Tape Singkong untuk Kardinal

305
Ignatius Kardinal Suharyo. [Dok.HIDUP]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Karisma sebagai pemimpin seperti terlahir ke dunia bersamanya, hanya dengan kehadirannya saja, suasana menjadi lebih damai.

Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja, SJ, dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan ramah. Ada kesan pribadi dan mendalam dari beberapa orang yang pernah bekerja bersamanya.

Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta

“Salah satu hal yang khas adalah saya selalu menggantikan pelayanan yang sudah Bapak Kardinal Julius jalani. Ketika Beliau diambil dari Semarang ke Jakarta, saya menggantikan Beliau. Ketika Beliau mengundurkan diri sebagai Uskup Militer, uskup umat Katolik di lingkungan TNI dan Polri, saya yang ditunjuk di situ. Ketika Beliau selesai pelayanannya di Keuskupan Agung Jakarta, saya menggantikan Beliau.

Artinya, saya mendapat warisan yang sudah sangat berharga, tempat pelayanan yang saya jalani sudah dibangun, disiapkan oleh Beliau. Jadi, saya tidak usah bersusah-susah memikirkan macam hal. Landasan yang paling dasar sudah diletakkan, jadi saya tinggal melanjutkan saja.

Saya bersama Beliau satu rumah kurang dari setahun. Ketika saya dipindah ke Jakarta, dia masih di situ. Yang menarik adalah kami tahu apa yang dia sukai, misalnya kalo minum teh mereknya apa, kami tahu. Jadi kalau Beliau datang, kami sediakan teh itu. Kami tahu dia suka tape singkong, lalu eskrim. Kami merasa itu bukan masalah fungsi, kami ingin memberikan yang paling baik untuk Beliau, karena kami sangat menghormati Beliau.”

Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang

“Saya mengenal Beliau ketika saya masuk ke Seminari Menengah Martoyudan, Jawa Tengah. Dia waktu itu rektor, namun hanya satu tahun saya mengalami kerektoran dia, karena setelah itu dia diangkat menjadi Provinsial Yesuit dan menjadi Uskup Agung Semarang.

Dia, pribadi yang sangat mengagumkan, paling tidak saya melihat ketajaman Beliau untuk melihat orang lain. Dia orang yang waskita, melihat tajam, dan pas untuk melihat orang satu per satu. Dia lihat dengan berbincang, bisa membidik orang dengan baik. Itu yang saya alami ketika dari Mertoyudan.

Ketika mau menjadi uskup, saya retret dengan dia, dan dia yang sungguh dapat melihat apa yang ada dalam diri saya, bahkan yang saya tidak sadari ada di dalam diri saya. Dia punya spiritualitas kehadiran, meskipun hanya datang, duduk di gereja, kemudian ikut pesta, diatur sana-sini, dia ikut dan menikmati. Kehadirannya membuat orang merasa
gembira.”

Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap, Uskup Padang

“Untuk saya pribadi Bapak Kardinal sangat menarik. Dia sangat jernih dalam pemikiran, mendalam, dan karena itu secara umum dia tidak banyak bicara, tetapi kalau bicara selalu dengan konten yang berbobot, jalan pikirannya runtut, inspiratif dan solutif untuk persoalan yang ada. Karena itu dia dengan mudah diterima oleh tokoh masyarakat, tetapi terutama tokoh agama, karena dia bukan low profile dalam arti tidak ekspresif, tetapi karena ada pancaran damai, ketenangan, dan kedalaman pikir.

Kalau keadaan katakanlah genting ada persoalan berat, baik di tengah masyarakat maupun dalam Gereja, Beliau dengan kehadirannya saja memberi suasana sejuk sehingga menciptakan kondisi untuk menemukan jalan keluar yang baik. Beliau sangat gampang ditemui, mudah diajak bicara, sangat responsif. Kepada siapapun dia sangat dekat.

Secara menyeluruh, dia sangat mengesankan, menginspirasi saya, memberi peneguhan pada saya. Kalau ada soal, saya siapkan materi percakapan, semua dia koreksi. Saya secara umum begitu terkesan dan berterimakasih kepada dia.

Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah

“Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ, adalah sahabat yang berhati mulia dan halus tutur katanya dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan analisis tentang berbagai masalah yang menyangkut kemanusiaan, agama, sosial, moral, dan kebangsaan. Cukup lama saya berinteraksi dengan tokoh Katolik kelas dunia ini. Ia tidak saja berbicara tentang semua itu tetapi juga mempraktikkannya. Beliau dihormati oleh semua golongan. Pergaulannya sangat luas dan menyenangkan.”

Stanislaus Sularto, Wartawan Senior

“Beberapa hari setelah Beliau dilantik sebagai kardinal, tanggal 26 Oktober 1994, bersama Romo G.P. Sindhunata, SJ, saya menghadap Beliau di Katedral Semarang. Kurang lebih kami mewawacarai Beliau selama satu jam. Yang mengesankan kami berdua, Bapak Kardinal berwibawa dan rendah hati. Pernyataan dan kata-katanya terukur, teratur, dan hati-hati menjaga diri jangan sampai melukai hati orang.

Beberapa minggu kemudian, ketika saya menghadap Beliau di ruang kerja sebagai Ketua KWI dengan jubah kardinal merah, Beliau tetap rendah hati dan berwibawa. Ternyata dalam berbagai perjumpaan di kemudian hari ketika Bapak Kardinal sebagai uskup maupun sebagai Ketua KWI, tetap saja kerendahan hati dan kewibawaan itu mengesan di hati saya. Kehadirannya dalam berbagai pertemuan dialog antar agama – Beliau sangat aktif menjalin relasi dengan tokoh-tokoh agama dan keyakinan- selalu ditungggu. Suasana selalu menjadi hangat dan menyenangkan karena kehadiran Beliau.

Dalam sebuah perjalanan bersama dengan sejumlah tokoh agama atas undangan Ahmad Syafii Maarif ke Lampung di tahun 90-an, ketika Beliau diminta menyampaikan sambutan, tetap saja kewibawaan dan kerendahan itu itu menonjol. Tidak ada perasaan jumawa. Kata-katanya terukur dan selalu mempertimbangkan jangan sampai membuat orang lain sakit hati. Sejumlah tokoh lintas agama waktu itu, saya ingat betul, di antaranya bisik-bisik Buya Syafii ke saya, “Beliau itu bewibawa. Kata-katanya bernas.”

Ketika saya menghadap Bapak Kardinal, khusus untuk mendapatkan sambutan untuk buku biografi Ignatius Kardinal Suharyo, Terima Kasih, Baik, Lanjutkan!, waktu itu kesan kewibawaan hati-hati berbicara dan terukur Beliau terjaga. Di antaranya, Beliau mengatakan, ‘saya mendapat penggganti uskup agung yang muda, yang lebih mampu menanggapi situasi zamannya masa kini.’”

Antonius E. Sugiyanto/Yustinus H. Wuarmanuk

HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here