MENGUBAH SEJARAH DI BUKIT GUNDALING

286
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Gerimis menghapus kabut di Bukit Gundaling. Bukit yang konon jadi monumen   cinta tak sampai seturut legenda yang diserap Ersada semasa remaja. Entah benar atau tidak, ibunya berkisah kalau di Bukit Gundaling itu tentara Belanda yang jatuh cinta pada gadis setempat terpaksa meninggalkan kekasihnya dengan kisah tak pernah usai. Sesaat sebelum kembali ke negaranya, tentara Belanda dengan membawa cintanya melambai sambil berucap: “Goodbye my darling.” Namun tertangkap pendengaran gadis manis dalam kesedihan merelakan kekasih pergi membawa seluruh cinta tersisa, sebagai Gundaling. Jadilah  tempat di mana kekasih sejati ini berpisah dinamai Bukit Gundaling.

Tentu banyak versi perihal asal  nama Gundaling. Tapi sudah tak penting, sebab Ersada bukan mengalami tragedi cinta tak sampai, meski  mengalir juga campuran darah Belanda beberapa tetes di tubuh Prana suaminya melebur dengan darah Sumatera.   Justru cintanya nyaris menuju ujung bagai tengah meniti jalan setapak di atas bukit. Jika lengah, tergelincir dan selesai.

Ersada keluar dari rumah ibunya di bukit itu, angin dingin khas udara sekitar menggigiti kulit. Tapi semua itu tak dihiraukan, sebab kalimat rapi perempuan dengan kulit mengerut yang baru saja mengelus rambut hitamnya terus terngiang.

“Cinta butuh pengorbanan. Tapi kalau kamu tidak mencintai, maka semakin banyak yang jadi korban,” lembut suara ibu mengantar langkah Ersada keluar,  memintanya pulang ke rumah, meski ingin sedikit waktu lagi bersama ibu. Rebah di bahu rapuhnya. Bila perempuan dewasa tiba-tiba mencari ibunya, lalu mencurahkan segala perkara, gerangan apa disampaikannya kalau bukan kelakuan suami. Biasanya terjadi ketika perempuan dewasa itu telah mencoba bertahan hingga tak tertahankan, bahkan cintapun andai diibaratkan pohon kokoh, nyaris lepas dari akar.

Memang, pertengkaran itu bumbu dalam rumah tangga sekaligus ujian keteguhan cinta. Bagaimana kalau keseringan hingga jadi menu utama kehidupan dan terus saja ujian tapi bagai mahasiswa abadi enggak lulus-lulus? Masihkan bisa dikata penyedap, sementara hidup menjadi tak nikmat sama sekali.

Rentetan peristiwa menggerayangi organ berpikir Ersada, membuatnya berbalik.  Kembali ke rumah mungil di atas Bukit Gundaling.

“Kenapa datang lagi? Sudah sore! Istri yang baik harus sudah di rumah menyambut suami pulang kerja.”

“Aku enggak perlu nunggu Prana pulang, Bu. Dia selalu di rumah. Kerjanya  ngomel, merasa paling benar, enggak pedulian. Semua sudah lain. Melelahkan, malas bersamanya lagi.”

“Lalu kamu mau bersama siapa?”

“Bersama Ibu, menemani di masa tua. Lebih bermanfaat.”

“Ibu belum merasa tua, tak perlu ditemani!” Lalu Ibu terdiam, menatap putri semata wayangnya penuh kasih.

“Kalu Ibu enggak butuh teman, aku tetap ingin di sini. Aku butuh Ibu. Lelah selalu tersakiti.”

“Kamu merasa disakiti. Suamimu merasa disakiti. Sesungguhnya siapa menyakiti siapa ya…?”

Ersada mencerna kalimat ibu! Persis seperti kalimat barusan jugalah selalu bergema di rumah mereka dengan suara tinggi.

“Aku muak… lihat kelakuan kamu!

“Sama…!”

“Kamu  nyakitin aku terus..”

“Kamu yang  nyakitin aku.”

Hening

“Berati kita saling menyakiti.”

Hening lagi.

“Untuk apa bersama kalau hanya saling menyakiti.”

Suara terhisak.

“Pulanglah….!” Suara Ibu membuyarkan lamunan Ersada. Sempat tertangkapnya bola mata Ibu yang mulai abu-abu berair. Yah, Ibu terluka. Perempuan renta dan melemah itu tahu betul sakitnya perubahan rasa cinta memudar perlahan jadi benci.

“Biarkan aku di sini, Bu…”

“Salah besar istri yang pergi dari rumah.”

“Aku tidak ke mana-mana. Apa salahnya anak pergi ke rumah ibunya?”

“Tidak salah kalau berkunjung…! Bukan mengadu dan melarikan diri.”

“Bu.. aku memang mengadu dan lari…! Tapi ke pelukan Ibu, bukan lari mencari dekapan pria lain. Apa salahnya?”

“Pulanglah, tempatmu bukan di sini, tapi di sisi suamimu.”

Ersada mulai terhisak. Semula sangkanya Ibu akan menjadi pembela garis depan di prahara ini. Ibu masuk kamar lalu kembali dengan amplop warna gading di tangan.

“Baca……!” pinta ibu lembut.

Masih terhisak Ersada mengamati karton tipis yang 21 tahun silam beredar di kalangan kerabat hingga sahabat bertuliskan: “ ….. sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging……….” 

“Undangan pernikahanku masih tersimpan?”

Ibu diam, berbalik lagi lalu menyerahkan amplop lain kuning kecoklatan, lusuh akibat lama tersimpan.

“Undangan pernikahan Ibu dan bapak juga masih ada? Kutipannya serupa!”

Ibu menatap penuh kasih sambil berkata lirih: “Prana telah meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan kamu. Begitu juga bapakmu. Kalau sekarang kamu tinggalkan dia, bayangkan seperti apa kepedihannya. Meninggalkan orang yang membesarkannya penuh cinta demi bersatu dengan orang lain yang dia cintai.”

“Paling dia juga senanglah aku  tinggalkan. Kan sudah muak katanya. Cintaku juga sudah melayang.”

“Cinta memang begitu. Datang dan pergi. Tapi pasti segera kembali, sebab cinta tahu di mana tambatan hati.”

“Cintaku sudah sirna tak tersisa. Biarkan aku sendiri, Bu. Dalam cinta tak boleh ada paksaan.”

“Cinta boleh menguap. Tapi ada satu hal yang tak pernah raib.”

“Apa itu, Bu?”

“Komitmen!”

Ersada mulai kesal. Kenapa Ibu bisa begitu sabar. Ini bukan kali pertama dia datang dan rebah di bahu renta Ibu bercucuran air mata, menceritakan betapa Prana sekarang berubah. Semua salah di matanya. Tak cukup menyerang pribadi Ersada semata, termasuk protes seluruh detail kehidupan. Tanaman mengering  tak penting di bahas hingga  kebiasaan yang sesungguhnya sudah berlangsung lama, tiba-tiba jadi perkara. Sebaliknya  Ersada sendiri bagai asing melihat Prana karena juga merasa  banyak berubah, lebih cerewet. Tidak lagi peduli, padahal selama ini menjalani rutinitas bersama. Berangkat kantor berdua, kemudian bertemu lagi sore di jam  berdekatan. Tapi tak jarang pula baru ketemu keesokan pagi jika Prana tiba di rumah saat Ersada sudah terlelap dan begitu sebaliknya. Berjalan sekian tahun pernikahan tanpa  masalah.

“Pulanglah….!” ini ketiga kali Ibu berucap, kali ini sambil menuntun Ersada ke pintu sebab anaknya berusaha menolak.

“Aku nyaris tidak mengenali Prana.”
“Yakinlah kalau Ibu ketemu Prana, pasti mengatakan hal serupa. Kamu berubah,  dia nyaris tidak mengenali kamu. Beda dari yang dikenal dulu.”

“Kenapa Ibu begitu yakin?”

“Karena sesungguhnya kalian berdua memang tidak saling kenal. Selama ini terlalu sibuk pergi pagi pulang entah kapan. Bertemu hanya di ranjang, pun masih dengan pikiran juga kesibukan masing-masing. Saling berkata, tapi komunikasi tak terjalin. Pernah enggak sih kalian sempat saling mengamati?”

“Kami selalu berangkat kerja bareng.”

“Bersama belum berarti saling mengamati. Sejak pandemi kalian punya waktu lebih intens tanpa aktifitas padat. Lalu terkaget-kaget lihat kebiasaan masing-masing,  mengira itu sebuah perubahan. Padahal hanya kebiasaan lama yang luput dari perhatian karena terlalu sibuk.”

Ersada tertegun.

Ibu betul. Sesungguhnya semua sama. Hanya saja kesibukan telah membuat luput dari pengamatan. Manakala waktu justru menyajikan kebersamaan, membuat seakan telah terjadi perubahan besar.

“Kamu beruntung, masih punya kesempatan lebih awal kembali saling mengenali. Semua terjadi karena pandemi. Ibu dan Bapakmu merasa tidak saling kenal justru di sisa hidup.  Saat sesungguhnya  paling tepat bahagia bersama di masa pensiun, malah bagai orang asing satu sama lain karena selama ini tertelan kesibukan. Sedih, tak sempat ‘berkenalan’ kembali. Pandemi merenggut nyawanya, kala kami sedang tidak saling menyapa akibat rasa asing direnggut kesibukan masa lalu.”

Sekarang ganti Ibu yang terhisak. Pertahanan itu bobol juga.

“Sekali lagi Ibu minta, pulanglah! Berkenalan dengan suamimu. Sudah terlalu banyak pandemi ini merenggut orang-orang terkasih. Jangan pula menghabisi bahagiamu.”

“Aku enggak sanggup, Bu…!”

“Kamu akan lebih tidak sanggup menyimpan sesal untuk kesalahan dari sebuah situasi. Bukan dari prilaku diri. Jangan mengulang sejarah buruk Ersa, buatlah sejarah baru.”

Ersada memeluk Ibu.

“Kamu merasa disakitinya, dia merasa kamu sakiti. Jelas kalian saling menyakiti. Tapi tetaplah bersatu, sebab tiap penyakit ada obatnya.”

***

Matahari muncul malu-malu karena bulan juga belum menjauh. Ersada meletakkan bunga geranium merah di atas nisan Ibu. Persis di atas batu bertuliskan:

Berdua lebih baik dari pada sendiri, karena bila seorang jatuh, seorang lagi akan mengangkatnya. Bila sendirian, kamu tak memiliki  seseorang  guna menopang. Dan tersungkurlah.

Ersada memejamkan mata, meletakkan tangan di atas pusara.

“Pulang yuk…!”

“Ke rumah Ibu?”

“Ke rumah kita!”

Prana menuntun Ersada menyusuri Bukit Gundaling tanpa harus mengucap Goodbye my darling, tapi diganti dengan I love you darling.

Oleh Ita Sembiring

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here