web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat: Berdiri Teguh di Tengah Gemuruh Zaman

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 16 November 2025 Hari Minggu Biasa XXXIII, Mal.4:1-2a; Mzm.98:5-6, 7-8, 9a; 2Tes.3:7-12; Luk.21:5-19

KITA mendiami zaman yang bergerak dengan kecepatan mencengangkan dan tak jarang, mengerikan. Perang tidak lagi hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di layar komputer, di ruang digital, dan dalam sistem ekonomi dunia. Drone otonom menggantikan prajurit, kecerdasan buatan menulis keputusan penting, dan dunia yang dikuasai algoritma sering kehilangan wajah manusiawi.

Di tengah percepatan ini, muncul pertanyaan: Ke mana arah dunia ini berjalan? Apakah kemajuan sedang menyembuhkan manusia, atau justru perlahan-lahan menggerogoti jiwanya?

Injil hari ini menampilkan sebuah gambaran serupa. Di hadapan Bait Allah yang megah, Yesus berkata: “Tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain.” Bait Allah yang merupakan simbol kekuatan dan kebanggaan iman Israel akan runtuh.  Kata-kata ini mengejutkan, tapi menyimpan janji bahwa terkadang Tuhan merobohkan yang megah agar kita menemukan yang sejati.

Di tengah dunia yang bergemuruh, bacaan suci hari ini mengajak kita untuk memandang dengan mata iman, bukan dengan kepanikan. Mari kita menyelami empat tuntunan abadi untuk tetap berdiri kokoh.

Baca Juga:  Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan

Pertama, saat “puing perjatuhan”, di situlah iman dimurnikan. Yesus mengingatkan bahwa segala yang tampak kokoh bisa luluh lantak. Namun kehancuran bukanlah titik akhir, melainkan pintu gerbang menuju pemurnian. Kita sering menaruh kepercayaan pada struktur, jabatan, dan prestasi, tetapi Tuhan menyingkapkan bahwa semua itu rapuh dan ringkih bila tidak berakar pada kasih. Kitab Maleakhi menegaskan, “Hari itu datang, menyala seperti perapian…”. Ini bukan untuk membakar habis umat-Nya, melainkan untuk membersihkan karat kepalsuan yang melekat dalam diri.

Kedua, ketika dunia gentar, orang beriman tetap bekerja. Paulus menulis, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Ia tidak mengancam, melainkan menanamkan spiritualitas tanggung jawab. Iman akan akhir zaman bukan alasan untuk berhenti berbuat baik. Menanti Tuhan bukan dengan tangan terlipat, tetapi dengan tangan yang bekerja, menabur kasih dan kejujuran. Bagi Paulus, setiap keringat yang jujur adalah doa. Dunia boleh gelisah, tetapi orang beriman tetap bekerja dengan damai, sebab makna hidupnya ditentukan oleh kesetiaan, bukan situasi.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Ketiga, ketika penderitaan datang, bersaksilah. Yesus tidak menjanjikan hidup tanpa kesulitan, tetapi Ia memberi makna bagi setiap perih hidup itu. “Kamu akan ditangkap, dianiaya…tapi itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.” Inilah keindahan iman Kristen bahwa bahkan penderitaan pun bisa menjadi ladang kesaksian. Iman justru bersinar paling terang ketika semua sandaran manusiawi terlepas. Dalam saat-saat gelap itulah, Yesus berjanji, “Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat….” Iman sejati bukan tentang hafalan doktrin atau pengetahuan teologis semata, melainkan kehadiran Roh yang menuntun di tengah krisis. Kita tak selalu tahu apa yang harus dikatakan, tetapi Tuhan tahu bagaimana berbicara lewat kita dalam kesabaran dan pengampunan.

Keempat, senantiasa bertahan adalah seni hidup di tengah dunia yang tak menentu. Yesus berjanji, “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Luk. 21:19). Bertahan bukan sekadar tahan banting, melainkan tetap setia dalam kasih saat semua tampak sia-sia. Yesus tidak menjanjikan langit yang selalu cerah, tetapi hati yang tetap teduh di tengah topan. “Tidak sehelai pun rambut kepalamu akan hilang” (Luk. 21:18). Maleakhi menyebutnya, “Surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.” Di balik bara pemurnian, selalu terbit fajar penyembuhan.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Dunia boleh guncang akibat fondasi ekonomi, tiang moral, bahkan keyakinan iman lemah, tetapi orang yang percaya tahu setiap guncangan adalah undangan untuk kembali ke dasar yang benar. Maleakhi menegaskan, api yang berkobar bukan akhir, melainkan awal dari pemulihan. Paulus pun menasihati, iman yang hidup akan tetap berkarya meski langit dan bumi tak menentu. Kemudian Yesus meneguhkan, derita bukanlah kutuk, melainkan kanvas untuk mempertontonkan kemuliaan Tuhan.

Iman sejati bukan hanya tentang bertahan sampai garis akhir, tetapi tentang bertahan dengan kasih yang tak henti berkarya, hingga dunia ini disembuhkan. Kiranya di tengah gemuruh zaman, kita menjadi umat yang teguh berkarya, kukuh dalam doa, dan berani bersaksi, sampai Surya Kebenaran benar-benar terbit menyinari seluruh ciptaan. Amin.

 Ketika penderitaan datang, bersaksilah! Penderitaan pun bisa menjadi ladang kesaksian.

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.45, Minggu, 16 November 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles