web page hit counter
Jumat, 6 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Lilin yang Padam

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Media massa terus mengepung masyarakat Indonesia dengan berita mengenai Angeline, anak perempuan yang menjadi korban pembunuhan. Semua orang diundang untuk menjadi “ahli” membahas kasus ini, mulai dari anggota DPR, Polisi, lembaga swadaya masyarakat, hingga artis dan masyarakat biasa. Semua skenario diletakkan dan dipaparkan dengan argumentasi yang membuat benak kesadaran masyarakat sebagai penonton diajak mereka-reka.

Melalui media massa, kasus ini telah menghadirkan beraneka teks dengan beragam sajian realitas. Realitas yang dikonstruksi dalam media massa. Untaian kata yang dirangkai tertuang menjadi teks yang kadang memberi kesan kehadiran empati, kegeraman, atau “kecerdasan”. Masing-masing narasi menunjukkan proses pembingkaian realitas sosial yang berbeda. Setiap bingkai menunjukkan proses konstruksi sosial dalam memaknai realitas sosial yang hadir. Konstruksi sosial yang dialami para penutur menentukan fakta yang diambil, diseleksi, dengan penekanan, atau penonjolan aspek tertentu, sementara aspek lain mungkin dihilangkan atau justru ditambah-tambahi.

Peter Berger dan Thomas Luckmann melalui buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge, menjelaskan bahwa realitas yang disajikan kepada orang lain telah melalui proses konstruksi sosial berkat pengalaman dan perjumpaan dengan lingkungan sosial. Realitas tentang “Bali” akan sangat berbeda jika saya sajikan. Bali yang hanya sesekali saya kunjungi akan sangat berbeda dengan mereka yang tinggal di Bali sejak lahir. Mereka yang mengalami peristiwa Bom Bali akan mengonstruksi realitas “Bali” berbeda, karena proses internalisasi dan objektivasi yang dialami juga berbeda. Maka dalam konteks ini, semua realitas memiliki “kebenaran” masing-masing. Karena itu kebenaran menjadi bersifat relatif, tergantung siapa yang menyuarakan dan bentuk konstruksi sosial yang dialami.

Media massa memiliki kontribusi besar dalam mengonstruksi realitas tentang apapun yang berkembang dalam masyarakat. Ini terlihat nyata dalam kasus Angeline, kematian Olga Syahputra, kasus beras plastik, pernikahan Gibran-Selvi, atau tentang Dana Aspirasi yang diajukan anggota DPR.

Dalam proses konstruksi sosial diyakini bahwa latar belakang keluarga, pendidikan, profesi, lingkungan organisasi, bahkan agama dan etnis amat mempengaruhi pemaknaan yang hadir dalam memahami realitas sosial. Perjumpaan dengan berbagai macam proses konstruksi yang terjadi dalam hidup masing-masing, memberi kontribusi pemaknaan dan di dalamnya termasuk pula memasukkan konteks kepentingan dan pertarungan kepentingan. Dan, media massa kerapkali hadir dalam konteks menyajikan pagelaran kepentingan dan pertarungan kepentingan dalam realitas apapun.

Dalam suasana sosiopolitik saat ini, yang semakin temaram dengan riuh rendah aneka pemberitaan, kita masih melihat lilin-lilin di beberapa sudut dinyalakan sebagai pertanda harapan. Namun, lilin-lilin itupun makin lama makin banyak yang padam, karena sejumlah media massa terjebak dalam situasi memadamkan harapan dengan konstruksi realitas yang “gelap”. Lilin-lilin itu semakin padam ketika membaca skripsi mahasiswa Universitas Indonesia, Rachmat Haryanto yang berjudul “Analisis Wacana Pemberitaan Anti-Cina menjelang Kerusuhan Mei Dua Surat Kabar Nasional”. Penelitiannya menjelaskan tentang dua surat kabar nasional yang mengonstruksi realitas kekacauan ekonomi Indonesia pada masa krisis moneter 1996-1997, yang menempatkan etnis Cina atau Tionghoa sebagai kambing hitam, dan pelan-pelan mengonstruksi ketegangan sosial yang menghasilkan hate crime hingga meletupkan kekerasan pada etnis Tionghoa di bulan Mei 1998.

Sampai kini, media massa di Indonesia terus hadir dan mengonstruksi suasana kelam dan melemahkan harapan, bukan menaburkan harapan baru. Lalu, bagaimana dengan media massa berbasis Gereja dan para pegiat komunikasi sosial Katolik? Apakah mereka mampu memberikan harapan baru dalam mengonstruksi realitas sosial?.

Puspitasari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles