Dua Mata Uang, Dua Tanggung Jawab

401
Rate this post

Shekel Yahudi dengan tulisan Shekel Israel Tahun Ketiga (kiri) dan Yerusalem (Kota) Suci (kanan). [dok.ist.]
Pemakaian dua jenis mata uang ini—denarius dan shekel—memungkinkan dua kelompok, Hērōdiānī, pendukung policy wangsa Raja Herodes dan Romawi, maupun kelompok Perushim, ‘Farisi’, ormas keagamaan fundamentals, bisa melaksanakan dua kewajiban, kepada Negara maupun agama, secara bersamaan.

Tetapi bagaimana makna perikop ini bila dibaca dalam konteks Indonesia yang hanya memilki satu jenis mata uang, sebagai asal usul sebuah kewajiban berwarganegara?

Karya dan pengajaran Yesus memang ditujukan untuk siapa saja, yang percaya kepada-Nya. Karakter dan arah kehadiran-Nya bersifat ‘katholikos’, yaitu ‘melalui’ (Yun. katá) ‘keseluruhan’ (Yun. hólos), yaitu Yesus Kristus Sang Hólos, ‘segala kebenaran-Nya menyebar ke seluruh ‘tanah kemanusiaan’ (lih. Yoh. 16:13).

Isi ajaran dan karya Yesus itu memang inklusif. Namun beberapa ungkapan yang dipakai mengenai Dia, dalam Perjanjian Baru, bisa bersifat eksklusif, terkait dengan bahasa dan budaya zaman tertentu. Konteks ini yang harus dipakai untuk memahami perikop Mrk. 12:13-17.

Pada perikop ini, Yesus menekankan dua hal, yaitu kepemilikan dan kewajiban. Seluruh hidup kita adalah milik Allah. “Karena segalanya adalah pemberian-Mu, dan apa yang kami berikan ini adalah kepunyaan-Mu juga”, begitu doa Daud pada 1 Taw. 29:14.

Dalam praktik kekristenan, Paulus menafsirkannya: “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Rom. 14:8).

Setiap kepemilikan ada asal-usulnya. Kepada asal-usul itulah, kewajiban setiap ciptaan. Menurut iman, asal usul kita adalah Allah yang abadi. Keabadian itu membuat keputusan dan kewajiban kita kepada Sang Pencipta, bersifat mutlak.

Menurut daging, asal usul kita adalah ayah-ibu, yang ‘dibentuk’ oleh karakter keluarga, etnis, bangsa, dan negara. Karena kefanaan mereka, maka sifat kewajiban kita kepada mereka adalah temporalis, terkait dengan waktu yang menyejarah.

Paulus menggabungkan konteks keabadian dan temporalis inidengan mengatakan: “Tiap-tiap orang harus ‘berada di bawah penyelenggaran’ pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rom. 13:1; lih. juga ay. 2-7).

Melalui Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II menyatakan: “Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah. Sedangkan penentuan sistim pemerintahan dan penunjukan para pejabat pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warganegara.” (GS, art. 74)

Ajaran-ajaran di atas itulah yang menjadi dasar kewajiban untuk taat kepada pemerintah, meskipun sifatnya temporalis, ‘terbatas oleh waktu dan tempat’. Karakter temporalis inilah, yang memberi ruang untuk berbagai alternatif bentuk kewajiban dan ketaatan kepada negara. Kewajiban yang menyangkut pilihan ini, tidak pernah menjadi mutlak, karena manusia bukan malaikat, yang dunianya bersifat final (St. Thomas Aquinas).

Maka, pilihan kewajiban yang bersifat temporalis itu selalu mengandung unsur “minus malum’ atau ‘minus bonum’.  Kendati “minus-minus” itu ada dalam realitas setiap keputusan, namun Yohanes—yang cenderung ‘hitam-putih’—tetap menekankan pada jemaatnya, agar “alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!” (Why.3:15).

Sedangkan pada mereka yang “suam-suam kuku (Yun. chliaros: setengah hati), dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan (Yun. eméō: menolak dan membuang) engkau dari mulut-Ku” (Why. 3:16).

Nah, ketika 17 April mendatang, kita, sebagai warga negara, datang ke TPS untuk memilih pemimpin negara, dan para wakil kita di lembaga legislatif, sebaiknya lebih dahulu diam sejenak merenungkan Rom. 13:1-7 dan Why. 3:15-16.

Mari kita ingat pula kata-kata Mgr. A. Soegijapranata (1896-1963): “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah ke-empat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati” (G. Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri (2005), hlm. 82).

Rasa atau kepekaan hati nurani itulah yang menjadi dasar kita untuk memilih bentuk-bentuk kehidupan ‘duniawi’ kita.

 

Henricus Witdarmono (M.A. Rel. Stud. Katholieke Universiteit te Leuven, Belgia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here