Peziarahan Anak Kampung Terban

539
Keluarga: Harry bersama orangtua dan saudaranya, Yogyakarta, 1957.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Harry Tjan Silalahi telah mengalami beragam periode perjalanan bangsa ini. Ia ada sejak masa penjajahan, awal kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, era Reformasi, hingga kini. Pada 11 Februari 2014, ia genap berusia 80 tahun.

Ia berjalan agak tertatih. Sebagian rambutnya pun telah memutih. Keriput di wajah semakin tegas mengular. Sekali-sekali, ia terbatuk. Namun, saat berkisah tentang negeri ini, ketuaannya terasa sirna. Suaranya masih tegas nan keras. Ingatannya pun masih tajam.

Harry Tjan Silalahi, yang pada 11 Februari 2014 genap berusia 80 tahun membuka kisah dengan mengutip kidung Mazmur 90:10, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaan dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.”

“Bahkan, bonus umur yang diberikan Tuhanpun sudah saya pakai. Saya hanya mengucap syukur untuk ini semua. Kedepan, saya mau menikmati bonus-bonus tambahan dengan sebaik mungkin,” ujar Harry kala dijumpai di Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis, 23/1. Harry seperti hendak membuktikan kepada Pemazmur, bahwa ia seorang pria yang kuat, yang dibentuk kesukaan dan penderitaan melalui pengalaman-pengalaman hidup yang ia arungi sampai hari ini.

Mandi di kali
Harry lahir dalam keluarga Tionghoa di kampung Terban, Yogyakarta, pada 11 Februari 80 tahun silam. Ia anak kedua dari sepuluh bersaudara. Menurut penuturan orangtuanya, Harry di lahirkan pada Minggu Legi, dua hari menjelang tahun baru Imlek. Nama yang diberikan adalah Tjan Tjoen Hok. Kemudian, di depan nama itu di tambahkan Harry, sehingga nama lengkapnya adalah Harry Tjan Tjoen Hok.

Masa kecil Harry dipenuhi kisah ceria, meskipun hidup pada masa penjajahan Belanda. Seperti bocah pada umumnya, Harry bermain dengan anak-anak sekampung, mandi dikali, serta berlatih kepanduan. Ia pun amat gemar menonton pertunjukan wayang kulit sampai ngebyar, semalam suntuk.

Layaknya anak-anak kampung, apa saja bisa menjadi sarana bermain. Satu yang paling mengasyikan bagi Harry adalah mandi di Kali Code. Sembari bercanda, Harry bersama teman-temannya berenang dengan gaya punggung atau yang mereka sebut mbathang. Padahal orangtua Harry melarang anak-anaknya mandi di kali, karena banyak kuman yang bisa menyebabkan sakit perut atau penyakit kulit. Ayah Harry yang biasa disapa Bah Ging tentu tahu betul akan hal ini. Maklum, dia seorang mantri.

Harry pun tahu dan percaya bahwa dalam air kali itu banyak kuman dan kotoran. Tapi dalam alam pikir Harry kala itu, karena kuman dan kotoran yang banyak sekali, mereka akan padha tarung dhewe-dhewe, saling berkelahi sendiri, sehingga air kali menjadi netral dan bebas dari kuman. Maka Harry senang-senang saja kalau cebyar-cebyur di Kali Code.

Rasa kebersamaan seperti ini menjadi awal rasa-perasaan nasionalisme Harry. Karena merasa selalu bersama teman-temannya itu, Harry kecil ingin kehadirannya berguna bagi mereka. Maka ia mengumpulkan mereka untuk berlatih kepanduan kecil-kecilan. Di situ mereka belajar, berbaris, menyanyi sembari bermain.

Menjadi Katolik
Harry memulai pendidikan formal di Hollandsch Chinesche School (HSC), sekolah dasar bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Tapi pada masa pendudukan Jepang, sekolah ini ditutup. Harry melanjutkan belajar di Tiong Hwa Hwee Koan. “Di situ saya mulai belajar sedikit omong Mandarin, Jepang, dan berlatih ber baris,” kenang Harry.

Usai menamatkan pendidikan sekolah dasar, Harry melanjutkan pendidikan ke SMP St Yusuf di Dagen, Yogyakarta. Disni, Harry mendapatkan banyak teman, karena ia mulai aktif di organisasi sekolah, ikut dalam perkumpulan pemuda pelajar, dan beberapa organisasi lain, termasuk organisasi pelajar Tionghoa.

Suatu ketika, sekolah mengadakan pementasan sandiwara atau tonil di Kotabaru, Yogyakarta. Kala itu, 1946, Harry belum boleh tampil di panggung. RP Hermanus Ruding SJ, pamongnya di sekolah, datang ke pementasan bersepeda. Sepeda zaman dulu belum dilengkapi lampu penerangan. Maka sebagai alat penerangan digunakan upet, pelepah bunga kelapa yang dianyam agak padat dan dililitkan pada jeruji sepeda lalu dinyalakan sebagai penerang jalan.

Malam itu Harry bertugas menjaga sepeda. Selain menitipkan sepeda, Romo Ruding juga menitipkan upetnya kepada Harry. Ketika Romo Ruding hendak pulang, Harry mengembalikan upet itu. Romo Ruding bertanya kepada Harry, “Apakah kamu sudah Katolik?”

Harry menjawab, “Tidak.”

“Apa kamu mau menjadi Katolik?”

“Ya, saya mau Romo.”

Maka, Romo Ruding pun meminta Harry datang ke Kotabaru, sekarang dikenal sebagai Kolese Santo Ignatius, untuk belajar agama Katolik. Setiap Rabu sore, Harry datang menerima pelajaran agama Katolik.

Agama Katolik bukan hal baru bagi Harry. “Sewaktu saya masih kecil, saya sering diajak tetangga ke gereja. Saya juga sekolah di sekolah Katolik. Maka, doa Salam Maria dan Bapa Kami sudah saya hafal,” kisah Harry.

Harry hanya mengikuti pelajaran agama empat kali. Ia lebih banyak membolos untuk mengikuti kegiatan ke panduan. Namun Harry bisa dibaptis, meski ia mengaku tak hafal sepuluh perintah Allah dan lima perintah Gereja. Harry memilih nama St Yohanes Berchmans sebagai nama baptis.

Keputusan Harry untuk dibaptis tak diketahui orangtuanya. Seminggu setelah Harry dibaptis barulah sang ayah tahu hal itu. Ia tidak marah. “Kamu sudah jadi Katolik ya… Jadilah orang Katolik yang baik dan setialah pada pilihan yang sudah kamu tentukan,” kenang Harry mengulang pesan ayahnya.

Harry seperti lahir dengan gen yang khusus. Ia tak bisa berdiam diri di rumah. Saat belajar SMA de Britto Yogyakarta, Harry mengikuti beragam kegiatan dan aktif di berbagai organisasi. Ia ikut bermain sandiwara untuk mencari dana. Aktif di kegiatan kepanduan, atau yang kini dikenal dengan Pramuka. Ia juga menjadi Pemimpin Redaksi Majalah SMA de Britto, “Lotus”. Namun lantaran aktif di ane ka kegiatan, Harry pernah tidak naik kelas. “Tapi saya kok tidak menyesal ya… Bagi saya, tinggal kelas atau gak lulus, gak masalah. Setahun mengulang di banding pengalaman setahun di luar, tentu lebih banyak pengalaman di luar,” ujar Harry sembari tersenyum.

Ke Jakarta
Setelah lulus SMA, Harry memutuskan pergi ke Jakarta. Berbekal tiga pakaian dan satu koper kulit, ia menyambangi ibukota. Orangtuanya membelikan tiket kereta api untuk sekali jalan seharga dua setengah rupiah. Saat Harry naik kereta api, ibu dan kedua adik yang mengantarnya meneteskan air mata.

Harry melanjutkan belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia harus memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja sebagai petugas administrasi yayasan di Perkumpulan Strada dan mendapat pemondokan di daerah Gunung Sahari. Upah dari pekerjaan itu, ia bagi untuk membayar pemondokan, makan minum, menyewa sepeda, serta membayar uang kuliah. Meski masih berstatus mahasiswa, Harry juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah di Persekolahan Ricci Jakarta selama dua tahun. Harry memang tak mau membebankan kebutuhan hidup dan kuliah kepada orangtua, karena ia masih memiliki delapan adik.

Meski harus kuliah sambil bekerja, Harry tetap aktif di organisasi ke mahasiswaan, seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Di PMKRI Harry bertemu dengan sosok-sosok mahasiswa dan aktivis lain seperti Ignatius Joseph Kasimo, Frans Seda, RB Suhartono, dll. Dari merekalah kemampuan berorganisasi Harry semakin terasah.

Pengalaman politik Harry kian terasah kala masuk dalam Partai Katolik Indonesia. Harry menyebutkan, banyak menimba spiritualitas kekatolikan dari Uskup Agung Jakarta kala itu, Mgr Adrianus Djajasepoetra SJ. Ia juga mendulang semangat keindonesiaan dari I.J. Kasimo dan RP Josephus Gerardus Beek SJ atau yang dikenal dengan Pater Beek. Perjumpaan-perjumpaan dengan pengalaman inilah yang menghantarkan Harry menjadi sosok aktivis politik yang di kenal luas hingga hari ini.

Menikah
Sewaktu bekerja di Sekolah Ricci, Harry pernah tertarik pada seorang gadis. Namun rasa itu pudar. Rupanya, jiwa aktivis Harry ikut berpengaruh dalam hal memilih pasangan. Benar saja, di antara para aktivis PMKRI ada sesosok hawa yang mulai menggugah hati Harry. Dara itu bernama Theresia Mariana, atau yang akrab dipanggil Tress.

Singkat cerita, ketertarikan dua hati itu berakhir di pelaminan. Janji setia kedua insan ini diteguhkan dalam Misa pernikahan yang dipimpin RP F. Hamma SJ di Gereja St Theresia Menteng, Jakarta, 30 Oktober 1965. Dari hasil pernikahan ini lahirlah dua buah hati mereka, Herman dan Harin.

Namun biduk rumah tangga Harry dan Tress tak berlangsung lama. Tress menderita sakit kanker dan dipanggil pulang kehadirat Tuhan pada 14 Februari 1993. Tiga tahun setelah kepergian Tress, tepatnya 8 Maret 1996, Harry mempersunting Theresa Catha rina Ying Liong sebagai pengganti Tress.

Harry menyebut pernikahan keduanya ini sebagai love in the afternoon, cinta di kala senja hari. “Dia sudah menjanda beberapa tahun lebih dulu sebelum kepergian Tress. Sewaktu kami bertemu, kami merasa cocok, dan kami sepakat untuk melanjutkan hidup secara bersama-sama,” demikian komentar Harry.

Hari tua
Saat ini, Harry sedang menikmati masa-masa senja. Meski kondisi tubuh tak sebugar kala muda, Harry tetap melakukan berbagai aktivitas, terutama sebagai peneliti senior di CSIS. Selain itu, ia juga masih menjadi pembicara dalam beberapa seminar.

Harry memiliki resep khusus dalam menikmati masa tua. “Selalu bersyukur, ka rena Dia selalu memberi yang terbaik. Selain itu, saya selalu minum jamu,” tutur Harry. “Jamu” yang dimaksud Harry adalah jaga mulut, tidak menggumbar kata-kata.

Sebuah pepatah mengatakan, hidup adalah perjalanan pulang. Tatkala manusia dilahirkan, ia mulai menapaki jalan pulang. Entah itu dalam waktu yang lama ataupun singkat, semua tergantung Yang Mahakuasa. Dan Harry telah “memenangkan” sebagian besar perjalanan pulang itu hingga mencapai usia bonus 80 tahun. Mau hidup berapa lama lagi Harry? “Semua tergantung Tuhan. Saya hanya menjalani saja,” tutup Harry.

Harry Tjan Silalahi

TTL : Yogyakarta, 11 Februari 1934
Istri : Theresa Catharina Ying Liong

Pendidikan :
– SMP St Yusuf di Dagen, Yogyakarta
– SMA Kolose de Britto, Yogyakarta
– Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta

Kegiatan :
– Anggota IPPI (1952)
– Ketua Presidium PP PMKRI (1961-1962)
– Sekjen Front Pancasila (1965)
– Pendiri Universitas Trisakti (1966)
– Sekjen Partai Katolik Indonesia (1964-1971)
– Ketua Partai Katolik Indonesia (1971)
– Direktur Centre for Strategic and International Studies/ CSIS (1971)
– Anggota DPR (1967-1971)
– Anggota DPA (1978-1983)
– Anggota Dewan Penyantun CSIS

Stefanus P. Elu

HIDUP NO.06 2014, 9 Februari 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here