PESPARANI, JANGAN BERHENTI PADA KESENANGAN TUBUH

272
Sebagian peserta Seminar “Pesparani: Kompetisi atau Memuji Tuhan?” yang diselenggarakan Litbang Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik Nasional (Litbang LP3KN) secara online via zoom, Sabtu, 8/5/ 2021.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PESTA Paduan Suara Gerejani (Pesparani) adalah ajang perlombaan tetapi sekaligus kesempatan untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Karena itu, tidaklah tepat mendikotomikan keduanya. Kesadaran itu ditegaskan kembali dalam Seminar “Pesparani: Kompetisi atau Memuji Tuhan?” yang diselenggarakan Litbang Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik Nasional (Litbang LP3KN) secara online via zoom, Sabtu, 8/5/2021. Seminar yang diikuti sekitar dua ratus peserta dari seluruh Indonesia itu menampilkan Monty P. Satiadarma dan Romo Yohanes Rusae.

Penegasan ini tampak belum sepenuhnya menghilangkan kesan, bahwa penyelenggaraan Pesparani lebih menonjolkan aspek perlombaan ketimbang dimensi pujian kepada Allah. Kesan itu bukan tanpa alasan, terutama ketika merujuk ke pengalaman penyelenggaraan Pesparani pertama di Ambon tahun 2018, di mana kontingen daerah tertentu merasa kecewa karena tidak menjadi juara. Upaya menghilangkan atau meminimalisasi kesan ini dirasa semakin urgen, terutama ketika umat Katolik sedang mempersiapkan diri menghadapi Pesparani kedua di Kupang tahun 2022 mendatang.

Tidak Bisa Dihindari

Tampil dengan presentasi yang sangat akademis, Monty P. Satiadarma berusaha menegaskan bahwa aspek lomba dan persaingan dalam sebuah perhelatan menyanyi secara koor (choral singing) tidak bisa dihindari. Menurut pendiri Fakultas Psikologi Universitas Tarumanaga ini, secara inheren sebenarnya telah ada persaingan dari para peserta kor, yakni antara sopran, alto, tenor dan bas untuk menunjukkan kualitas masing-masingnya. “Nyanyian bersama bisa menimbulkan kesenjangan dan efek kompetisi, jadi secara internal ada semacam perasaan superioritas di antara anggota koor,” tegas mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara itu. Meskipun demikian, lanjut Monty, persaingan tersebut bukan pertama-tama untuk saling meniadakan. Setiap anggota koor justru berusaha menciptakan keterpaduan dan mementaskan lagu-lagu berkualitas.

Monty P. Setiadarma

Dalam pemaparannya sekitar tiga puluh menit itu, Monty menunjukkan banyak sekali studi di bidang psikologi yang memperlihatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari bernyanyi secara kor. Alumni program Doktor Psikologi UI itu mengutip penelitian Eiluned Pierce Jacques Launey dan Max van Duijn (2016) yang menegaskan bahwa bernyanyi secara kor, selain menimbulkan efek kompetisi secara internal, juga mampu meningkatkan kerja sama, keterikatan sosial dan persaudaraan kelompok.

Sementara itu, melalui hasil temuan Marianne D. Judd &Julie Ann Pooley tahun 2013, Monty menegaskan bahwa menyanyi secara kor merupakan aktivitas yang menyenangkan karena mampu menumbuhkan tidak hanya kesejahteraan (well-being) tetapi juga memperkaya hidup itu sendiri bagi setiap individu yang terlibat di dalamnya. Mengutip penelitian dari Universitas Harvard dan Yale tahun 2008, peraih gelar MA di bidang terapi dari Kansas (AS) dan Magister Konseling Keluarga dari California (AS) itu mengatakan bahwa menyanyi secara kor dalam rentang waktu yang lama justru mampu memperpanjang usia harapan hidup para anggota.

Berbagai rujukan kepada penelitian-penelitian mutakhir di bidang psikologi yang diperlihatkan Monty sebenarnya mau menegaskan bahwa menyanyi secara bersama atau koor mendatangkan banyak keuntungan daripada menyanyi secara solo. Keuntungan yang paling bisa dirasakan adalah kebahagiaan dan kesejahteraan (bukan secara material) bagi para anggota koor itu sendiri.

Bagaimana dengan aspek pujian kepada Tuhan? Apakah menyanyi secara kor juga dapat menjadi kesempatan untuk memuliakan Allah?

Menjawab pertanyaan ini, doktor bidang hipnoterapi dari California ini merujuk ke sebuah penelitian yang dilakukan oleh Melanie Wald-Fuhrmann, Sven Boenneke, Thijs Vroegh,  & Klaus Peter Dannecker di tahun 2020. Penelitian terhadap lebih dari seribu lima ratus responden yang adalah pelaku koor dalam Gereja Katolik itu menunjukkan bahwa bernyanyi secara bersama mampu meningkatkan kedekatan pada Tuhan, menjadi sarana untuk mengembangkan dan bertumbuh secara rohani, serta menumbuhkan rasa komunitas.

Meskipun demikian, menurut penulis banyak buku psikologi ini, semua hal yang telah dikatakan itu tidak serta merta terjadi. Selain latihan yang teratur dan ketat, pemimpin kor yang mengerti dan mengenal musik-musik liturgis, memahami dengan cukup baik sejarah dan perkembangan musik gerejani (terutama gereja Katolik), serta jumlah anggota koor adalah elemen-elemen yang tidak boleh dianggap remeh. Untuk mengurangi kesan perlombaan dalam Pesparani, selain mengusulkan juri berjumlah gasal, berlatar belakang pendidikan musik, dan berpengalaman dalam penjurian, Monty juga menegaskan semangat Pesparani itu sendiri. Secara nama, ada kata “Pesta” dalam Pesparani, jadi seharusnya ajang ini merupakan pesta dan kesempatan untuk memuji dan memuliakan Tuhan.

Jangan Sekadar Mempertontonkan Nyanyian Suci

Tampil sebagai pembicara kedua dalam seminar yang dibuka oleh Adrianus Meliala selaku Ketua Umum LP3KN, Romo John Rusae meyakinkan peserta bahwa aspek perlombaan dan persaingan dalam Pesparani bukanlah hal yang tabu. Pasalnya, demikian ditegaskan imam Keuskupan Agung Kupang ini, statuta LP3K memang menyatakannya secara eksplisit, bahwa penyelenggaraan Pesparani adalah sebuah pagelaran dan lomba musik liturgi untuk ibadat Gereja. Jadi, memang ada aspek perlombaan dan persaingan di dalamnya.

Romo John Rusae

Meskipun demikian, kelahiran tahun 1972 ini mengingatkan bahwa aspek persaingan yang tidak bisa dihindari dalam perlombaan itu pertama-tama bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk saling menunjukkan mutu dan kualitas lagu. “Karena di dalam Pesparani ada lomba dan kompetisi, maka dapat kita katakan pesparani adalah kompetisi, yakni persaingan untuk menunjukkan mutu terbaik,” tegas Sekretaris Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia itu.

Jika memang demikian, seharusnya tidak ada masalah, bahwa lomba dan persaingan adalah hal yang lumrah dalam sebuah perhelatan seperti Pesparani. Lalu, mengapa kesan akan lomba sebagai hal yang kurang baik justru muncul setelah penyelenggaraan Pesparani?

Mendalami persoalan ini, Romo John menggunakan struktur ontologis manusia untuk menjelaskan pemikirannya. Menurut pendidik dan pembina Seminari Tinggi Santo Mikhael Kupang itu, manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Dalam menyanyi, lanjut Romo John, tidak jarang manusia hanya sampai pada tingkat menghibur tubuh. Demikianlah, ketika mendengar hentakan musik, orang cenderung menari, menggoyang badan, menghentakkan kaki, dan sebagainya. Tetapi jangan berhenti pada level kepuasan tubuh. Romo John justru menegaskan agar orang seharusnya juga tergerak hatinya ketika mendengar lagu-lagu bersyair sedih atau gembira.

Ketua Bidang 2 LPK3KN mengingatkan bahwa menyanyikan atau mendengarkan lagu-lagu harus mampu melampaui kebutuhan tubuh. Tandanya adalah ketika orang ikut merasa senang, merasa sedih, bersorak-sorai, merasa bersyukur dan seterusnya. “Musik berkomunikasi pada jiwa, mengajak pendengarnya merespon dengan pikiran, perasaan dan kehendak. Pesan dari musik kadang pendek tetapi menyentuh jiwa-perasaan, sampai orang menangis atau marah. Musik yang dibawakan berpengaruh hanya pada jiwa,” tegas Romo John.

Romo John melihat bahwa keterbukaan kepada jiwa yang digerakkan oleh musik dan lagu yang didengar seharusnya juga memapukan seseorang untuk membuka dirinya kepada roh. Bagi Romo John, musik sebagai sarana memuji dan memuliakan Allah harus mencapai level menggerakkan roh. “Roh itu spirit, kehidupan batin, hati nurani. Musik untuk roh berarti musik yang menyentuh atau yang diarahkan ke roh manusia, ke kedalaman hati, ke ruang batin ketika seseorang bertemu dan berkomunikasi dengan Allah. Musik yang menyentuh roh adalah sarana manusia memuji Allah dalam roh dan kebenaran,” tegas Romo John.

Perlu Pendampingan Rohani

Dalam sesi tanya jawab, Kasianus Telaumbanu dari Jambi menanyakan bagaimana pemikiran yang disampaikan Romo John itu bisa diimplementasikan? Bagaimana bisa dipastikan bahwa menyanyi dan bermusik itu tidak sekadar menyenangkan tubuh tetapi memuji dan memuliakan Allah dalam roh dan kebenaran?

Menjawab pertanyaan ini, Romo John menegaskan pentingnya motivasi yang tepat dalam menyanyi. “Memuji Tuhan dengan segenap hati itu melibatkan keseluruhan hati, karena itu dibutuhkan hati murni/suci karena, dibutuhkan ketulisan dan kekudusan, diperlukan motivasi yang benar: untuk apa saya ikut lomba,” tegas Romo John. Bagi Romo John, penegasan ini tidak berarti bahwa mereka yang menjadi anggota koor dan ikut dalam Pesparani adalah orang-orang yang sudah baik secara rohani sebagaimana dikesankan salah seorang peserta. Siapa pun boleh menjadi anggota kor dan siap mengikuti Pesparani. Hal terpenting adalah bagaimana dalam proses persiapan, para anggota koor terus-menerus memurnikan motivasi mereka.

Mengafirmasi refleksi Romo John ini, Romo John selaku moderator mempersilakan Benny Paw, seorang praktisi dan pembina kor dari Keuskupan Bandung, memberi kesaksiannya tentang bagaimana mempersiapkan sebuah kor gerejani. Dalam kesaksiannya itu, Benny Paw menegaskan pentingnya kegiatan rohani dan pembinaan iman sebagai sarana memurnikan motivasi bagi anggota kor. Dalam pengalaman Benny Paw, pendampingan seorang imam dalam kelompok-kelompok kor adalah hal yang mutlak diperlukan.

Seminar selama dua jam ini diharapkan dapat menjadi kesempatan reflektif untuk mempersiapkan para anggota kor yang akan berlomba dalam Pesparani kedua tahun depan. LP3KN selaku penyelenggara Pesparani optimistis, bahwa selain perlombaan di Kupang akan berjalan lancar dan sukses, para peserta pun akan semakin dewasa dan bertumbuh secara rohani.

Laporan Yeremias Jena

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here