Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo : Hadiah Toleransi Vatikan untuk Indonesia

760
Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Di tengah berbagai isu, Vatikan memberi hadiah kepada Gereja Katolik dan Bangsa Indonesia. Menjadi kardinal bukan soal kedudukan tetapi soal pelayanan.

‘Hadiah’ itu adalah diangkatnya Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo menjadi kardinal oleh Paus Fansiskus. Paus mengumumkannya hari Minggu, 1/9/2019. Untuk memberikan keterangan yang lengkap kepada publik di tanah air, Keuskupan Agung Jakarta menggelar Konferensi Pers hari Kamis, 5/9/2019 di Gedung Karya Partoral, yang dihadiri awak media, termasuk Majalah HIDUP. Pada kesempatan ini, Kardinal Suharyo menyampaikan penjelasan lengkap terkait dengan pengangkatannya sebagai kardinal ketiga untuk Indonesia, dilanjutkan dengan wawancara eksklusif bagi setiap media. Berikut ini petikannya :

Bagaimana proses keterpilihan Uskup sebagai kardinal?

Saya tahu penunjukkan saya sebagai kardinal lebih lambat dari umat. Waktu itu handphone saya ramai sekali, banyak yang menelepon tetapi saya tidak angkat karena tidak tahu nomornya. Lalu saya diteleponin Nunsio Mgr Piero Pioppo dan mengucapkan selamat atas penunjukan ini. Saya kaget karena tanpa pemberitahuan apapun, tidak seperti waktu ditunjuk sebagai uskup yang lewat proses panjang. Tetapi itulah cara Vatikan bekerja, dan saya melihat ini sebagai karya Roh Kudus.

Melihat komposisi dari para kardinal baru, apakah ada maksud tertentu dari Vatikan?

Tahun ini ada 13 kardinal dengan pembagian sesuai umur tiga di antara berusia lebih dari 80 tahun, dan 10 di bawah umur 70 tahun. Artinya Paus itu sangat menghargai pribadi manusia. Paus membaca suatu pesan yang melampui umur. Pribadi manusia dihargai karena perannya dalam mengembangkan Gereja. Dari 13 kardinal itu, tiga adalah pejabat Vatikan, dua orang dari Eropa yaitu Luxemburg dan Italia. Dua orang lagi dari Amerika Latin yaitu Kuba dan Guatemala. Dua orang ini dari negara yang tidak besar dan penuh dengan ragam isu sosialnya. Sementara dari Afrika yaitu Republik Demokratik Kongo dan Maroko, dua daerah yang isu rasisme serta panasnya suhu politik, agama dan budaya. Sementara dari Asia saya sendiri. Jadi bisa ditarik kesimpulan, ada pesan-pesan tertentu dari pemilihan ini.

Berarti pesan-pesan untuk Indonesia agar bersama pemerintah mengatasi isu intoleransi?

Saya tidak tahu persis pikiran Paus memilih saya. Tetapi secara umum saya katakan kendati segala macam tantangan dan kesulitan yang Indonesia hadapi, Paus sangat menghargai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanda secara nyata bisa dilihat secara politis misal, tahun 1946, Kedutaan Besar Vatikan sudah ada di Indonesia. Sebaliknya Kedutaan Besar Indonesia di Italia ada dua yaitu di Italia sendiri dan Vatikan. Hal ini menunjukkan suatu yang istimewa. Dari pihak saya, bisa dikatakan ini tugas saya dalam membantu pemerintah.

Kalau begitu, sejauh mana promosi keberagaman Indonesia di Gereja internasional?

Dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional, saya selalu mengatakan Indonesia itu aman-aman saja. Saya meminta mereka untuk jangan terlalu percaya kepada berita sepihak dari media massa. Saya mengatakan untuk memahami Indonesia, silakan datang dan mengalaminya. Tentu ada masalah sebagai suatu bangsa, tetapi masalah-masalah ini jangan sampai mengesampingkan nilai-nilai kebaikan yang selama ini hidup. Hal ini bisa dilihat dalam kunjungan para Uskup Oseania ke Papua, 2016 lalu. Mereka terkaget-kaget karena selama ini mereka mendengar bahwa Papua itu wilayah yang tidak aman. Tetapi ketika perjumpaan dengan umat itu, pandangan mereka berubah. Mereka melihat Gereja Indonesia itu Gereja yang terus memajukan umatnya. Tidaka da diktator, yang ada asa demokrasi berdasarkan Pancasila.

Soal Papua, Bapak Kardinal akan menghadapi isu rasisme. Bagaimana Gereja membangun dialog?

Soal kasus Papua, dalam menyelesaikan masalah Gereja Katolik selalu berpegang pada prinsip dialog damai. Gereja percaya bahwa hanya lewat jalan ini, semua orang bisa saling memahami. Saya selalu mengatakan untuk mengetahui kasus ini secara komprehensif maka silakan mengetahui akar dan budaya hidup di sana. Banyak orang memberi komentar tentang Papua tetapi belum pernah sampai di sana. Realitas Papua itu sangat kompleks, tidak dapat diselesaikan jangka pendek. Tetapi saat ini Gereja lokal di Papua terus menggalakan dialog dengan sejumlah tokoh dan masyarakat.

Apa artinya menjadi kardinal di tengah mayoritas Islam?

Saya tidak memandang kehormatan ini untuk diri saya. Ini bukan sebuah kedudukan, tetapi wujud pelayanan. Gereja Katolik sangat menghargai perbedaan. Contohnya ketika Sekretaris Vatikan Mgr Pietro Parolin datang di Indonesia, dia diizinkan untuk berkunjung dan menabuk beduk di Masjid Istiqlal sebagai bentuk toleransi. Begitu sebaliknya ketika kepala negara dari Timur Tengah atau negara Islam berkunjung ke Istiqlal, pasti menyempatkan diri ke Gereja Katedral. Ketika kunjungan Ad Limina Apostolorum para uskup dan saat bertemu Paus, ada perbicangan agar Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Paus dan Imam Besar Al Azhar bisa dipraktikkan di Indonesia. Dan pada November 2019 nanti dalam studi bersama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), kami akan membahasnya. Jadi menjadi kardinal itu bukan lagi fokus soal isu mayoritas dan minoritas tetapi bagaimana usaha menyatukan kita yang berbeda.

Dalam penggembalaan nanti, spiritualitas apa yang akan dikembangkan?

Saya selalu terkagum-kagum dengan Dasar Negara kita, Pancasila. Masyarakat internasional juga sangat menghargai Pancasila. Saya tetap memandang Pancasila ini menjadi prioritas saat ini yang harus menjadi panutan dalam setiap karya pastoral. Sejak empat lima tahun lalu ketika isu intoleransi, rasisme, hoax, dan sebagainya muncul, saya selalu mendorong Gereja-gereja lokal khususnya KAJ untuk mengambil sikap cinta tanah air. Spiritualitas cinta tanah air ini yang kemudian dituangkan dalam Arah Dasar Pastoral KAJ, “Mengamalkan Pancasila.” Saya ingin Pancasila dapat menginspirasi iman umat Katolik untuk mengembangkan rasa cinta tanah air. Ini warisan yang amat berharga bagi bangsa dari para perintis. Maka arah perhatian saya tentu tidak jauh-jauh dari masalah ini.

Melihat peran Bapak Kardinal, orang bertanya dari mana datangnya jiwa nasionalis itu?

Dalam beberapa kali pertemuan saya selalu mengajak umat untuk menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Saya mulai sadar hal ini sungguh-sungguh ketika saya menjadi uskup di Jakarta. Kesadaran saya ketika tinggal di Katedral Jakarta yang penuh dengan pesan sejarah. Warisan cinta tanah air sangat terasa di Jakarta. Tahun 1928 ada Sumpah Pemuda dengan sidang pertamanya di buat di Gereja Katedral dengan vambelnya masih tersimpan di Museum Katedral. Isu mayoritas dan minoritas mengerucut pada refleksi saya bahwa ada banyak pahlawan atau abdi negara berasal dari umat Katolik. Mereka memberi hidup dengan partisipasi mereka di bidang kehidupan mereka. Jadi saya melihat hal ini sebagai tanggungjawab umat Katolik dan tanggungjawab saya sebagai pemimpin umat.

Saat ini seperti ada internasionalisasi dewan Vatikan. Apa artinya Bapak Kardinal?

Kalau membaca situasi ini ada beberapa hal menarik menurut tafsiran saya. Pertama, Gereja Katolik ingin menunjukkan Kekakatolikannya karena Katolik artinya umum, universal. Kalau dulu kardinal kebanyakan dari Eropa dan negara-negara sebelah utara, sekarang ada internasionalisasi Dewan Vatikan. Kedua, keterlibatan Gereja terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Misalnya, soal lingkungan hidup, pengungsi, kemiskinan, dialog antar iman itu terus diperjuangkan. Misal, ada Dewan Kepausan Hubungan Antar Agama, dan Dewan Sekretaris di dikasteri Migran dan Perantau yang mengusahakan perkembangan manusia integral. Ketiga, konsistori nanti dimulai tanggal 5 Oktober, bersamaan dengan waktu Vatikan memulai Sinode Amazon soal lingkungan hidup. Padahal biasanya konsistori ini selalu bulan November. Jadi kita bisa membaca ini tindakan simbolik Paus dengan kehadiran para kardinal yang baru.

Apa harapan Bapak Kardinal dalam menyuarakan berbagai isu di Indonesia?

Pengangkatan sebagai kardinal ini jangan tertuju kepada saya tetapi pengangkatan ini karena dua alasan yaitu kehormatan bagi Gereja Katolik Indonesia dan Bangsa Indonesia. Salah satu tugas saya sebagai kardinal adalah membantu memberikan saran-saran kalau diminta oleh Paus baik dalam konteks Gereja universal maupun Gereja lokal. Maka itu Gereja itu dimengerti dalam tiga anggota yaitu hierarki (uskup, imam, diakon); biarawan-biarawati, dan awam. Maka itu, ini tugas kita semuanya termasuk kaum awam. Lewat peran kita masing-masing, kita bersama-sama memajukan bangsa dan Gereja di Indonesia.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.37 2019, 15 September 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here