Doa Bagi yang Dikenang

440
Umat berziarah ke makam Pastor Richardus Kardis Sandjaja di Kerkop Muntilan.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Penghormatan ini pertama-tama bukan untuk memuja arwah, atau supaya menjauhkan manusia dari godaan para arwah. Semua ini semata mengungkapkan pengharapan kita akan kehidupan kekal.

Gereja Katolik punya beragam khazanah mengenai pelayanan bagi arwah orang beriman. Misal, kekayaan liturgi pada upacara Hari Arwah Orang Beriman atau tirakatan lainnya. Kekayaan liturgi seputar hari arwah ini sarat makna. Selain itu, Gereja menggariskan, “… mohon bantuan rohani bagi mereka yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup…” (KHK Kan.1176 §2).

Ketegasan itu menunjukkan, Gereja tetap memberikan pelayanan bagi orang meninggal dan menghormatinya seperti orang hidup. Keluhuran manusia yang diciptakan sebagai citra Allah, tercermin dari seluruh pribadi, badan, jiwa, dan rohnya (1Tes 5:23). Di satu sisi, pelayanan Gereja hendak menyatakan persekutuan aktif dengan orang yang sudah meninggal. Di sisi lain, Gereja mengundang jemaat berhimpun dalam upacara tersebut supaya mengambil bagian di dalamnya dan mewartakan kehidupan abadi (bdk. KGK no.1684). Maka, upacara arwah orang beriman tak melulu menjadi penghiburan bagi mereka yang ditinggalkan. Upacara ini juga menjadi untaian kasih dan doa bagi kesejahteraan arwah yang telah dipanggil Tuhan.

Bukan Memuja
Dalam iman Kristen, kematian merupakan salah satu tahap dari peziarahan kehidupan manusia di dunia, tetapi bukan akhir dari keberadaan manusia. “Kehidupan kita diukur oleh waktu dan ini terus berubah. Kita pun bisa menjadi tua seperti ciptaan yang lain lalu kematian nampak seperti akhir yang normal… (bdk. KHKKan 1007). Dari sudut pandang iman juga, kematian adalah akhir peziarahan manusia di dunia sekaligus masa berahmat dan belas kasih yang Allah tawarkan untuk merealisasikan kehidupan di dunia.

St Theresia Kanak-Kanak Yesus pernah berkata, “Aku hendak melihat Allah, dan untuk melihat Dia, orang harus mati.” Jelas bahwa dalam kacamata iman Katolik, kematian bernilai positif. Kematian bukanlah hal mengerikan karena meniadakan segalanya. Kematian justru dilihat sebagai pintu masuk ke dalam hidup abadi.

Kematian badani adalah berakhirnya kehidupan duniawi. Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia mencapai puncak (Gaudium et Spes art.18). Namun bagi mereka yang “mati bersama Kristus”, kematian adalah keikutsertaannya bersama Kristus, supaya dapat mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya (bdk. KGK no.1006). Yesus telah mengubah kematian, karena Dia telah mengalaminya dalam ketaatan bebas pada kehendak Bapa-Nya. Dengan demikian, ketaatan-Nya itu telah mentransformasi kutukan kematian menjadi berkat dalam kebangkitan-Nya yang mulia. Inilah yang kemudian dimengerti bahwa kematian adalah belaskasih Allah pada manusia.

Berpijak padahal ini, umat Katolik menanggapi belaskasih Allah ini dengan ragam penghormatan kepada arwah kaum beriman. Tujuan utama dari penghormatan kepada arwah adalah memohon belas kasih Allah agar membersihkan jiwa orang meninggal dengan api cinta kasih dan menuntunnya ke dalam Kerajaan kehidupan. Kuasa kasih Kristus mengikat semua orang di dalam satu Tubuh-Nya itulah yang menjadikan adanya tiga status Gereja yaitu masih menggembara, yang sudah saja, dan masih dimurnihkan di Api Penyucian.

Di banyak daerah Indonesia, berkembang tradisi penghormatan kepada orang meninggal. Biasanya menjelang Peringatan Hari Arwah Orang Beriman yang dirayakan setiap tanggal 2 November. Penghormatan ini pertama-tama bukan untuk memuja arwah, atau supaya menjauhkan manusia dari godaan para arwah. Semua ini semata mengungkapkan pengharapan kita akan kehidupan kekal yang terungkap dalam cara, simbol dalam tradisi setiap daerah.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP No.44 2018, 4 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here