Ada Apa dengan Iman?

242
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Tantangan paling mengintimidasi dari para atheis terhadap kaum beriman tampil dalam rupa sebuah dilema. “Jika tiadanya Tuhan menyebabkan kamu berbuat jahat, maka kamu membuktikan bahwa dirimu adalah manusia tidak bermoral,” lontar mereka. “Sebaliknya, jika tiadanya Tuhan tidak menghalangimu untuk berbuat kebaikan, maka kamu membuktikan bahwa Tuhan tidak diperlukan agar kita bisa berbuat baik.” Lebih jauh lagi, mereka bahkan menjelaskan keterpukauan kita terhadap Tuhan sesungguhnya adalah sebentuk irasionalitas.

Manusia punya kecenderungan jatuh cinta. Saat jatuh cinta, terjadi aktivitas zat-zat kimiawi dalam otak yang memicu keterpikatan setengah mati kepada satu orang. Kata mitra atheis kita, ada kala proses kimiawi itu mengalami korsleting, sehingga ketergila-gilaan kepada satu orang teralihkan menjadi kegandrungan kepada satu sosok hebat, yang tak lain dan tak bukan adalah Tuhan. Mengapa Tuhan? Karena Tuhan mampu melakukan apa saja untuk kita. Tentang jatuh cinta ini, sampai-sampai ada guyonan yang mengatakan, otak adalah organ tubuh paling hebat, karena bekerja 24 jam sehari dari sejak kita dilahirkan sampai jatuh cinta. Artinya, jatuh cinta membuat otak berhenti bekerja.

Situasi dilematis itu menyebabkan kita sibuk mencari-cari jawaban yang tepat, sedangkan teori jatuh cinta yang “terpeleset” menjadi iman kepada Tuhan membuat kita menepuk dahi, karena terdengar lucu dan edan! Namun, harus diakui, di hadapan otak canggih yang super-rasional seperti itu, kita kadang merasa seperti anak kecil lugu yang sedang dipecundangi orang dewasa yang serba tahu tentang segala ihwal. Mengapa kita harus menjelaskan segala sesuatu kepada mereka? Tidak cukup lagikah untuk sekadar percaya saja tanpa banyak bicara? Apa yang keliru dengan menjadi seperti anak-anak dalam beriman?

Tokoh penerbang dalam bacaan tersohor, Le PetitePrince, karya Antoine de Saint-Exupéry, tak ketinggalan mengeluhkan tingkah pola orang dewasa yang selalu menuntut penjelasan. Ketika kecil, ia menggambar seekor ular piton sedang mencerna seekor gajah dalam perut. Tetapi orang dewasa mengira ia sedang menggambar sebuah topi. Sungguh melelahkan. Mereka, bahkan menganjurkan ia berhenti menggambar gajah dalam perut piton, dan sebagai gantinya, lebih memakai waktu untuk belajar geografi, sejarah, matematika, dan tata bahasa. Menjelang akhir kisah, si penerbang memperoleh pencerahan dari tokoh pangeran kecil berupa rahasia kecil yang sederhana: apa yang penting tidak tampak oleh mata, hanya dengan hatilah kita bisa benar-benar melihat.

Pilatus tak mampu melihat kebenaran yang berdiri di depannya dalam sosok Yesus yang setengah telanjang dengan tubuh penuh bilur, dan ia lebih suka membasuh tangannya. Menyerah. Ia melihat, namun tak menemukan, sebab ia tidak membuka hati untuk kebenaran yang sedang mengetuk di pintunya. Mata melihat imaji mental yang dibangun otak tentang suatu realitas, dan bukan melihat realitas itu sendiri. Maka, persoalannya bukanlah apakah kita melek atau tidak, melainkan apakah kita mampu mengutip sang pangeran kecil melihat dengan rasa (hati)? Istri Pilatus justru lebih mampu memahami kebenaran lewat jalan yang pasti tidak akan dianggap rasional, yakni mimpi akanYesus.

Kembali ke dilema moralitas dan ketuhanan di awal, iman tidak dapat direduksi menjadi urusan moral semata – soal baik dan buruk, benar dan salah. Jauh dari itu, iman adalah soal derajat keintiman kita dengan Tuhan. Jadi, mungkin justru benar bahwa iman lahir dari perasaan jatuh hati kepada Tuhan, walaupun tampaknya bukan jenis jatuh hati akibat otak yang korslet, sebagaimana digagas para neurologevolusionis. Kita pun jadi terkesan membabi buta berupaya menyenangkan hati Tuhan sebab setiap hal terkecil yang kita lakukan untuk itu, juga membahagiakan diri kita sendiri. Cinta itu buta, bukan?

Manneke Budiman

HIDUP NO>36, 7 September 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here