Mengikir Karsa dan Rasa

544
Para instruktur memberikan pengarahan kepada para mahasiswa sebelum praktik.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Di atas tanah bekas ladang tebu dan hamparan sawah, para calon ahli manufaktur dibentuk. Tak hanya mahasiswa umum, mereka yang difabel juga mendapat keahlian, dan tanggung jawab serupa.

Raung sirene membahana di seantero kompleks kampus 2 (international campus/ intercamp) Politeknik ATMI Surakarta, Selasa, 16/1, pukul 06.50 waktu setempat. Para mahasiswa yang berada di wardrobe (ruang ganti) atau area lain kampus, bergegas berkumpul di tiap section dan lab. Ada empat section dan 12 lab di bangunan seluas 4,2 hektar itu.

Mereka mengawali briefing dengan doa. Penjelasan selama 15 menit dari para instruktur itu menyangkut berbagai hal mulai dari praktik, penilaian, kebersihan mesin, dan peralatan hingga busana yang mereka kenakan. “Wear pak (jas lab) yang sudah terlihat cokelat segera dicuci,” pesan salah satu instruktur kepada mahasisnya.

Bagi pengunjung yang baru pertama ke sana akan takjub. Pemandangan yang mudah terlihat adalah busana mahasiswa di sana, tak ada bedanya dengan karyawan di dunia manufaktur. Mereka memakai safety shoes (sepatu model boot), selain wear pak, dan perlengkapan keselamatan kerja lain.

Tak hanya itu, seandainya sempat bersafari ke kampus satu di Karangasem –sekitar 2,3 kilometer dari intercamp–, pengunjung akan tercengang melihat ratusan mesin dengan berbagai bentuk dan ukuran. Uniknya, dunia industri seperti itu terintegrasi dengan dunia kampus.

Praktik Dasar
Praktik pertama untuk mahasiswa tingkat pertama adalah mengikir. Latihan dasar itu merupakan syarat mutlak bagi mahasiswa seluruh program studi. Bagi Hadrianus Tjahjono Adji latihan seperti itu sudah tak asing lagi. Ia pernah mendapatkan latihan serupa saat berada di sekolah teknik menegah (STM).

Mengikir bagi alumnus ATMI yang kini menjadi instruktur senior di almamaternya tak sekadar kerja tangan, tapi juga melatih perasaan. Meski bukan orang baru di bidang teknik, pria kelahiran Yogyakarta 17 September 1959 sempat vakum dua tahun dari bangku pendidikan begitu lulus STM.

Tjahjono, demikian sapaannya, hijrah dari Kota Gudeg menuju Kalimantan. Ia ikut proyek trans Kalimantan. Dua tahun berjibaku membuka jalan, suatu ketika terbentik dalam benaknya untuk mengembangkan diri. Ia lantas meninggalkan pekerjaan dan mendaftar di ATMI. “Pertimbangan awal saya memilih di sini (ATMI) karena lebih cepat selesai,” ujarnya.

Tjahjono bersyukur tak salah menjatuhkan pilihannya. Sebagai lembaga pendidikan vokasi, ATMI menerapakan metode pendidikan dengan 70 persen praktik dan 30 persen teori. “Saya kira model pendidikan seperti ini belum ada di perguruan tinggi lain pada masa itu,” sambungnya.

Selain itu, lanjut lulusan Magister Psikologi Pendidikan Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo ini, setiap mahasiswa ATMI, dari masanya hingga sekarang, memegang mesin masing-masing. Sehingga tak ada satu mahasiswa pun yang menjadi penonton.

Tjahjono terus melanjutkan karya di almamaternya hingga akhir hayat. Salah satu tujuannya agar para mahasiswa mengikuti jejaknya. “Saya bersyukur sudah banyak adik-adik saya yang lebih hebat dari saya,” ujarnya, merendah.

Berbeda dengan seniornya, Atika Wahyuningsih sebelum masuk ATMI sama sekali tak mengetahui lembaga vokasi itu. Bahkan meski asli Solo, ia sama sekali tidak mengetahui jalan menuju ke almamaternya itu. Tika, sapaannya, masuk ATMI karena teman SMA-nya, yang terkenal pandai dan selalu juara kelas.

Temannya itu, sambung Tika, sudah diterima di dua universitas negeri terkenal di Indonesia. Tapi dia, tambahnya, justru melepaskan semua itu dan memilih ATMI. Tika heran. “Mengapa justru ATMI? Kalau lembaga pendidikan itu tak berkualitas tidak mungkin dia memilih itu,” ujar Tika, mengenang.

Tika pun mengikuti pilihan kawannya itu. Banyak hal yang harus dia pelajari selama di ATMI. Toh, meski jatuh-bangun, ia berhasil menuntaskan pendidikannya dengan prestasi gemilang. Sejak 2008, ia menjadi instruktur di almamaternya itu. Tika membukukan dirinya sebagai instruktur perempuan pertama lulusan ATMI.

Mendapat Beasiswa
Fransiskus Xaverius Suryadi sejak kecil aktif di lingkungan Gereja. Berkat pergaulannya, ia pertama kali mengenal SMK St Mikael Surakarta, daripada ATMI. Ia takjub melihat para siswa di sana. Apalagi ia mendapat cerita, siswa di sekolah itu mempelajari tentang teknologi seiring zamannya.

Ketika duduk di bangku Kelas V SD, Suryadi sudah mantap untuk memilih sekolah itu setelah lulus SMP. Ia pun berhasil merengkuh impian masa kecilnya itu. Suryadi lantas melanjutkan pendidikannya di ATMI, yang berada di seberang sekolahnya. Betapa terkejutnya Suryadi ketika baru pertama kali mencicipi pendidikan di sana.

Kuliah di ATMI keras, beber pria asal Surakarta itu. Praktik di ATMI berlangsung mulai pukul 07.00 hingga 16.00. Presensi di sini harus 100 persen, artinya jika mahasiswa terlambat atau tidak masuk, harus menggantikan waktu tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, dan doa, Wakil Direktur Empat ini tak hanya lulus, tapi juga mendapat beasiswa ke Swiss, setelah dua tahun membaktikan diri di almamaternya.

Suryadi terharu begitu menjejakkan kaki di negeri orang. Ia tak menyangka masuk ATMI dengan kondisi ekonomi pas-pasan dan berkat uluran tangan orang, ditambah persoalan keluarga, ternyata semua itu berbuah manis. “Saya amat terharu karena saya tak bisa menujukkan keberhasilan ini kepada orang-orang terdekat saya karena mereka meninggal,” ungkap Suryadi.

Selain Suryadi, Felicia Maya Puspita Anastasi Kusbagio juga mendapat beasiswa dari ATMI. Sejak masuk hingga lulus kuliah, ia bebas biaya kuliah. Sebagai kompensasinya, Veve, sapaannya, meneken ikatan dinas dengan almamaternya itu. Rupanya, bukan Veve sendiri, kakak dan adiknya pun mendapat beasiswa serupa.

Pengalaman berbeda dialami Wening Kurnia Pangesti. Penyandang tunarungu ini bisa menimba ilmu di ATMI berkat kerjasama antara lembaga tersebut dengan almamaternya, LPATR Dena Upakara Wonosobo. Wening mengikuti pelatihan gambar teknik, benchwork, mesin bubut, milling, dan gerinda selama kurang dari setahun di ATMI.

Kelahiran Temanggung, 23 April 1991 kini berkarya di bagian polish di PT ATMI- IGI Surakarta. “Pendidikan dan pelatihan di ATMI dapat saya pahami karena para instruktur sabar mendampingi dan membimbing saya dari nol sampai bisa. Rekan-rekan kerja juga sangat membantu saya untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan,” ungkapnya.

Ia berharap, ATMI semakin baik dan banyak menerima karyawan entah itu dari latar belakang pendidikan berbeda maupun sesamanya penyandang difabel. “Agar mereka dapat menyalurkan bakat dan keahlian, dan tidak merasa “dibedakan” di masyarakat.

Mengunjungi ATMI
Kiprah ATMI sebagai lembaga pendidikan vokasi juga mendapatkan apresiasi dari Walikota Surakarta waktu itu Joko Widodo dan F.X. Hadi Rudyatmo. Dalam buku Romo Casutt SJ: Dalam Senyap Bangun Pendidikan Vokasi Indonesia karya A. Bobby Pr disebutkan, Jokowi beberapa kali datang mengikuti acara di ATMI. Pria yang kini menjadi Presiden RI, pada masa itu kerap membawa para tamu dari luar Surakarta untuk mengunjungi ATMI.

Pada November lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama sejumlah menteri berkunjung ke ATMI. Pada kesempatan itu, Kalla mengapresiasi model pendidikan yang diterapkan ATMI kepada para mahasiswanya. ATMI, katanya, telah berhasil mengembangkan pendidikan antara praktik dengan produksi. Di ATMI, mahasiswa diajarkan mengikir karsa dan rasa.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here