Pertobatan di Usia Senja

245
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Malam itu Yustina berada di taman. Ia duduk di sebuah kursi tua yang mulai lapuk, memandangi bulan, menyaksikan awan gelap dan merasakan kesunyian malam. Ia tak mempedulikan angin malam yang kejam mengilukan tulangnya, mengerutkan kriput kulitnya dan kadangkala menyibak rambutnya yang putih seluruhnya. Di bawah sorot cahaya remang lampu 18 watt, terlihat tetes peluh matanya mengucur dan bibirnya bergetar.

Dalam usia senjanya, saat gerbang kematian seakan semakin mendekat, ada dosa masa lalu yang membuatnya khawatir. Lima puluh lima tahun yang lalu, ia membuang putranya; ya, ia membuang anak kandungnya di sebuah panti asuhan. Saat itu ia masih remaja menginjak dewasa, saat malapetaka itu terjadi. Saat ia tak sadar terperangkap dalam pergaulan bebas, seks bebas. Akibatnya ia hamil. Ia menumbuhkan benih kehidupan yang belum ia inginkan. Akhirnya saat bayi yang tak pernah ia inginkan itu lahir, ia “membuang” anaknya secara halus dengan berpura-pura menitipkannya di sebuah panti asuhan.

Setelah ia “membuang” bayinya, ia menempuh jalan hidup baru dengan pergi mengadu nasib ke Malaysia sebagai TKW. Dan di situlah kemudian ia mendapatkan suami seorang pengusaha di negeri jiran itu. Kehidupannya jauh lebih baik, dan dua tahun kemudian setelah pernikahannya ia melahirkan seorang anak perempuan. Dalam keadaan itulah ia mulai melupakan kenangan pahitnya serta bayi laki-laki yang telah ia “buang”.

Tetapi di usia senjanya, kenangan akan bayi itu muncul kembali dan membuatnya selalu merasa berdosa. Seakan ia mendengar kembali jerit tangis saat ia meninggalkan bayinya di gendongan Suster Margaretha. Mungkin kini bayi yang ia beri nama ‘Gani Minora’ itu sudah menjadi seorang bapak yang kuat dengan anak-anaknya yang sudah menjadi dewasa. Atau mungkin Gani telah mempunyai seorang cucu. Dan Yustina merasa bahwa ia benar-benar sudah tua bila hal itu terjadi.

***

Berpuluh-puluh tahun Yustina tak pernah menginjak tanah Indonesia, tanah kelahirannya. Ia merasakan udara sejuk yang menyegarkan. Ia melihat keindahan alam yang mencerahkan matanya. Namun di balik keindahan itu Yustina juga merasakan pahitnya alam Indonesia. Tanah yang diinjak oleh orang-orang yang lupa akan moral, lupa akan nurani. Bangsa yang dipandu oleh tiang-tiang pemerintahan yang rapuh. Bangsa yang berselimutkan kebohongan, intoleransi, radikalisme, korupsi, hukum yang bisa dibeli.

Sore hari sebelum ke taman itu, Yustina sempat menyimak dari balik kaca rumah, hujan mengguyur segerombolan bunga mawar.

“Oh betapa dinginnya mawar-mawar itu, mungkin sama yang dirasakan oleh Gani Minora saat tak ada ibu yang menggendongnya, tak ada ibu yang memberikan air susu kepadanya.”

Titik-titik air keluar dari matanya. Ia seakan merasakan penyesalan yang tiada guna, karena dosa tetaplah dosa baginya.

Dari belakang ada tangan yang merangkul tubuhnya, memberikan kehangatan. Membisikkan kata lembut di telingannya, “Adakah yang mama risaukan, apakah mama masih berduka karena kepergian papa?”

Itulah suara putrinya. Anak yang penuh perhatian kepada Yustina.

“Tidak sayang, mama tidak sedang menyesali kepergian papamu. Mama hanya berusaha menikmati gemuruh hujan yang tak kunjung reda.”

Yustina berusaha tak membicarakan masa lalunya yang keji, tak mungkin dapat ia ceritakan kepada siapa pun. Ia menutup dirinya, menguncinya dengan duka dan penyesalan.

Meski hari telah malam hujan belum juga reda. Meja di ruang tamu telah dikelilingi oleh keluarga Ambarwati, sang adik, Yustina dan putrinya. Kebetulan malam itu ada kunjungan Pastor Sebas. Pastor dengan tubuhnya yang tegap dan sinar kebijaksanaan yang bersarang di wajahnya itu memang sering melakukan pendekatan dengan umatnya, salah satunya melalui kunjungan ke keluarga-keluarga. Dalam kunjungannya Pastor Sebas mencoba menggali keluh kesah kehidupan dalam keluarga dan memberi nasihat spiritual.

Sungguh hangat suasana dalam ruangan pertemuan dengan Pastor Sebas. Canda tawa sering mengalun, namun ada juga saat syahdu dan penuh keseriusan. Yustina terkesan dengan nasihat spiritual yang terlontar dari bibir Pastor Sebas. Meski bukan ditujukan langsung kepada dirinya tetapi ia mulai menemukan kepada siapa ia harus menceritakan dosa berpuluh-puluh tahun silam, yaitu dosa karena “membuang” anaknya.

Pelan-pelan ia mendekati pastor itu, kemudian membisikkan sesuatu. Sang pastor mengangguk-anguk disertai sorot wajah yang serius.

Sorot lampu 18 watt terkesan remang di taman itu, udaranya yang dingin pasti menyiksa kulit Yustina juga Pastor Sebas. Di situlah Yustina menghadap seorang pribadi yang akan mendengarkan kebusukannya.

“Pastor..”

Yustina mulai membuka mulutnya, “Lima puluh lima tahun yang lalu….”

Diceritakan dosanya kepada Pastor Sebas yang beku dalam kebisuan. Suara Yustina bergetar, matanya pun tak lagi mampu membendung air matanya. Belum selesai bercerita ia telah tertunduk di pangkuan Pastor Sebas bagaikan ranting kering yang jatuh. Yustina mencerucuk kata-kata “ampun”. Tangan kuat pastor menegakkan tubuh Yustina kembali. Di luar dugaan mata pastor menjadi merah sembab.

“Ibu Yustina, di dunia ini tak ada dosa yang tak bisa diampuni karena Tuhan Maha Pengampun,” begitulah kata bijak yang dikeluarkan dari mulut pastor.

Mata Pastor Sebas menatap mata senja Yustina. Keduanya saling menatap. Pastor Sebas kemudian menceritakan betapa menderitanya kehidupan masa kecilnya. Ia hidup di panti asuhan dengan benteng-benteng yang tak bisa mengenalkan rasa cinta dan kasih sayang orangtua. Bahkan ia juga tak pernah tahu siapa orang yang telah melahirkannya dan siapa papanya. Yang ia tahu dirinya hanyalah anak yang dititipkan dan tak pernah diambil kembali oleh ibunya. Yang ia tahu dirinya adalah kesunyian yang merindukan perkenalan dengan ibu dan keluarganya.

“Ibu Yustina, betapa kecewanya saya dengan kehidupan saya dulu. Tuhan sering saya marahi, saya berontak kepada Dia, mengapa Ia menciptakan saya tanpa tanggung jawab. Mengapa saya ditelantarkan begitu saja. Tapi Ibu Yustina, semua perasaan itu bisa sembuh kini, saat saya telah mengampuni dosa ibu yang telah ‘membuang’ saya; saat saya menyadari bahwa saya tak akan pernah melihat papa saya. Bahwa saya tak akan pernah bergurau dengan saudara saya. Karena memang saya diciptakan sendiri.”

Sorot sinar cahaya lampu tak lagi bisa menutupi mata sembab Pastor Sebas.

“Seperti halnya Ibu Yustina yang ingin bertemu dengan putranya untuk meminta maaf; saya pun demikian, betapa inginnya saya memanggil seseorang dengan sebutan mama. Saya ingin tertidur di pangkuannya.”

Pastor Sebas melepaskan tangannya yang ia tumpangkan di bahu Yustina. Ia segera mengusap air matanya.

“Ibu Yustina, saya memang tak pernah melihat mama saya, namun setiap malam saya selalu berdoa untuk mama yang telah ‘membuang’ saya, karena saya tahu namanya. Yustina Ciptaning Permatasari.”

Terkejutlah Yustina begitu mendengar nama Yustina Ciptaning Permatasari disebutkan oleh Pastor Sebas.

“Pastor, siapa nama mama Anda?” Tanya Yustina.

“Yustina Ciptaning Permatasari.”

Meledaklah tangis Yustina. Meledak bagai guntur di tengah kesunyian malam itu. Yustina Ciptaning Permatasari itulah nama lengkap Yustina.

“Apakah namamu Gani Minora?” Tanya Yustina kepada Pastor.

“Ya, tepatnya Sebastianus Gani Minora,” jawab pastor dengan sedikit kebingungan begitu melihat Yustina bertingkah seperti orang kesetanan.

Dengan suara jeritan yang melengking Yustina berkata, “Nak, kaulah anakku, akulah ibumu; Yustina Ciptaning Permatasari adalah namaku, Nak!”

Mata Pastor Sebas terbelalak, tubuhnya bergetar. “Mama…aku telah melepaskan engkau dari dosa-dosamu…”

***

Timo Teweng

HIDUP NO.29 2019, 21 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here