Kebhinekaan Pangan Yang Mempersatukan

443
Pastor Yohanes Sutrisno MSF menerima persembahan dari umat Gereja Keluarga Kudus di Paroki Rawamangun dalam perayaan ekaristi dan memperingati Hari Pangan Sedunia, Minggu 21 Oktober 2018. [dok.pri.]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com Minggu 21 Oktober 2018 yang lalu, tidak biasanya beberapa petugas Among Tamu & Kolektan  yang menyambut di depan pintu utama Gereja Keluarga Kudus di Paroki Rawamangun mengenakan kostum daerah. Meski agak heran, namun karena jarum jam sudah menunjuk ke angka 10.22, dengan segera saya langsung mencari tempat duduk yang masih kosong.

Tidak ada yang berbeda ketika Pastor Yohanes Sutrisno MSF beserta misdinar dan prodiakon keluar dari Sakristi, hanya saja saya perhatikan bahwa dekorasi altar agak lain karena terdapat beberapa sayuran seperti kacang panjang, jagung, terong, wortel, dan lain-lain yang ikut bertengger bersama bunga-bunga altar.

Barulah ketika Pastor Sutrisno memulai kotbahnya, tahulah saya bahwa hari itu Paroki Rawamangun tengah mempersiapkan acara untuk memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober, bertujuan untuk mengajak umat dan masyarakat sekitar menyadari kekayaan alam Indonesia.

Mengulangi Surat Gembala Hari Pangan Sedunia yang didengungkan oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo sebagai pengganti kotbah pada Minggu lalu, pada awal kotbahnya Pastor Sutrisno antara lain mengingatkan kembali kepada umat akan pentingnya memanfaatkan sumber daya pangan secara bijaksana.

Membuang-buang makanan atau ikut arus dalam budaya “gampang membuang makanan” pada dasarnya adalah mengurangi hak orang lain. Kita harus bisa mengatakan “cukup” dalam mengkonsumsi makanan. Alangkah baiknya kalau makanan berlebih yang kita miliki dapat kita bagikan juga kepada mereka yang belum beruntung. Lebih lanjut, Pastor Sutrisno juga mengundang semua umat untuk menghadiri acara yang akan digelar di Aula Betlehem pada pukul 12.00 WIB.

Usai homili, saya dikejutkan oleh colekan ibu-ibu di sebelah saya yang mengatakan, “Lihat ada tumpeng raksasa!” Oh! Serentak sayapun menoleh ke arah pintu utama, dan terlihatlah sebuah gunungan berisi hasil bumi berupa sayur mayur serta buah-buahan yang ditandu empat OMK berpakaian Pecalang Bali, didahului barisan beberapa remaja yang mengenakan beraneka pakaian tradisional seperti Jawa, Bali, Batak, Betawi, Dayak, Aceh, dan lain-lain.

Tanpa banyak kata, saat musik mengalun, menarilah para remaja tersebut menuju ke altar; mempersembahkan hasil bumi kepada Tuhan sebagai rasa syukur atas pangan yang masih boleh dinikmati.

Menurut Pastor Sutrisno, gunungan yang dibuat, dipersembahkan, diarak, dan dibagikan adalah simbol kesatuan. Beraneka ragam makanan yang disusun menjadi gunungan menyatukan orang-orang untuk datang merayakan HPS.

Tidak cukup sampai di situ, begitu Perayaan Ekaristi usai, para penari remaja tersebut kembali berbaris rapi mengiringi gunungan keluar dari Gereja. Di halaman pintu utama, mereka disambut alunan musik calung Cilacap menuju Aula Betlehem, diikuti umat yang berduyun-duyun ingin berpartisipasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here