Migran dan Perantau, Subjek Evangelisasi

746
Gubernur NTT Victor Laiskodat (kedua dari kiri) dan Mgr Dominikus Saku (kedua dari kanan) dalam pemaparan materi soal peran pemerintah dan Gereja menanggapi isu migran dan perantau.
[Dok.Komsos Atambua]
1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Gereja perlu menaruh kepedulian yang besar terhadap migran perantau. Tidak semata seruan pastoral tapi juga mampu memberikan pendampingan yang nyata. Karena mereka adalah subjek evangelisasi.

Pertemuan Pastoral (Perpas) para Uskup Regio Nusa Tenggara (Nusra) berlangsung di Keuskupan Atambua, Senin-Sabtu, 22-27/07. Pertemuan ini dihadiri para uskup dan utusan dari setiap Keuskupan yakni Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Atambua, Keuskupan Weetabula, Keuskupan Larantuka, Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Maumere, Keuskupan Dempasar, dan Keuskupan Ruteng.

Masalah aktual yang dibahas Perpas ini adalah migran dan perantau. Kegiatan tiga tahunan ini tidak semata mendengar pandangan dari para pengamat dan pegiat masalah sosial, namun dihadirkan testimoni dari korban human trafficking yang bekerja di Malaysia. Ada ungkapan dukacita yang dialami. Di sisi lain ternyata terlihat kesusksesan yang didapat dari cara pengelolaan keuangan yang benar.

Realitas Korban
Kepala Pusat Penelitian (Puslit) Candraditya Maumere, Pastor Huber Thomas Hasuli SVD dan tim saat melakukan kajian mendalam tentang masalah migran perantau yang terjadi di NTT menemukan, akhir-akhir ini Sumatera Timur menjadi tujuan migrasi orang NTT. Selain itu daerah tujuan lain adalah Bali dan NTB.

Pastor Huber menambahkan, saat ini angka migrasi di Malaysia mengalami perubahan statistisk setiap waktu. Berdasarkan penelitian, jumlah pekerja migran terbesar berasal dari Malaka dan Belu. Laju migrasi di tahun 70-an jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan dalam delapan tahun terakhir, jumlah perantau melonjak sangat signifikan. Jumlah perantau perempuan lebih sedikit dari laki-laki dengan umur di bawah 17 tahun sangat tinggi. Rata-rata orang merantau pada umur belasan hingga 30-an, sekitar 67 persen.

Hal ini membuat keterlibatan Gereja dan pemerintah harus tegas pada dua hal yakni advokasi dan memberdayakan masyarakat kita untuk berpikir kritis. Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat berpesan, agar para korban, setelah mendapat pendampingan yang maksimal, bisa bekerja di daerah sendiri.” Tidak harus pergi jauh karena tanah kita kaya dan hasilnya melimpah.”

Dalam Perpas ini disadari bahwa masalah migran harus melibatkan Gereja. Banyak kasus yang terjadi di daerah perantauan, korban human trafficking, masalah ekonomi keluarga yang sangat memberatkan bahkan tidak tuntas hingga kini. Gereja bersama dengan pemerintah perlu mengelolah potensi-potensi yang ada. “Kolaborasi itu harus nampak. Gereja terlibat dalam persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelolah kekayaan yang ada dan tidak harus pergi ke tempat lain,” ajak Viktor.

Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku dengan tegas mempertanyakan bagaimana upaya pemerintah bernegosiasi dengan Malaysia untuk melegalkan pemukiman dan pemakaman Indonesia di Malaysia. Mimpi penting tapi belum direalisasikan ke bawah. Secara spontan, Laiskodat memberi jawaban, bahwa upaya ini tidak mudah karena dialog belum dibangun antar kedua negara, Indonesia dan Malaysia.

Masalah yang sama ditanggapi Pastor Martin Chen, realitas migran perantau ini seperti gulungan benang yang terbelit. Pembahasan tentang migran perantau yang didiskusikan dalam pertemuan ini masih sangat bias. Kita juga sudah berbicara banyak tentang sebab-sebab migrasi. Pengenalan tentang sebab migrasi ini sangat mendasar sehingga solusinya juga tepat. Banyak aktor publik yang terlibat: diri sendiri, keluarga, negara dalam hal ini institusi-institusi resmi. “Tindakan Pastoral kita saat ini juga bermacam-macam, ada yang bersifat preventif dan kuratif,” katanya.

Pastor Chen pun mengajak semua peserta berefleksi tentang sejarah hidup manusia sebagai belas kasih Allah terhadap migran. Migrasi pertama manusia dalam kisah perjanjian lama adalah migrasi manusia dari taman Eden. Migrasi biblis dibentuk oleh migrasi purba ini. Adanya kepedulian Allah terhadap Migran. Menarik bahwa dalam banyak teks perjanjian lama, Allah ditampilkan sebagai pelindung orang asing. Kisah Musa dan bangsa Israel dalam perbudakan di Mesir.

Dalam Perpas XI ini para uskup dan pengamat melihat ada sisi positif dari kesaksian setiap keuskupan tentang migran perantau. Ada pengalaman sukacita dan dukacita. Salah satu poin penting yang ditekankan dalam rekomendasi akhir adalah migran hendaknya menjadi subjek pastoral. Migran tak boleh sekadar menjadi objek pastoral belaka, tapi subjek evangelisasi dalam Gereja.

Pastor Ino Nahak Berek (Atambua)

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here