Renungan Minggu, 13 Agustus 2017 : Maria, Pelayan Rendah Hati

1077
[simpleofme.blogspot.com]
2.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Hari Raya SP Maria Diangkat ke Surga: Why 11:19a;12:1,3-6a,10ab; Mzm 45:10bc,11,12ab; 1Kor 15:20-26; Luk 1:39-56

MARIA adalah seorang perempuan biasa. Dalam usia remaja, mungkin 17 tahun menurut hukum Yahudi, dia bertunangan dengan Yosef. Dia taat pada orangtua, hukum Taurat, dan bukan orang yang menonjol. Dia tersembunyi dalam kebiasaan sehari-hari seorang perempuan: memasak, mencuci, mengambil air ke sumur, belajar Taurat di rumah, dan pada hari Sabat pergi ke Sinagoga. Sejarah hidupnya berubah total saat dikunjungi Malaikat Gabriel (Luk 1: 26-38). Gabriel menawarkan tugas “mengandung seorang anak laki-laki, yang harus diberi nama Yesus, yang akan disebut Anak Allah yang Mahatinggi.”

Maria heran sekaligus ingin tahu bagaimana mungkin dia akan mengandung tanpa menikah. Dia pastilah takut dan gemetar. Dia pastilah mengenal hukum Taurat yang memandang aib yang tak terampuni jika seorang wanita mengandung tanpa suami (Yoh 7:53 – 8: 11; bdk. Im 20: 10; Ul 22: 22-24).

Dia, sekurang-kurangnya pasti berpikir bagaimana harus mengatakan itu kepada Yosef yang secara hukum sudah menjadi suaminya walaupun belum hidup serumah. Bagaimana menjadi ibu tanpa suami? Bagaimana tanggapan Yosef jika mengatakan bahwa dia hamil? Apakah Yosef akan percaya? Yang terbayang pada Maria pastilah bahwa Yosef akan sakit hati, merasa dikhianati. Namun dia menjawab, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Dia mempercayakan hidup kepada Allah. Dia tidak kalah oleh risiko yang diancamkan oleh dunia.

Mutu pribadi seorang pelayan adalah sederhana, rendah hati, seumur hidup bersedia mencari tahu kehendak Allah sekalipun tidak selalu mengerti. Maria tak menuntut perlakuan istimewa karena akan mengandung Anak Allah. Menurut Injil Lukas, dia tetap tunduk kepada hukum manusia dengan pergi sensus ke Yerusalem walaupun sedang hamil tua. Karena ditolak di penginapan, dia rela melahirkan anaknya di kandang domba. Malam-malam bersama Yosef, dia harus membawa anaknya mengungsi ke Mesir. Kembali dari Mesir dia harus mengungsi ke Nazaret karena nyawa anaknya terancam.

Walaupun demikian, semua itu belum cukup. Agaknya Yesus menunjukkan tanda-tanda yang kurang menyenangkan terhadapnya, sejak kecil sampai Dia besar. Di Bait Allah, ketika berusia 12 tahun, Yesus hilang. Ketika ditemukan setelah dicari selama tiga hari dengan susah payah, Dia mengatakan, “Mengapa kalian mencari Aku? Tidak tahukah kamu bahwa Aku harus ada di rumah Bapa-Ku?” (Luk 2: 41-52). Ketika dewasa Yesus bahkan meninggalkan ibu-Nya (padahal Yosef kemungkinan sudah lama meninggal) dan pergi ke padang gurun untuk mendengarkan Yohanes Pembaptis, minta dipermandikan dan lalu menyepi sendirian selama 40 hari 40 malam. Sejak itu Yesus tak pernah lagi diberitakan pulang ke rumah-Nya di Nasareth.

Bukannya mengurus ibu-Nya, Yesus malah sibuk mengajar orang-orang yang disingkirkan masyarakat: pengemis, pelacur, orang cacat, kusta, pemungut cukai, kerasukan roh, dll. Pastilah segala hujatan, gosip dan cibiran tetangga baik langsung maupun diam-diam diterima dan didengar kembali oleh Maria. Karena itu Maria berusaha mencari Yesus mungkin mau menasihati-Nya atau minta penjelasan. Namun apa yang dia dengar dari anaknya ketika dia berdesak-desakan di rumah orang tempat anaknya mengajar? “Siapa ibu-Ku? Siapa saudara-saudari-Ku? Ibu dan saudara-saudari-Ku adalah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya” (Luk 8: 19-21; Mat 12: 46-50; Mrk 3: 31-35).

Apakah Maria langsung mengerti semua pengalaman dengan anaknya itu? Kemungkinan besar tidak. Karena itu dia menyimpan semua dalam hati. Dia bersedia merenungkan, mencari makna, belajar darinya secara sederhana dan rendah hati. Karena kesediaannya terus merenungkan Sabda Allah, akhirnya dia sanggup untuk setia menjadi pelayan, sedia mendampingi anaknya menderita di jalan salib.

Maria adalah contoh bagaimana seorang manusia biasa dapat berjuang untuk tetap bisa menjadi hamba Allah yang sejati. Bukan tingginya gelar, kursi dan jabatan yang membuat seseorang berharga di mata Allah dan manusia. Yang diperlukan hanyalah selalu bersedia mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah dan tentu melaksanakannya. Maria setia melaksanakan kehendak Allah tanpa mulai memakai banyak alasan dan argumen hebat untuk membela dan melindungi diri atau mencari keuntungan diri. Sekali berjanji taat kepada Allah, dia setia dan tidak menyesalinya. Salam Maria, terpujilah engkau di antara wanita.

Mgr Yohanes Harun Yuwono

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here