Membangun Rumah Tuhan Dengan Lidi

279
Sueriza Kemit.
[Nicolaus Heru Andrianto]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Halaman depan rumahnya penuh dengan tumpukan daun kelapa sawit. Bersama orangtua dan anak-anak, ia membangun rumah Tuhan dari lidi.

Pancaran mentari belum lama bertandang di Bilal Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Bulir-bulir embun masih mencumbu pelepah sawit di hamparan halaman Sueriza Kemit. Daun-daun yang tergelatak itu tak lagi bertulang. Sueriza bersama beberapa oppung (nenek) dan anak sekolah minggu telah meraut pelepah itu.

Begitu lidi terkumpul, Sueriza menjualnya kepada pengempul. Para pembeli biasa datang sebulan sekali. Lidi-lidi itu dijual per kilogram. “Harga lidi tak menentu, kadang Rp 1.600, tapi pernah juga sampai Rp 2.700 per kilogram,” beber perempuan kelahiran Mulawari, Karo, Sumatera Utara.

Kegiatan yang dilakoni sejak Februari tahun lalu, menurut Sueriza, telah meraup uang sekitar Rp 8 juta. Tapi pundi-pundi itu tak masuk ke kocek pribadi mereka. Duit itu mereka gunakan untuk merenovasi bangunan Kapel Stasi St Maria Goretti Kampung Pelita yang telah ringkih. “Orang mengenal lidi ini dengan nama ‘lidi gereja’,” ujar umat Paroki St Fransiskus Asisi Aek Nabara, Keuskupan Agung Medan.

Insinyur Pertanian
Sueriza adalah insinyur pertanian. Ia menuntaskan pendidikan di Universitas Lampung. Begitu mengantongi ijazah, Sueriza meninggalkan “Bumi Ruwa Jurai”. Dahaga dengan ilmu pengetahuan, Sueriza kembali ke Medan. Di sana, ia mengikuti berbagai kursus. Agar bisa membiayai kursusnya, Sueriza melamar menjadi tenaga sukarela di Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Ia ditempatkan di Aek Nabara, di bagian loket pembayaran listrik. Ia juga didapuk mengurus koperasi. Sueriza tak pernah berpindah tempat atau bagian sejak menerima tugas pada 1993 hingga kini. “Prinsip saya waktu itu tak ingin merepotkan orangtua untuk membiayai kursus,” ujarnya mengenang.

Pada celah kesibukan, istri Tenang Sembiring masih menyempatkan waktu untuk meraut lidi bersama umat lain. “Paroki masih membutuhkan dana untuk pembangunan kapel stasi kami. Hal sederhana yang bisa kami buat adalah mengikis lidi, minimal untuk membiayai pembangunan dinding,” terang anggota Seksi Kerasulan Keluarga Paroki Aek Nabara ini.

Sueriza menuturkan, kondisi kapel stasinya amat memprihatinkan. Beberapa ruas dinding retak dan membahayakan umat. Bangunan itu juga telah uzur. Kepala Paroki Aek Nabara, Romo Nasarius Rumairi SX merekomendasikan agar kapel tersebut direnovasi. Keterbatasan dana menjadi salah satu aral proses pembangunan.

Lewat gerakan meraut lidi dan jika Tuhan menghendaki, Sueriza optimistis dinding kapel mereka akan bisa berdiri. Sueriza mulai meraut lidi selepas berdoa Angelus, sekitar pukul enam pagi, demikian juga umat lain. Ketika ia pamit untuk mengurus loket pembayaran listrik, umat lain tetap meraut lidi.

Begitu lidi terkumpul, ia akan menelpon pengepul atau pembeli setia. “Hari ini pelepah banyak, mau datang atau tidak?” ujarnya mencontohkan percakapan antara dirinya dengan pembeli.

Jemput Bola
Demi mendapat banyak pelepah sawit, Sueriza tak bisa berpangku tangan, atau mengharapkan orang mengantar bahan mentah kepadanya. Ia bersama relawan harus mau “jemput bola”. Artinya, mereka harus keluar-masuk kebun sawit. Bila melihat pekerja sawit sedang men-dodos ‘panen’, mereka segera mendatangi dan meminta pelepah itu.

Mereka meraut pelepah daun itu di pangkalnya untuk menandai daun itu sudah ada pemiliknya. Begitu sudah mendapat banyak pelepah, mereka membawa ke rumah Sueriza. Di sana mereka memisahkan lidi dari pelepah dengan cutter. Mencari pelepah di kebun sawit, menurut Sueriza, butuh keberanian. Ia sering berjumpa dengan ular di tengah jalan, atau merelakan darahnya diisap pacet yang menempel di kaki.

Hujan juga menjadi rintangan pelik untuk para peraut lidi, tambah Sueriza. Pelepah yang terkena air hujan akan cepat busuk. Sehingga lidi yang dihasilkan pun kualitasnya tak bagus. Meski demikian, Sueriza bersyukur hingga detik ini pelepah sawit masih melimpah di kebun. Asa mendirikan dinding rumah Tuhan dari batang-batang lidi bakal terwujud. “Jika satu umat menghasilkan satu kilogram lidi per hari, maka proses pembangunan kapel bakal cepat selesai,” harap Sueriza dengan penuh keyakinan.

Sueriza bersyukur, hingga kini masih bisa membagi waktu dengan baik antara pekerjaan utamanya dengan usaha menyokong pembangunan kapel. Bendahara Stasi St Maria Goretti Kampung Pelita itu bersyukur, gerakan “lidi gereja” juga menginspirasi warga di sekitar kediamannya. Mereka juga meraut pelepah sawit untuk menyokong perekonomian keluarga.

Semangat Sueriza terinspirasi dari kisah para orang kudus yang pernah dibacanya. Menurut ibu tiga putri itu, para santo dan santa tak pernah setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Sueriza juga mengakui, jika hingga kini masih menekuni gerakan “lidi gereja” semata-mata karena kekuatan Tuhan.

Bagi Sueriza, gerakan “lidi gereja” juga merupakan karya Tuhan. Jika bukan Tuhan yang mengetuk hati umat, tak mungkin mereka bertahan melakukan karya suka rela itu hingga sekarang. “Bila mereka hanya termotivasi karena uang, takkan bertahan lama,” ungkap guru sekolah minggu ini.

Melahirkan Puisi
Tak hanya dana pembangunan gereja, lidi juga menyuntik inspirasi bagi Sueriza, sepenggal puisi lahir dari lidi. Lidi kudus, lidi mulia, engkau sangat berjasa//Bukan hanya mengantar aku ke surga, namun umat semuanya dapat mereguk surga-Mu//.

Bagi Sueriza, dirinya hanyalah alat di tangan Tuhan. Sebagai alat yang sedang dipakai Tuhan, ia tak bisa menolak. Sueriza hanya mengikuti kehendak Tuannya. “Selagi saya sehat, mengapa saya menolak kehendak-Nya,” tanyanya retoris.

Sueriza menganalogikan manusia seperti lidi. Kerapuhan merupakan kodrat manusia. Maka agar kuat, manusia harus bersatu dan bekerjasama dengan sesamanya. Dengan demikian mereka bisa berdaya guna bagi sesama, bangsa, dan Gereja.

Nicolaus Heru Andrianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here