Gereja di Tengah Krisis

259
4/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia gelap mata berarti tidak dapat berpikir terang karena sangat mengamuk. Beberapa kasus yang akhir-akhir ini terjadi rasanya menggambarkan hal ini: seorang pemuda membunuh sebuah keluarga gara-gara sering dimarahi; seorang pemandu lagu karaoke dibunuh karena masalah tips; orang-orang yang dengan mudah menyalahkan atas dasar perbedaan ideologi atau pilihan politik; banyak koruptor yang tertangkap tangan oleh KPK. Kita masih yakin ada kasus lain yang belum terungkap. Saya merefleksikan orang-orang ini sebagai pribadi-pribadi yang gelap mata, tidak mampu melihat kenyataan dengan terang. Mereka-mereka ini memiliki ruang berpikir yang sempit. Yang menjadi ruang refleksi dan perhatian mereka hanyalah diri mereka sendiri. Sayangnya tak sedikit dari mereka yang beragama Katolik.

Kejadian-kejadian ini menunjukkan kemunduran masyarakat kita. Di tengah usaha memajukan pendidikan dan hidup bersama, mereka kehilangan kemampuan menguasai dirinya sendiri: sedikit membuat masalah harus dibunuh, sedikit berbeda bisa dibasmi, ada uang berarti harus diambil entah halal entah tidak. Kita sedang mengalami krisis refleksi, dan krisis moralitas. Singkatnya krisis kesadaran pentingnya memasukkan orang lain di dalam pertimbangan hidup kita.

Mengulik Sejarah
Dalam sejarah pengetahuan, kita mengenal masa munculnya filsafat Yunani. Orang mulai berpikir tentang apa yang menyatukan dunia, lalu muncul apa yang disebut sebagai etika dan tanggung moral kepada yang lain. Dalam filsafat dipertanyakan tentang hakekat hidup bersama. Socrates mengatakan, “Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tak pantas dijalani.” Orang tidak berjalan begitu saja tetapi berjuang untuk memaknai kehidupannya bersama. Hukum rimba yang mengatakan tentang yang kuat sebagai yang menang mulai luntur oleh kesadaran akan kebersamaan.

Dalam sejarah munculnya agama-agama, agama membantu orang untuk menghindarkan diri dari kekacauan. Hadirnya agama Yahudi yang juga menjadi dasar bagi orang-orang Kristen melahirkan dasar-dasar moralyang tercermin di dalam sepuluh perintah Allah (Keluaran 20: 2-17; Ulangan 5: 6-21). Hadirnya agama Kristen memunculkan penghormatan kepada semua orang terutama yang lemah dan terpinggirkan seperti diajarakan oleh Yesus. Demikianlah agama mengajarkan orang untuk peduli kepada sesamanya dan tidak hanya fokus dengan diri sendiri.

Di tengah semua krisis yang sedang terjadi, maka kita perlu mempertanyakan peran agama. Agama menawarkan pencerahan, menawarkan pembebasan dari apa yang jahil, menawarkan cinta kasih kepada sesama tetapi apa artinya semua itu kalau hanya berhenti di bibir saja. Ada pertanyaan besar tentang bagaimana agama- agama membantu pengikutnya agar bisa berpikir lebih mendalam, menemukan jalan petunjuk, menemui pencerahan dan merasakan pentingnya mencintai sesama sebagai bagian dari kehidupannya.

Mungkin peristiwa-peristiwa itu hanya kecil secara jumlah, tetapi ini bisa menjadi benih dari kekacauan yang akan datang saat orang semakin tidak peduli kepada sesama. Kita kembali mundur ke zaman rimba saat orang dikuasai oleh keinginan menjadi pemenang saja; saat orang-orang yang kuat dianggap sebagai yang paling menang. Dalam hal ini, kita tidak mengenal apa artinya berkorban untuk sesama, apa artinya bersedekah untuk yang berkekurangan. Padahal, itulah sumbangan penting yang ditawarkan oleh agama kepada masyarakat yaitu menyiapkan pribadi-pribadi yang kuat dan bisa berkreasi.

Kita mendambakan agama yang mampu membuka mata orang sehingga orang tidak mudah gelap mata. Orang perlu dibantu untuk memiliki sarana-sarana berefleksi dan mengolah emosi. Tepat di sinilah panggilan Gereja sebagai salah satu pilar hidup bermasyarakat. Gereja dan institusi-institusi keagamaan tidak bisa lari dari tanggung jawabnya membekali para pengikutnya dengan berbagai sarana refleksi diri.

Memang benar kita bisa menyanggah dengan mengatakan bahwa tantangan di luar sana semakin besar dan godaan-godaan untuk berbuat salah juga semakin mencuat, tetapi bukankah itu realitas yang harus dihadapi Gereja dan berbagai institusi keagamaan. Di balik peristiwa-peristiwa tersebut, terbentang pertanyaan, “Mengapa ada jarak antara ajaran agama dengan buah yang dihasilkan oleh para pengikutnya?”

Martinus Joko Lelono

HIDUP NO.29 2019, 21 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here