St André de Soveral SJ: Martir dari Natal

432
Pastor André de Soveral SJ (kiri) dan Domingos Carvalho.
[cancaonovanoticias.com]
1.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ia menjadi misionaris untuk orang-orang Indian di Brasil. Ia memiliki moto, “Satu langkah, seorang dibaptis”.

Kehidupan suku Indian di Brasil mulai terancam dengan kehadiran bangsa Portugis yang membawa serta kehidupan modern di Tanah Amazon itu. Budaya modern itu mulai berkembang bersama dengan kedatangan Pedro Alvares Cabral (1467-1520) tahun 1500. Pedro melakukan eksplorasi di pesisir timur laut Amerika Selatan, ia pun mengklaim wilayah Brasil di bawah kekuasaan Portugis.

Namun bangsa Portugis bukanlah satu-satunya. Tahun 1597, penjelajah Perancis menyusul masuk Brasil dipimpin Jacques Riffault. Mereka memulai kegiatan perdagangan dengan orang Indian di Natal, Rio Grande do Norte yang terletak di sebelah timur laut Brasil. Situasi ini membuat Gubernur Portugis, Francisco de Sousa memerintahkan pengusiran para buccaneer, ‘bajak laut Perancis’ dan sekutunya.

Tak hanya kedua bangsa itu, bangsa Belanda pun masuk Brasil tahun 1633. Begitu tiba, mereka mendirikan Fort Ceulen, di Rio Grande, Natal. Tempat ini seketika menjadi wilayah transit pelayaran menuju Afrika dan Eropa. Situasi yang menjadikan Natal sebagai persinggahan bagi para penjelajah. Bangsa Belanda berada di sana sampai tahun 1654.

Salah satu yang hidup di tengah tiga bangsa ini adalah Pastor André de Soveral SJ. Ia dilahirkan di São Vicente, São Paulo, Brasil pada 1572. Ia lahir ketika pengaruh bangsa Portugis sudah menancap kuat. Sampai pada suatu titik, Andre memilih jalan panggilan menjadi seorang imam Serikat Yesus. Meski sulit, ia menjalani panggilan ini dengan setia sampai mengorbankan nyawanya.

Bersama Indian
André masuk Novisiat Serikat Yesus di Bagia, sebelah timur laut Brasil tahun 1572. Setelah ditahbiskan imam, Pastor André diutus untuk menjadi misionaris di Natal tahun 1606. Daerah di sebelah timur laut Brasil ini merupakan salah satu tempat pemukiman Suku Indian. Di tempat ini, Pastor André menyaksikan orang-orang Indian menjadi korban konflik antara kuasa-kuasa penjajah.

Pastor André mencermati bahwa Perancis dan Belanda berupaya merebut Brasil dari Portugis. Keduanya bahkan bersaing mendapatkan hati masyarakat lokal. Orang Indian awalnya tidak menyadari bahwa tujuan bangsa-bangsa asing itu adalah untuk merebut tanah mereka. Dengan kehadiran bangsa Eropa, mereka malah melihatnya sebagai kesempatan untuk balas dendam terhadap musuh mereka dari suku-suku Indian lain. Hal ini yang mendorong mereka untuk terlibat dalam pertikaian kuasa-kuasa asing itu.

Awalnya, Pastor André melayani Panglima Perancis Nicholas de Villegaignon saat sang panglima mendarat di Teluk Guanabara (kini Rio de Janeiro) dan membangun benteng. Ia bersekutu dengan Indian dari suku Tamoio. Melihat hal ini, orang Portugis lalu mendatangkan suku Tupinamba dari Bahia untuk menghancurkan benteng yang mustahil ditaklukan itu. Banyak orang dari suku Tamoio diperbudak dan banyak juga yang dijual. Dalam kekuasaan saat itu, semua itu dianggap sah secara moral karena kalah dalam “perang yang adil”.

Kondisi demikian menjadi tantangan pastoral bagi Pastor André. Hal yang mengejutkan baginya adalah pembauran antar ras yang mengakibatkan lenyapnya banyak suku. Buku Red Gold-The Conquest of the Brazilian Indians menyebutkan adanya tradisi lokal orang Indian, di mana mereka menyambut tamu dengan memberikan wanita mereka.

Hal yang sama dilakukan saat kedatangan para misionaris Jesuit tahun 1549 di Brasil. Situasi ini sontak membuat para misionaris itu terkejut. “Para klerus di hadapan umum diberikan wanita Indian sebagai bentuk penghormatan. Banyak dari mereka menjadi gundik para penjelajah,” tulis Pastor André.

Tantangan lain juga adalah pendudukan bangsa Calvinis Belanda di wilayah Natal. Kehadiran mereka menjadi mimpi buruk bagi karya misi. Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan kebijakan anti Gereja Katolik dan melarang para misionaris Katolik untuk melakukan pelayanan sakramental. Kaum fanatik Calvinis secara sistematis menindas orang Indian yang menolak agama mereka. Mimpi buruk ini diperparah dengan kehadiran para penginjil yang memaksa orang Indian untuk masuk dalam agama mereka.

Berhadapan dengan situasi ini, Gereja Katolik di Brasil terkesan “suam-suam kuku”. Situasi ini diakui hanya membawa kesulitan bagi Pastor André. Ajaran Katolik sulit diterima dan masuk di kalangan orang Indian mengingat jarak yang jauh dari pusat wilayah Natal. Tugas ini sedikit terbantu lewat tentara Portugis yang mengenalkan iman Katolik kepada para tawanan, dan budak Indian.

Martir Indian
Menghadapi medan pastoral ini, Pastor André tak bergeming. Ia melayani dengan prinsip, one step, one baptized, ‘satu langkah, seorang dibaptis’. Bersama teman-temannya, ia melayani orang-orang Potiguara (orang Indian). Ia pun membaptis sedikitnya lima ratus orang Indian. Pastor André benar-benar tak peduli dengan ancaman Calvinis kala itu. Ia bahkan beberapa kali melontarkan kritik pedas terhadap misi Calvinis. Kedatangan orang-orang Belanda diikuti dengan perbudakan dan “perburuan bebas” bukan saja di Natal tetapi juga kawasan Amazon. Indian Amazon hilir dibunuh karena mempertahankan tanah mereka. “demam karet” membuat bangsa-bangsa Eropa itu berduyun-duyun mendatangai kawasan Amazon.

Pada posisi ini, Calvinis memainkan peranan penting. Misi mereka hanya demi memperkaya diri sendiri. Pastor André merasa perlu memperjuangkan keadilan bagi masyarakat India. Ketika diangkat sebagai Kepala Paroki Cunhaú, Brasil tahun 1614, ia mulai membangun kekuatan bersama umat untuk segera memutuskan mata rantai kekuasaan Calvinis. Ia terus berbicara tentang keadilan bagi masyarakat Indian. Ia tidak peduli begitu banyak pengikut fanatik Calvinis yang menganggapnya sebagai musuh. Bagi Calvinis mereka yang menentang misi monopoli kekuasaan tidak ada jalan lain selain kematian.

Pada Minggu, 16 Juli 1645, bersama 69 umat yang sebagian besar petani dan pekerja pabrik tebu di Cunhaú, Pastor André merayakan Misa di sebuah kapel. Tiba-tiba kapel itu diserbu tentara-tentara Calvinis. Mereka menyerang dan menembak membabi buta Pastor André dan umatnya termasuk rekannya Domingos Carvalho. Pastor André awalnya menawarkan diri menggantikan umatnya tetapi para prajurit menolak tawaran itu. Mereka takut misi Katolik semakin berkembang lewat misionaris-misionaris awam tersebut. Pastor André meninggal setelah sebuah pisau ditusuk di jantungnya tepat pada hari itu.

Di tahun yang sama pada 3 Oktober, di tepi Sungai Uruaqu, 12 kilometer dari Natal, seorang imam diosesan, Francisco Ambrosio Ferro dan umatnya juga dibunuh oleh otoritas Calvinis Belanda. Mereka disiksa dan dibunuh setelah menolak menanggalkan iman mereka. Mereka yang menjadi martir dalam dua peristiwa ini berjumlah 27 orang Indian, seorang Portugis, seorang Spanyol, dan satu orang Perancis. Kekuasaan Calvinis berakhir setelah tentara Portugis bersama milisi Potiguara bertempur dalam Perang Guararapes. Sejak itu mereka para Calvinis angkat kaki dari Amerika Selatan.

Proses beatifikasi dilaksanakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 3 Maret 2000. Pastor André dibeatifikasi bersama rekannya Francisco Ferro dan seorang awam Mateus Moreira serta 27 umat lainnya. Ia dikanonisasi bersama para martir asal Brasil lainnya di Lapangan Santo Petrus Vatikan, 15 Oktober 2017 oleh Paus Fransikus. Mereka dikenang setiap 3 Oktober.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here