Ketika Pak Haji Kehilangan Kata-kata

187
Peserta STQH menikmati hidangan persaudaraan di halaman Gereja Paroki Hati Maria Tak Bernoda Makale, Toraja.
[Dok. Pastor Albert Arina]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – STQH dihelat di aula dan halaman paroki. Inilah salah satu tanda umat Katolik makin menjadi komunitas inklusif di Toraja.

Haji Muhammad hampir kehilangan kata-kata. Matanya berkaca-kaca. Di siang yang belum begitu terik, didengarnya lirih ayat-ayat Suci Al-Quran. Namun, suara itu tidak berasal dari sebuah masjid, tempat di mana ia biasa mendengar lantunan semacam itu. Dadanya semakin bergetar, sebab suara itu justru berasal dari halaman Gereja Hati Maria Tak Bernoda, Paroki Makale, Toraja, Sulawesi Selatan.

Rasanya, Haji Muhammad tak menyangka, bahwa di halaman dan aula gereja itu sedang dihelat Seleksi Tilawatil Quran dan Hadits (STQH) Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan yang tak tergambarkan dengan sejuta kata. “Respek umat Katolik menyambut kami sangat luar biasa. Makanan dan minuman berlimpah. Pelayanan silih berganti. Tidak kenal tua dan muda,” ujarnya.

Pertama di Gereja
STQH Sulawesi Selatan tahun 2019 digelar 23-27 April 2019. Selama puluhan tahun digelar, baru kali ini STQH Sulawesi Selatan diadakan di kompleks Gereja Katolik. Untuk itu, Haji Muhammad pun tak kuasa menyembunyikan rasa harunya. Ia sungguh terkesan dengan sambutan hangat yang ia terima selama berlangsungnya gelaran itu.

“Event ini sangat bersejarah selama tujuh puluh tahun penyelenggaraan STQH. Baru kali inilah kami merasakan sesuatu yang teramat sulit diungkapkan dengan kata-kata,” puji Haji Muhammad berkali-kali. Selama kegiatan STQH, semua terlihat membaur dan saling melayani. Masyarakat bahu-membahu menyukseskan acara itu.

Hal yang sama diungkapkan, Pastor Albert Arina. Meski sempat ragu apakah Gereja Katolik mampu terlibat, namun pada akhirnya keterlibatan ini justru menuai pujian dari banyak pihak. Sama seperti yang dirasakan Haji Muhammad, Kepala Paroki Makale ini pun terharu atas kepercayaan yang diberikan kepada umat di parokinya. “Awalnya jantung saya berdebar-debar. Apakah kami (Gereja Katolik, Red.) akan mampu menjadi tuan rumah yang baik bagi penyelenggaraan acara keagamaan yang bukan acara Gereja Katolik.

Namun, apa yang kami saksikan dan alami, sungguh di luar perkiraan kami. Bahkan ada Guru Besar dari Makassar yang memberikan pujian kepada kami ketika menyampaikan sambutan. Saya kira itu bukan basa-basi,” ujar Pastor Albert dalam percakapan di Lumbung Jokowi di pelataran Gereja Makale akhir Mei 2019 lalu.

Venue Toleransi
Haji Muhammad dan Pastor Albert secara terpisah menceritakan awal mula mengapa STQH ini diselenggarakan bukan di sebuah masjid atau venue Islam. Alasan praktis memang menjadi latar belakang awal dipilihnya Gereja Paroki Makale. Letak gereja yang berada di tengah di antara masjid dan gereja Protestan menjadi alasan kenapa dipilih tempat ini.

Dengan posisi semacam itu, Gereja Paroki Makale mudah diakses. Di samping itu, kompleks gereja yang cukup luas akan mampu mengakomodasi banyaknya peserta yang datang dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan. “Letak Gereja Katolik Makale yang sentral, dekat dengan gereja Protestan dan masjid, akses jalan baik, dan fasilitas pendukung memenuhi semua kriteria yang kami butuhkan,” ujar Muhammad.

Haji Muhammad pun menceritakan keinginan ini kepada pihak paroki. Gayung bersambut, pastor paroki dan umat menyambut baik rencana ini. “Saat kami membicarakan hal ini, kami meperoleh sambutan yang sangat baik dari pastor dan umat Katolik Makale,” tambah Haji Muhammad yang sehari-hari bekerja sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Toraja.

“Kami juga sempat waswas karena kami akan menyambut sedemikian banyak Guru Besar Islam dan ustad-ustad dari Makassar dan seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan. Namun, kami percaya, hubungan yang sangat baik selama sekian ratus tahun dibangun dan diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur kami, semua berlangsung dengan damai, lancar, dan hasil menggembirakan,” papar Pastor Albert yang didapuk memberi sambutan dalam acara pembukaan STQH tersebut sebagai “tuan rumah”.

“Saat memberi sambutan itu saya pergunakan juga untuk menyampaikan harapan umat Katolik Kevikepan Toraja khususnya dan Keuskupan Agung Makassar umumnya. Mari kita terus merawat kerukunan dan persaudaraan sejati yang telah kita terima dari leluhur kita dan juga diajarkan agama kita masing-masing,” tutur Pastor Albert lebih jauh.

Kevikepan Toraja kini memang tengah menggeliat. Seolah Gereja sedang “memetik” buah matang perjuangan selama 80 tahun lebih menabur biji sesawi di Tana Toraja yang dijuluki sebagai Bumi Lakipadada. Masyarakat Toraja dikenal sebagai suku bangsa yang selalu mengutamakan kerukunan, harmoni, dan haus akan kedamaian.

“Melalui STQH yang diadakan di halaman dan aula Gerja Paroki Makale ini, kami ingin menunjukkan kepada siapa saja, bahwa Toraja adalah salah satu cermin kerukunan antarumat beragama alias laboratorium kerukunan antarwarga yang beragam di Indonesia. Jangan sampai kerukunan dan kedamaian ini tergerus oleh virus-virus globalisasi atau kelompok-kelompok tertentu yang atas nama kebebasan berpendapat malah menyebarkan ujaran kebencian, radikalisme, dan intoleransi,” himbau Haji Muhammad.

Pastor Albert, dengan terus terang mengakui, Gereja Katolik perlu terus menerus berproses. “Kearifan lokal masyarakat Toraja merupakan benang merah yang mengikat kami semua dan diperkuat oleh ajaran Gereja, mengajak kita terbuka kepada orang-orang yang berkeyakinan lain. Hal itu juga harapan Konsili Vatikan II dan Paus Fransiskus,” tutur kelahiran Parepare tahun 1968 ini.

Berakar dalam Budaya
Tahun 2018, tepatnya pada tanggal 29 Mei, Kevikepan Toraja merayakan 80 tahun pembaptisan empat orang pertama orang Toraja di Tampo, Makale. Pada tanggal 16 Maret 2013, umat Kristiani Toraja juga merayakan 100 tahun Injil masuk Tana Toraja. Dua peristiwa yang tidak secara kebetulan terjadi. Toraja yang kini menjadi dua kabupaten: Toraja dan Toraja Utara, menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan iman Kristiani. Gereja Katolik termasuk di dalamnya.

Pertumbuhan Gereja yang menggembirakan di Tana Toraja tidak terlepas dari ‘’strategi’’ pewartaan (katekese) para misionaris awal ketika datang ke Tana Toraja. Keuskupan Agung Makassar (KAMS) kini bertumpu kepada Kevikepan Toraja. Sebanyak 40, 35% umat KAMS ada di Kevikepan Toraja yang terdiri dari 12 paroki.

‘’Strategi” tersebut tidak lain tidak bukan adalah membuat Gereja sungguh-sungguh mengakar dalam budaya Toraja. Dalam biografinya yang duluncurkan Maret 2019, Uskup Agung Makassar, Mgr John Luku Ada’ mengakui hal itu. “Banyak unsur-unsur budaya asli Toraja yang diambil alih dalam kehidupan Gereja. Antara lain, ritual kematian (rambu solo’), ritual yag menyangkut kehidupan (rambu tuka’) seperti pemberkatan rumah tongkonan dan syukuran panen padi,” tulis Mgr John, sapaan akrabnya.

Dalam bidang arsitektur, kata Mgr John, banyak gereja yang mengambilalih arsitektur tongkonan dan ukir-ukiran yang menggambarkan kebudayaan Toraja. Tabernakel pun berbentuk lumbung asli Toraja.

Komunitas basis, menurut Ketua Komisi Liturgi KWI 1997-2003, yang merupakan cara hidup menggeraja di Indonesia telah lama dipraktikkan umat Katolik di Toraja dengan mangambilalih bentuk organisasi sosial basis asli Toraja yang disebut saroan.

“Apabila proses asimilasi yang dimaknai sebagai Torajanisasi kehidupan iman Kristiani berlangsung dengan baik, lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi sebagai norma kehidupan yang memberi orientasi baru terhadap kebudayaan Toraja. Itulah yang disebut tahap transformasi. Pada tahap ini akan terbentuk suatu komunitas Katolik baru khas Toraja,” urai Mgr John.

Menurut Ketua Komisi Teologi KWI 2003-2009 ini, dalam komunitas khas Toraja, iman Katolik harus berfungsi sebagai norma kehidupan. “Iman Katolik yang dijadikan ukuran. Misalnya, korban harta benda seperti hewan pada upacara kematian Katolik tidak boleh lagi dianggap sebagai bekal (kinallo lalan) ke akhirat seperti dalam Aluk to Dolo. Bekal orang Katolik ke akhirat adalah tubuh Kristus (Ekaristi). Keselamatan di akhirat tidak ditentukan oleh pelaksanaan ritual kematian (aluk) melainkan oleh Kristus Sang Penyelamat Satu-satunya,” pungkas putera pertama Toraja yang dilantik menjadi Uskup Keskupan Agung Makassar pada 19 Maret 1995.

Hasiholan Siagian

HIDUP NO.27 2019, 7 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here