Liturgi : Seni & Hukum

1025
3/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Dari pengalaman memberikan penataran tentang liturgi, mulanya peserta sedikit terkejut. Mereka berharap mendapatkan petunjuk praktis dan aturan dalam merayakan liturgi. Padahal topik-topik pada awal penataran justru membicarakan Gereja menurut pandangan Konsili Vatikan II. Itu berarti peserta hendaknya diberikan cukup pemahaman berdasarkan empat konstitusi: Konstitusi tentang Liturgi Suci (SC), Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (LG), Konstitusi tentang Wahyu Ilahi (DV), dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia dewasa ini (GS) dan bahkan dokumen-dokumen Konsili lainnya.

Tanpa menomorduakan patokan-patokan pelaksanaan liturgi menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK), perlu dipahami “Kitab Hukum dianggap sebagai pelengkap ajaran yang dikemukakan oleh Konsili Vatikan II, secara khusus yang menyangkut dua konstitusi, baik yang dogmatis maupun yang pastoral” (Yohanes Paulus II. Konstitusi Apostolik Sacral Disciplinae Leges, 25/1/1983). Vatikan II berakhir 1965, sedangkan KHK dipromulgasikan Paus Yohanes Paulus II, 25 Januari 1983, dan diwajibkan berlakunya sejak hari pertama Adven 1983. Perlu waktu 18 tahun merumuskan pandangan Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam bahasa hukum.

Kita sadar bahwa KHK tentang liturgi, masalah ritus, bahkan rubrik penting sebagai konkretisasi dan opersionalisasi nilai insani dan Kristiani dari Vatikan II. “Terang Para Bangsa lah Kristus itu” (LG, 1). Cahaya Kristus yang menyinari wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada segala makhluk (lih Mrk.16:15). Kristus, “satu-satunya Pengantara, di dunia ini telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan iman, harapan dan cinta kasih, sebagai himpunan yang kelihatan” (LG, 8). Gereja didirikan sebagai ikatan sosial dan kelihatan, sekaligus rohani. Umat beriman membutuhkan norma-norma agar pelaksanaan perayaan liturgi berjalan baik dan tertib. KHK mengalihbahasakan
ajaran Konsili Vatikan II mengenai Gereja ke dalam bahasa kanonik, namun, “citra Gereja, seperti digambarkan dalam ajaran Konsili tidak dapat diterjemahkan secara sempurna ke dalam bahasa kanonik” (Sacrae Disciplinae Leges). Jelaslah, perayaan liturgi tidak semata-mata berpatokan pada rubrik atau aturan hukum liturgi (KHK, 840-848) tetapi “hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan saksama, supaya dalam kegiatan liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif, dan penuh makna” (SC, 11).

Hukum dan aturan dalam ibadat sudah berlaku lama sekali sejak Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang menjadi asal mula hukum Gereja. Nah, kalau dalam liturgi kita hanya taat secara kaku pada aturan yuridis-rubrik, kita melaksanakan liturgi sekadar sebuah upacara dan belum sebagai sebuah perayaan. Perayaan menuntut keterlibatan,
spontanitas, dan prakarsa, dan kreativitas. Artinya, merayakan liturgi sebagai Ars celebrandi, seni merayakannya. Pada hakikatnya, kesenian liturgi itu dimaksudkan untuk “dengan cara tertentu mengungkapkan keindahan Allah yang tak terperikan dalam karya manusia. Lagi pula semakin dikhususkan bagi Allah dan untuk memajukan puji syukur serta kemuliaan-Nya, karena tiada tujuannya yang lain kecuali untuk dengan buah hasilnya membantu manusia sedapat mungkin mengangkat hatinya kepada Allah” (SC 122). Jelaslah liturgi sebagai ars celebrandi membuat kita peka terhadap yang kudus. Semuanya harus dilaksanakan dalam bentuk dan perasaan seni: kata-kata dan musik, sikap tubuh dan keheningan, tata gerak, warna-warni busana liturgis, dan unsur liturgi lain.

“Hukum”, “ritus”, “rubrik” (bukan ‘rubrikisme’) penting dalam perayaan liturgi, namun belum cukup. Liturgi harus dirayakan sebagai Ars celebrandi. Bagaimanapun, “Hubungan erat antara keindahan dan liturgi hendaknya membuat kita peduli terhadap setiap karya seni yang ditata untuk melayani perayaan” (Sacramentum Caritatis no. 41). Nah, ketika
kita merayakan liturgi sebagai ars celebrandi, saat itu juga kita menjiwai hukum liturgi, ritus, dan rubrik. Liturgi adalah suatu veritatis splendor, kebenaran yang dinyatakan dalam keindahan. Kebenaran kasih Allah yang mendorong kita menyampaikan kasih itu kepada sesama saudara kita.

Pastor Jacobus Tarigan

HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here