Pasutri Tita-Tanto: Berbagi Ginjal demi Suami

860
Pasutri Tita-Tanto.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Demi hidup sang suami, Tita merelakan satu ginjalnya. Keyakinan akan kasih Tuhan menguatkan hatinya untuk menanggung risiko. “Saya berdoa biar istri saya masuk surga. Saya di neraka tidak apa,” ujar Tanto.

Tahun 2008, Isadora Diah Tristiani curiga dengan kesehatan suaminya, Martinus Tanto Retijono. “Waktu itu, buang air kecil Mas berbuih ketika disiram. ”, ungkap Tita, sapaannya, yang lalu memeriksakannya ke dokter. Hasilnya, tekanan darah Tanto tinggi meski tak merasa pusing. Dokter lalu memberinya obat darah tinggi. Selang beberapa hari, tekanan darah Tanto tak jua normal.

Tita kembali memeriksakan Tanto. Dokter mengungkapkan, fungsi ginjal Tanto bermasalah. Pada 2009, Tanto kerap masuk-keluar rumah sakit. Fungsi ginjalnya tersisa 25 persen. “Saya terkejut ketika dokter mengatakan itu. Apalagi kemungkinan besar Mas gagal ginjal. Dokter menguatkan saya …, harus siap apapun itu,” kisah perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 22 Oktober 1979 ini.

Memeluk Kesetiaan
Sedih. Bimbang. Khawatir. Itulah yang dirasakan Tita. Berbeda dengan Tanto, “Saya menyadari pola hidup saya selama ini… Ketika akhirnya dokter mengatakan demikian, ya saya harus menerima. Ini karena ulah saya sendiri. Jadi saya harus siap menanggung akibatnya.”

Setelah Tanto keluar dari rumah sakit dan kembali bekerja, Tita berusaha turut menjaga pola hidup suaminya. Tita membawakan bekal makanan agar suaminya tak makan sembarangan. Tanto pun berjuang mengatur pola hidup sehat, termasuk mengurangi merokok.

Sekian lama tak ada keluhan, tiba-tiba awal Januari 2011, badan Tanto terasa gatal- gatal. “Mas juga cegukan terus. Sesudah minum obat dokter, gatal-gatal berkurang, tapi cegukan tak juga hilang,” tutur Tita.

Kesehatan Tanto merosot. Ia kembali dirawat di rumah sakit. Dokter menyatakan, kadar kaliumnya tinggi.

Fungsi ginjalnya kian menurun. Tanto didiagnosa gagal ginjal. Dua kali seminggu, ia harus cuci darah. Usai cuci darah, Tanto langsung masuk kantor. “Saya harus enjoy  menjalaninya. Istri setia menunggu dan menemani. Kami yakin, Tuhan memberikan yang terbaik,” ungkap kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, 18 Oktober 1971 ini.

Selama cuci darah, mereka kerap bertukar pengalaman dengan pasien lain di rumah sakit. Mereka mendapat info tentang cangkok ginjal dan mulai mencari tahu. Sementara pemeriksaan rutin dan cuci darah terus dilakukan.

Berserah Senantiasa
Akhir Juni 2011, hasil pemeriksaan dokter menunjukkan fungsi ginjal Tanto tinggal empat persen. Mengetahui itu, Tanto ingin cangkok ginjal. Demi kesembuhan sang suami, Tita bersedia berbagi ginjal. Namun, karena golongan darah mereka berbeda, dokter mengatakan di Indonesia belum bisa dilakukan.

Tak patah arang, mereka mencari second opinion dari dokter di National University Hospital Singapura atas saran kenalannya.

Hasil pemeriksaan dokter di Singapura menjelaskan, ada kebocoran di ginjal Tanto. Lalu ia menceritakan, istrinya bersedia menjadi pendonor cangkok ginjal, tapi golongan darah mereka berbeda. Tak disangka, dokter dan timnya pernah menangani pasien cangkok ginjal dengan golongan darah berbeda. Lalu mereka minta Tita diperiksa dahulu.

Tita pun bertemu dokter untuk pemeriksaan darah crossmatch (reaksi silang), yang lazim dilakukan sebelum transfusi darah untuk mengetahui kecocokan golongan darah pendonor dan penerima. Hasil crossmatch menunjukkan 90 persen cocok dan Tanto pun siap cangkok ginjal.

Di sisi lain, kekhawatiran soal biaya mulai merayapi hati Tita. Mas meyakinkan saya, Tuhan pasti memberi jalan.”

Saat pulang ke Indonesia, mereka terus bimbang soal biaya operasi. Kala bimbang menyergap, dokter perusahaan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), tempat Tanto bekerja mengatakan, perusahaan akan menanggung biaya operasi. Sang dokter telah mempresentasikan kondisi Tanto kepada perusahaan. “Tuhan menunjukkan jalan. Ia berbuat tepat pada waktunya,” tandas Tita.

Akhir Juli 2011, mereka berangkat ke Singapura untuk persiapan operasi. Menghadapi semua itu, doa menjadi pilar sandaran mereka. “Tuhan, kalau boleh saya mohon, biarlah saya yang sakit, tapi suami saya tetap sehat,” ungkap Tita dalam doanya.

Dukungan doa mengalir bagi mereka dari keluarga, teman-teman, dan kenalan. Umat di Lingkungan St Benediktus, Paroki St Aloysius Gonzaga Cijantung, Jakarta Timur –tempat tinggal Tita dan Tanto– pun bernovena untuk pasutri ini.

>“Menjelang operasi, saya merasa tidak tenang. Saya memikirkan istri saya. Tiga hari menjelang operasi menjadi masa sulit bagi saya. Rasanya seperti mau menanti hukuman mati. Kami berada di kamar terpisah. Saya merasa terasing, tapi saya sadar untuk belajar mandiri,” kenang Tanto.

Pada 15 Agustus 2011 pagi, di National University Hospital Singapura, Tita dioperasi. Kemudian siangnya, giliran Tanto. Ketua tim dokter yang mengoperasi adalah Prof A. Vathsala. Tanto mengaku, keberaniannya bertambah kala mengetahui operasi Tita sudah selesai dan berjalan lancar. Sebelum operasi, Tanto sejenak bertelut dalam doa. Doa Bapa Kami dipilihnya. “Menurut saya, doa menjadi kekuatan paling dahsyat.”

Nikmat Syukur
Operasi berjalan lancar. Masa pemulihan dijalani Tanto dengan didampingi sang istri. “Ginjal istri saya langsung berfungsi dan tumbuh baik. Empat hari sudah normal. Sampai hari ini tak ada keluhan. Menurut saya, ini luar biasa. Saya berdoa biar istri saya masuk surga. Saya di neraka tidak apa …,” ujar Tanto sambil melepas tawa.

Pengalaman sakit dan operasi cangkok ginjal begitu bermakna bagi Tita dan Tanto. “Itu adalah keputusan hebat dalam hidup kami. Dari pengalaman itu, saya belajar berbagi, seperti yang dilakukan istri yang rela berbagi ginjalnya untuk saya,” ujar Tanto. Dorongan berbagi itu mereka ungkapkan dengan terlibat dalam kegiatan di lingkungan, Gereja, tempat kerja, maupun masyarakat. Mereka mengunjungi dan menyapa umat lingkungan, teman, atau kenalan yang sakit.

Di kantornya, Kompleks Perkantoran Hijau Arkadia, Jakarta Selatan, Tanto yang bekerja sebagai Operation HSSE Engineering PHE ONWJ sejak Mei 2011, juga terlibat dalam Komunitas Katolik Arkadia (KKA) dan Badan Koordinasi Umat Kristen (Bankorumkris). “Apa yang bisa kita lakukan, ya kita lakukan. Saya merasa diberi kesempatan untuk hidup kedua. Saya bersyukur atas itu semua dan ingin berbagi,” imbuh Koordinator Seksi Usaha Dana Panitia Natal Paroki Cijantung 2014 ini.

Mereka terus memeluk keyakinan, Tuhan tak pernah meninggalkan umat-Nya dalam keadaan apapun. “Kita tak boleh ragu berjalan di jalan Tuhan. Tuhan itu selalu ada. Jangan takut! Dan jika percaya, jangan setengah-setengah. Kalau Anda punya iman sebiji sesawi, Anda bisa memindahkan gunung (bdk Mat 17:20),” tandas Ketua Lingkungan St Benediktus Paroki Cijantung sejak 2013 ini. “Kasih Tuhan itu nyata, benar dan amin! Kita tak akan sanggup melewati berbagai permasalahan hidup, tanpa Tuhan … tanpa pertolongan- Nya,” imbuh Tita.

Dalam mengarungi biduk rumah tangga, pasutri yang menikah pada 2006 ini berusaha saling mendukung, mendampingi, menguatkan, serta berbagi suka dan duka. Mereka pun berharap bisa menjadi seperti lilin yang menyinari dalam gelap.

Maria Pertiwi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here