Efektivitas Dewan Paroki

275
St. Ferry Sutrisna Wijaya Pr
[Dok. HIDUP]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com - Lebih dari dua puluh tahun lalu, seorang pastor melapor kepada Uskup: ”Monsinyur, saya sudah membentuk Dewan Paroki. Pengurusnya seratus orang lebih. Sulit juga mencari pengurus.”

”Siapa suruh membentuk dewan sebesar itu!” kata uskup sambil tersenyum ketus.

Kalau kita membentuk dewan paroki, apakah kita mulai dari struktur yang besar dan lengkap? Saya dengar, banyak paroki punya banyak wakil ketua (ketuanya pastor paroki) yang memimpin banyak bidang. Di bawah tiap bidang ada banyak seksi dan sub-seksi. Lalu, masih ada banyak sub-sub seksi. Belum lagi ada berbagai kelompok kategorial dan tim. Masih lagi, untuk event khusus, ada panitia-panitia. Aktivis dewan paroki, apalagi pengurus inti, akan menghadiri banyak sekali rapat dan membuat keputusan.

Pernah ada pastor paroki yang mengangkat hanya empat anggota dewan paroki. Katanya, sudah cukup. Di paroki lain, tidak ada seksi di dewan paroki, melainkan hanya ada tiga bidang: kegerejaan, kemasyarakatan, dan keluarga. Tim pewartaan dan tim liturgi dibuat mandiri dan terpisah dari dewan paroki. Tim Pengembangan Sosial Ekonomi juga berdiri sendiri, dan sudah semakin besar dengan banyak seksi dan pelayanan sosial kemasyarakatan.

Apakah sebaiknya struktur dewan paroki di suatu keuskupan sama dan serupa? Apakah harus sesuai nama-nama ”pontifical office” atau komisi kepausan dan komisi keuskupan? Apakah sebaiknya membentuk struktur dulu baru mencari bentuk pekerjaan yang bisa dilaksanakan? Bagaimana kalau seksi tertentu bingung dan tidak tahu apa bidang tugasnya? Bagaimana kalau kemudian program seksi tidak berjalan?

Apakah tidak mungkin kalau paroki mulai dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana paroki tersebut berada? Lalu, merumuskan apa yang bisa dilakukan oleh paroki bersama masyarakat untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Itulah yang menjadi alasan untuk menyusun visi, misi, dan program paroki. Kemudian baru membentuk dewan paroki sebagai perangkat dan sarana untuk melaksanakan program tersebut.

Kalau misalnya ada paroki yang mayoritas umat dan masyarakatnya adalah buruh industri, agaknya wajib mempunyai seksi buruh. Di Korea, ada banyak paroki punya seksi perburuhan, bahkan dilengkapi kantor dan tenaga purna waktu untuk mendampingi buruh dengan masalah pekerjaan, hukum, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kalau di paroki tersebut banyak petani, mungkin seksi pertanian perlu dibentuk. Kalau di Maluku barangkali seksi nelayan dan perikanan harus dikembangkan.

Meskipun sebuah seksi di satu paroki dengan paroki lain mempunyai nama yang sama, mungkin bentuk pelayanannya berbeda. Di paroki yang kaum mudanya banyak yang menganggur, seksi kepemudaan harus berusaha mencarikan pekerjaan. Paroki lain dengan kaum muda yang masih remaja, seksi kepemudaan barangkali lebih berusaha mempersiapkan mereka menjadi orang muda dewasa. Jika di paroki banyak orang mudanya yang bekerja di sektor industri, demikian jika banyak yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan kepemudaannya pasti berbeda.

Apakah kalau dewan paroki sudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan Gereja dan masyarakat setempat, lantas dewan paroki itu pasti aktif? Kalau visi, misi, dan program sudah jelas, apakah dewan paroki akan hidup? Belum tentu juga. Aktif tidaknya dewan paroki ditentukan oleh sejumlah faktor yang serentak saling menunjang: pastor paroki aktif, pengurus dewan paroki bisa meluangkan waktu dan tenaga, ada evaluasi, ada refleksi, dan terus berdoa dan bekerja.

St. Ferry Sutrisna Wijaya Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here