Maria Yovita Bastian : Gereja, Sejahtera dari Kearifan Lokal

357
Maria Yovita Bastian.
[Dok.Pribadi]
2/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Berkat kain tenun Biboki, namanya di kenal di dunia international. Lewat usaha ini, ia ingin meningkatkan status sosial kaum perempuan, dan membantu mereka berdaya.

Berawal dari membantu seorang janda yang kesulitan ekonomi melalui keterampilan menenun kain ikat tradisional, nama Maria Yovita Bastian menjadi mendunia. Perhatiannya yang besar terhadap pengembangan seni tenun tradisional Biboki membuahkan penghargaan Prince Claus Award. Penghargaan ini diberikan oleh sebuah lembaga sosial masyarakat Prince Claus Fund yang berpusat di Den Haag, Belanda. Prince Claus Award diberikan setiap tahun bagi pelestari seni tradisional dan kebudayaan di seluruh dunia. “Dengan segala keterbatasan saya, sedikit pun saya tidak pernah bermimpi akan mendapat penghargaan dari dunia internasional,” komentar Yovita atas penganugerahan ini.

Seikat Jagung
Biboki sebagai nama kain tenun yang mengantar Yovita mendapat panghargaan itu sebenarnya adalah nama suku yang bermukim di Desa Temkessi, tempat Yovita lahir. Lokasi ini berada di atas pegunungan dan berjarak dua sampai tiga jam perjalanan mobil dari pusat Kefamenanu. Biboki dahulunya adalah sebuah kerajaan. Namun, saat ini Biboki masuk wilayah kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

Menurutnya, dorongan untuk mengembangkan usaha tenun ikat Biboki pertama kali muncul saat melakukan studi banding ke Pulau Sabu. Pada tahun 1989, sebuah lembaga international mengajak Yovita melihat aktivitas kelompok tenun ikat milik Raja Haba yang ada diwilayah Sabu. “Setelah studi banding, saya merasa tertantang, mengapa Raja Haba bisa melakukan pendampingan terhadap kelompok tenun ikat bisa sukses sedangkan saya tidak?” katanya.

Setahun kemudian, Yovita mendirikan Yayasan Tafean Pah (Rumah Dunia) di Kefamenanu. Lewat yayasan ini, ia ingin mengembangkan kain tenun khas daerahnya. Tak lama setelah Rumah Dunia terbentuk, di tahun 1990, ia mendatangi Museum Northern Territory di Fannie Bay, Darwin, Australia. Hasilnya, pihak museum tersebut mengirimkan uang sebesar 1.000 Dollar Australia yang ia gunakan mengembangkan Tenun Biboki.

Awalnya, Yovita menggerakkan delapan penenun di satu desa. Saat ini, setelah hampir 20 tahun, ada 12 desa dengan 406 anggota dan 34 kelompok usaha. Ia menjelaskan, setiap kelompok in berkisar antara 10-20 anggota, hampir seluruhnya perempuan.

Setelah tergabung dalam kelompok yang dikoordinasi Yovita, perempuan-perempuan ini mampu bangkit baik secara ekonomi. “Mereka memperoleh penghasilan yang dipergunakan untuk menopang kehidupan. Selain itu, dengan berbusana khas adat ini mereka merasa telah membantu melestarikan warisan leluhur,” tutur Yovita.

Kelompok-kelompok ini dikoordinasikan dalam sanggar yang bernama Biboki Art Shop di bawah Yayasan Tafean Pah. Sanggar ini menampung hasil tenun dari desa-desa yang didampingi Yovita.

Sanggar ini menerima kain tenun dari ibu-ibu dari desa, kemudian menyortirnya. Kain berupa lembaran-lembaran dengan kualitas bagus dihargai tinggi. Untuk kain tenun dengan bahan dasar original yang terbuat dari kapas bisa berharga Rp 2,5 juta-Rp 3 juta per lembar. Proses pembuatannya pun cukup lama, memakan waktu 4-6 bulan. Sementara kualitas yang biasa dibuat asesoris berupa tas-tas dengan beragam motif. Harganya bervariasi, sekitar Rp 500.000-Rp 1 juta.

Bahan Baku Lokal
Hasil tenunan semua berbahan baku lokal dari kapas, akar mengkudu, daun tarum, daun kunyit, dan sejenis lumpur berwarna biru. Lumpur ini digunakan sebagai pewarna, sedangkan bahan lainnya berfungsi sebagai pengawet, penambah warna dan pelekat. Bahan-bahan inilah yang menjadikan tenun dengan motif asli Biboki sangat khas.

Peralatan yang digunakan untuk membuat kain tenun ini juga masih sederhana dan tradisional. Umumnya, alat-alat ini terbuat dari kayu dan bambu. Yovita memperolehnya dari dari daerah sekitar.

Yobita menjelaskan, motif-motif Biboki karya ibu-ibu dampingannya umumnya menggambarkan alam lingkungan sekitar. Beberapa corak juga menceritakan riwayat perjalanan hidup si penenun. Ia menjelaskan, inilah yang menjadikan kain
tenun tradisional Biboki menjadi unik, khas, dan eksotis.

Saat ini, pembuatan kain tenun tidak hanya berbahan dasar kapas, tetapi juga memakai bahan yang berasal dari pabrikan. Proses pembuatan kain tenun dari bahan bukan kapas tidak membutuhkan waktu yang lama, bergantung pada ukuran dan motif yang diinginkan. Harganya pun lebih rendah dibandingkan yang berasal dari bahan dasar kapas.

Dokumentasi Biboki
Seiring perkembangan waktu, Yovita melihat anak-anak muda kurang mengapresiasi kerajinan tenun ini, terutama di tanah kelahirannya. Oleh karena itu, melalui sanggar yang dimilikinya, anak-anak diajak bergabung guna memanfaatkan waktu setelah sekolah. Mereka dilatih dan dibimbing agar menguasai pembuatan kain tenun, dimulai dari motif yang sederhana sampai yang rumit.

Dalam pengamatan Yovita, anak-anak ini cepat dalam menyerap pengetahuan dan keterampilan pembuatan kain tenun. Jumlah yang bergabung dengan sanggarnya tercatat 104 anak. Selain mendapatkan keterampilan, mereka juga mendapatkan penghasilan yang dapat digunakan untuk membiaya pendidikan mereka.

Untuk memotivasi anak-anak ini, pihak yayasan memberikan beasiswa pendidikan. Di tahun 2015 ada 30 anak yang mendapat beasiswa, sedangkan di tahun 2016 sebanyak 104 orang yang mendapat beasiswa. “Itu artinya, seluruh anak yang tergabung mendapat beasiswa,” jelas Yovita.

Peminat dan konsumen kain tenun ikat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jika semula hanya meliputi daerah sekitar NTT dan beberapa kota di Indonesia, saat ini sudah merambah ke mancanegara. Untuk meningkatkan pangsa pasar, setiap tahun Yovita selalu mengikuti pameran maupun eveneven baik di NTT, Yogyakarta maupun Jakarta. Beberapa galeri di Australia juga secara rutin mengundang Yovita untuk menampilkan karya-karyanya.

Langkah selanjutnya untuk belestarikan Biboki, Yovita mendokumentasikan motif-motif asli Biboki ke dalam buku. Informasi yang ada dalam buku ini akan disimpan sebagai koleksi yang sangat berharga bagi generasi yang akan datang. Yovita berharap, ke depan, di daerah NTT terdapat museum tekstil yang dapat menampung setiap koleksi motif asli Biboki juga produk kain tenun lain khas NTT.

Yovita memegang teguh amanat orangtuanya agar kehidupan yang ia jalani memberi manfaat bagi sesama. Dengan mendampingi pengrajin Tenun Biboki, ia ingin memberdayakan kaum kecil agar dapat menolong diri mereka sendiri. Ia juga berharap, dengan usaha ini, ia kaum perempuan dapat memperbaiki status sosial mereka dan melestarikan budaya leluhur.

“Saya berharap kepada pemerintah agar keterampilan pembuatan kain tenun masuk dalam muatan lokal di setiap sekolah. Harapannya, proses pelestarian kain tenun dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya,” tutur umat Paroki Santa Theresia Kefamenanu ini.

Maria Yovita Meta-Bastian

Lahir : Kefamenanu, 4 Desember 1955
Suami : AJ Meta (Alm)
Penghargaan:
• Penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto atas jasa kepeloporan, 1992 “Prince Claus Award” dari Negeri Belanda, 2003
• Kartini 2005, memperoleh pin emas dari Menteri Pemberdayaan Perempuan, 2005 Kick Andy Awards 2008
• Pemenang NTT Academia Award 2008, bidang Humaniora, Budaya dan Politik, 2008
• Pemenang Kartini Award sebagai Perempuan Inspiratif 2011, dalam bidang Seni dan Budaya, 2011 Karya Buku
• Budayaku Bukanlah Kemegahan 2007
• Mengenal Kain Tenun Ikat Motif Biboki 2009

Fr. Benediktus Yogie Wandono SCJ

HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here