Dengan Ketaatan, Aku Menjadi Prajurit

360
Romo Yos Bintoro (tengah) ketika rekoleksi bersama dengan Parohkat se-Indonesia di Malang.
[Dok.Istimewa]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tidak mudah menjadi seorang imam sekaligus tentara. Hanya melalui jalan pengosongan diri dan taat bagai hamba yang bisa menghantarkan kepada pengabdian sejati.

Ketangguhan seorang prajurit diuji bukan dalam medan tempur tetapi dalam batin. Sejatinya, perang berawal dari perseteruan pikiran dan hati nurani. Bahkan, seorang imam memiliki pergumulan demikian. Lalu bagaimana jika seorang imam turut mengemban tugas sebagai seorang tentara, apalagi dipercayakan menjadi wakil uskup di lingkungan TNI-POLRI?

Adalah Romo Yoseph Maria Marcelinus Bintoro atau yang lebih dikenal sebagai Romo Yos Bintoro. Ia didaulat sebagai imam Katolik pertama di Indonesia yang membaktikan diri kepada negara dalam bidang kemiliteran sebagai militer aktif/organik. Imam diosesan asal Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ini tergabung dalam Angkatan Udara (AU) Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Romo yang akrab disapa Romo Yote ini tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang prajurit. Keinginannya teramat besar untuk bersauh ke dalam pelukan Kristus melalui jalan menjadi seorang imam. Belum lagi, dahulu tentara dianggapnya sebagai instansi yang tidak pro-rakyat. Seperti perjalanan hidup Santo Petrus, Romo Yote “diikat dan dibawa” ke tempat yang tidak ia kehendaki (Yoh 21:18).

Yang Pertama
Pengembaraan panggilan Romo Yote bermula ketika Kardinal Julius Darmaatmadja SJ diangkat menjadi Uskup Agung Jakarta menggantikan Mgr Leo Soekoto pada tahun 1996. Saat itu, Kardinal Darmaatmadja juga mengemban tugas sebagai Uskup Ordinariatus Castrensis Indonesia (OCI) atau Keuskupan Militer Indonesia. Tanpa membuang waktu, Kardinal Darmaatmadja yang dikenal memiliki kecintaan kepada bangsa dan tanah air ini langsung meminta Romo Yote untuk bergabung menjadi anggota militer organik, bukan lagi tituler.

Romo Yote mengingat benar peristiwa ini, saat permintaan ini sampai di telinganya, sontak aliran dingin melingkupi sekujur tubuh. “Saya mau nolak tapi nanti dikira tidak taat, mau bilang iya terus terang saya tidak suka profil tentara,” ungkap Romo Yote mengisahkan.

Akhirnya, Romo Yote pun tidak langsung mengiyakan. Kata yang ia ungkapkan ketika itu pun seperti mempertanyakan perintah sang uskup. “Bapak Kardinal, apa tidak salah pilih orang, saya kan tidak bakat jadi tentara,” kata Romo Yote menirukan perkataannya kepada Kardinal Darmaatmadja.

Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah Kardinal Darmaatmadja menahbiskan Romo Yote menjadi imam KAJ di Gereja St Yohanes Penginjil Blok B, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 15 Agustus 1996. Dari perkataan selanjutnya, terkesan bahwa sang uskup sedang tidak mau mendengar penolakan dari imamnya.

Benar, beberapa saat kemudian, sembari menyeduhkan teh, Kardinal Darmaatmadja pun berpesan kepada Romo Yote. “Bintoro saya tahu kamu bersebrangan dengan militer, tapi militer tidak bisa kamu kritik dari luar. Militer hanya bisa diperbaharui jika ada orang yang masuk di dalamnya dan memperbaharui dari dalam. Kamu saya tempatkan di tempat pendidikan militer calon pemimpin masa depan bangsa.”

Romo Yote pun menyerah. Tanpa kata perlawanan ia nurut perintah uskupnya. Apalagi, kata “dunia pendidikan” yang kelak menjadi ladang penggembalaannya, sontak membuatnya bersemangat. Romo Yote akhirnya menerima mandat itu.

Babak Baru
Segera setelah menerima penugasan itu, Romo Yote langsung menjalani pendidikan militer di Sekolah Pertama Perwira Prajurit Karier Angkatan IV Akademi Militer, Magelang Tahun 1996/1997. Ia mengawali karier militernya sebagai Letnan Dua (TMT 2 Juli 1997) lalu terus menanjak sebagai Letnan Satu (TMT 1 Okt 1999), Kapten (TMT 1 Okt 2002), Mayor (TMT 1 Okt 2007), hingga mencapai posisi Letkol (TMT 1 Okt 2015). Kini Romo Yote menjabat sebagai Letnal Kolonel dengan berbagai tanda jasa dan kehormatan telah diterima seperti Satyalancana Seroja (1999), Satylancana Dwidya Sistha (2002), Satyalancana Kesetiaan VIII (2005), Satyalancana Dwidya Sistha Ulangan 1 (2006), Satyalancana Dwidya Sistha Ulangan II (2010), Satyalancana Kesetiaan XVI (2014).

Tak dirasa cukup, beberapa kursus yang mendukung perannya sebagai seorang tentara pun diikuti seperti kursus dasar manajemen TNI AU Wing Pendidikan Umum, Halim Perdanakusuma Jakarta (1998), Kursus Perwira Pembina Mental TNI AU Jakarta (2003). Terakhir ia mengikuti kursus Staf AU, SESKOAU Angkatan 1, Lembang, Bandung (2014).

Sedari dulu Romo Yote dikenal memiliki kecintaan kepada pendidikan. Hal ini diwujudkan dalam pembaktian dirinya pada dunia pendidikan di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta selama 22 tahun. Di tempat ini, ia berbagi kompetensi pedagogig, karya ilmiah, dan penyiapan di berbagai sekolah kedinasan sebagai Kasubsi Binrrohkat Siwatpers Ditbin Akademi AU (1997), Perwira Rohani Katolik AU (2002), Dosen Golongan VI/ Guru Pembina Akademi AU (2008), dan Dosen Golongan V/Guru Pembina Akademi AU (2014).

Dedikasi dan pemikirannya yang visioner menghantarkan Romo Yote menerima berbagai macam penugasan di AAU (Juli 1997-sekarang), Operasi Satuan Tugas Pembina Mental Timor Timur Juli 1998-April 1999, menjadi delegasi Indonesia dalam keikutsertaan pada Konferensi dan Ziarah Internasional yang diadakan oleh Pilgrimage Military International (PMI) di Lourdes, Prancis (18-21 Mei 2017). Dedikasinya pada perubahan pola pikir TNI-POLRI berbuah manis pada pendirian Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik yang diresmikan langsung oleh Uskup TNI-POLRI, Mgr Suharyo pada tanggal 20 September 2009 bertempat di Paroki St Mikael Pangkalan Adisutjipto, Yogyakarta.

Spiritualitas Hamba
Panggilannya menjadi Pastor Militer semakin terasah ketika bertugas dalam Operasi Satuan Tugas Pembina Mental Timor Timur (Juli 1998-April 1999). Sayang, penugasan itu berlawanan dengan suara hatinya. Ia pun berjanji kepada dirinya sendiri, untuk mundur dalam penugasan itu apapun caranya.

Tetapi niat itu Romo Yote urungkan. Suatu hari, seorang prajurit yang telah banyak makan palagan tempur merasa goyah. Kegelisahan sang prajurit membuka matanya. Ia kembali disadarkan akan penghayatannya sebagai seorang imam, untuk hadir bagi mereka. “Saat itu, saya disadarkan bahwa di depan saya ada seorang prajurit yang kalah. Berpihak pada yang kalah adalah jalan imamat yang saya hayati,” tuturnya.

Pada tahun 2002 saat masih berpangkat Letnan Satu, Romo Yote pernah difitnah sebagai PKI karena melindungi anggota keluarga besar TNI AU yang menjadi aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD). Tak tangung-tanggung, tuduhan itu dilayangkan di depan apel para anggota. “Romo tapi PKI” begitu tuduhan yang ia terima.

Kalimat ini menjadi pil pahit yang harus Romo Yote terima. Berada di bawah tekanan demikian, ia hampir meletakkan tanda kepangkatannya, tanda ingin mundur dari keanggotaan TNI AU di depan Gubernur AAU.

Tempo itu, Romo Yote melampiaskan rasa kekecewaannya dengan mengalihkan diri pada tuts-tuts piano. Tatkala ingin menyerah, selalu ada suara yang mengingatkannya untuk bertahan dalam situasi getir itu, “Jangan Yote, jangan lakukan itu. Sekarang kamu terima apa yang menjadi salibmu hari ini, tapi nanti ini akan menjadi rahmat bagimu,” kenang Romo Yote.

Salib itu pun ia pikul dan seraya berlutut di bawah kaki Kardinal Darmaatmadja, Romo Yote dengan suara lirih meminta berkat sang pemimpin. “Saya mohon didoakan dan percayalah, Bapak Kardinal, saya akan membereskan ini sendiri,” ujarnya sambil menahan air mata.

Berkat ketekunan Romo Yote bertahan dalam situasi dinas perlahan nama baik Romo Yote mulai pulih. Keluarga besar TNI AU bisa melihat sosok Yos Bintoro yang memberikan diri bagi TNI AU dengan pelayanan yang tak kenal lelah. Tahan uji itu pun berbuah manis. Tahun 2003 terbit formulir data bangunan untuk menghibahkan bekas gudang di Pangkalan Udara Adisutjipto untuk dijadikan Gereja Katolik beserta seluruh fasilitasnya. Selanjutnya, umat Katolik di pangkalan itu memiliki paroki mandiri dibawah perlindungan St Mikael.

Romo Yote mengakui kedua pengalaman itu semakin memurnikan dan meneguhkan panggilannya baik sebagai seorang imam maupun tentara. “Nama saya Bintoro (tentara rendahan) dan akan selalu jadi Bintoro. Hidup saya dibaktikan untuk melayani,” tukasnya gamblang.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here