereka tumbuh dari kerinduan yang sama: mempersembahkan liturgi yang lebih indah, lebih mendalam, dan lebih menyatukan umat. Sinergi itu tampak jelas—para anggota datang dari berbagai lingkungan, berbagai latar belakang pelayanan, namun suara-suara mereka menyatu tanpa saling menutupi; justru saling menguatkan. Itulah wajah harmoni yang ingin dirayakan Paroki tahun ini.
Namun kejutan terbesar justru datang setelah Misa, ketika Panggung S1ner9y resmi dibuka. Yang tampil pertama bukanlah kelompok internal Gereja, melainkan Komunitas Muslim Al-Ikhlas dengan tabuhan rebana qasidah mereka. Momen itu seketika menghangatkan suasana—bukan karena tegang, tetapi karena haru dan kagum. Jarang sekali terlihat pemandangan seperti ini: komunitas Muslim membawakan qasidah untuk memeriahkan ulang tahun Paroki Katolik di halaman Gereja Santa Odilia. Tabuhan rebana berpadu ritmis, vokalis melantunkan lagu pertama berjudul Ibu dengan penuh hormat, membuat umat menepuk tangan, dan merekam momen istimewa itu.
Keunikan tak berhenti di situ. Pada lagu kedua, irama qasidah diadaptasi dalam nuansa campursari yang ceria. Tanpa dibuat-buat, Romo Paroki, para Suster, dan umat pun ikut bergoyang dan menari bersama. Tawa pecah, batas-batas mencair, dan halaman gereja berubah menjadi ruang sukacita bersama—sebuah potret sinergi yang terasa nyata dan menyentuh.

Tri Wahyudi, koordinator Komunitas Al-Ikhlas, dalam kesaksiannya menyampaikan rasa syukur mendalam. “Ini momen luar biasa. Kami merasa terhormat bisa memeriahkan HUT Paroki Citra Raya yang ke-19. Ini pertama kali kami tampil di Gereja. Semoga bisa terjadi lagi,” ujarnya penuh senyum. Ia menutup dengan pesan sederhana namun kuat: “Dalam hidup bertoleransi, kita akan semakin bahagia kalau berguna bagi banyak orang. Tanamkanlah kebaikan, bukan kebencian. Berilah kebaikan agar hidup kita berguna bagi banyak orang.”
Tidak perlu dialog teologis, tidak perlu perdebatan panjang: ketika rebana ditabuh di halaman Gereja, toleransi tidak lagi menjadi teori—ia menjadi pengalaman nyata. Di atas panggung sederhana itu, denominasi tidak lagi menjadi batas, karena yang bersuara adalah kemanusiaan.
Penampilan Qasidah Al-Ikhlas bukan sekadar hiburan pembuka. Ia menjadi simbol penting dari apa yang disebut Paroki sebagai S1ner9y: bekerja sama tanpa menghapus identitas, bergandengan tangan tanpa mencairkan keyakinan, saling menghargai tanpa rasa curiga. Kehadiran mereka menyentuh banyak umat, terutama karena tampil bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai sahabat yang datang membawa hadiah.
Setelah pembukaan itu, Panggung S1ner9y dilanjutkan dengan pemotongan topeng dan berbagai penampilan dari komunitas kategorial dan OMK. Namun energi terbesar hari itu sudah terbangun sejak tabuhan rebana pertama—sebuah energi yang mengingatkan bahwa Gereja tidak sedang berjalan sendirian. Ia dikelilingi sahabat, tetangga, dan saudara dari berbagai agama yang bersama-sama merawat harmoni.
HUT Paroki Citra Raya tahun ini menjadi bukti bahwa sinergi bukan hanya mungkin, tetapi sudah terjadi. Jalan Santai Kebangsaan, Fesparawi yang meriah, arakan vandel lingkungan, kotbah tentang makna angka 19, Saint Odilia Choir, dan terutama kehadiran Qasidah Al-Ikhlas—semuanya menyatu menjadi satu pesan besar: ketika kita mau membuka diri, Tuhan bekerja dengan cara-cara yang melampaui batas-batas persekutuan kita.
Di bagian akhir acara, F.X. Arda selaku Ketua Panitia HUT ke-19 Paroki Citra Raya memberikan apresiasi kepada seluruh panitia dan umat yang telah bekerja keras menghadirkan rangkaian perayaan yang hidup dan berkesan. Ia menegaskan bahwa sinergi yang terbangun selama sebulan terakhir adalah buah dari kerja bersama yang tulus. Pak Arda juga mengingatkan bahwa perjalanan perayaan belum selesai; masih ada satu agenda besar yang segera digelar, yakni pertandingan voli antar wilayah, yang diharapkan kembali menjadi ruang persaudaraan dan sportivitas bagi seluruh umat.
Dan mungkin, justru dari sebuah panggung sederhana, kita belajar bahwa persaudaraan tidak perlu dibangun dengan kata-kata besar. Cukup dengan hadir, berbagi talenta, dan menabuhkan rebana bersama. Dari sana, sinergi tumbuh. Dari sana, Indonesia dirawat.
Laporan Yulius Maran – Korbid Peribadatan Paroki Citra Raya






