Dua Puluh Tahun Menebar dan Menabur Kasih Allah

388
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka, MSF tak pernah menyangka akan diutus ‘membajak ladang’ di Bumi Tambun Bungai. Kini biji sesawi itu telah bertumbuh dan beranting rimbun.

SABTU, 27 Januari 2001, sebuah telepon datang dari Kedutaan Besar Vatikan untuk Indonesia. Suara itu berasal dari Duta Besar Mgr. Renzo Fratini kepada Pastor Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka, MSF. Intinya, Mgr. Renzo memintanya datang ke Kedutaan.

Usai menerima telepon itu, anggota Dewan Pimpinan Provinsi MSF ini merasa heran. Apa urusannya dengan Kedutaan? Apakah selama ini dirinya telah melawan ajaran Gereja? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul secara liar di benaknya.

Pada Sabtu, 29 Januari 2001, Pastor Sutrisnaatmaka bertemu Mgr. Renzo. Dalam pertemuan itu, Mgr. Renzo memperlihatkan surat dari Paus Yohanes Paulus II. Isinya, “Pastor Sutrisnaatmaka ditugaskan sebagai Uskup Palangka Raya”.

Membaca surat itu, perasaannya tak menentu. Ia belum pernah sama sekali ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng) – meski sudah bolak-balik Kalimantan sejak tahun 1981. Spontan, ia menyampaikan alasan-alasannya supaya isi surat itu bisa dibatalkan atau diperlunak lagi. Misal, menjadi Administrator Diosesan saja dengan alasan utama kesehatannya. Tapi semua alasan itu dipatahkan Mgr. Renzo.

“Saya mengajukan permohonan untuk boleh menunda jawaban agar bisa berkonsultasi dengan Uskup Banjarmasin, Mgr. F.X Rocharjanta Prajasuta, MSF. Tapi sepertinya Mgr. Prajasuta ikut terlibat dalam proses ini,” ceritanya. Dalam konsultasi itu, Mgr. Prajasuta berpesan, “Memang rasanya tidak etis menolak tugas yang sudah dipercayakan oleh Paus.”

Walau perasaannya tidak tenang, akhirnya ia menerima tugas ini. Ia menyampaikan jawabannya pada 2 Februari 2001. Sejak itu, Palangka Raya memiliki uskup baru yang ditahbiskan pada 7 Mei 2001.

Iman dan Mentalitas

Sejak ditahbiskan sebagai uskup 20 tahun lalu, sulapan pertamanya merangkul semua imam diosesan dan imam religius dari berbagai teraket/kongregasi. Ia memilih seorang Vikaris Jenderal dari Serikat Sabda Allah (SVD) yaitu Pastor Stanis Ograbek, SVD. Ia tak ingin meninggalkan kesan adanya tarekat superior di Palangka Raya.

Ia ditahbiskan sebagai uskup di tengah situasi Palangka Raya yang mencekam. Pada 18 Februari 2001, pernah terjadi konflik etnis Madura-Dayak di Sampit yang menelan cukup banyak korban. Percik-percik konflik masih terasa, dan puncak konflik pada 9 Maret 2001. Jalan-jalan ditebari penghalang, batu, kayu, batang pohon, dan bau darah terasa menyengat di kota itu. Palangka Raya seketika menjadi kota mati.

Peristiwa ini begitu berkesan di sanubari Mgr. Sutrisnaatmaka. Program-program yang bertitik pada toleransi antarumat beragama mulai nampak. Ia berpastoral dengan umat kota sampai pedesaan dengan tingkat pendidikan, ekonomi, dan status sosial yang berbeda-beda. Di tengah pastoral itu, ia menasihati umat agar “tetap hidup dalam kasih karunia Allah” (Permanere in Gratia Dei) sebagaimana moto episkopatnya.

Untuk menyatukan visi dan misi keuskupan, ia mengadakan rapat kerja keuskupan yang diikuti semua petugas pastoral baik kaum tertahbis maupun awam. Sebelum rapat itu terjadi, selama setahun ia mengadakan perjalanan keluar masuk kota dan desa untuk mendengarkan keluhan dan kebutuhan umat.

Ia menemukan bahwa belum ada tanda-tanda adanya proses inkulturasi yang terbuka. Usaha-usaha yang dilakukan masih terbatas pada adaptasi, artinya pada proses penyesuaian antara iman Katolik dengan budaya di Kalteng. Tetapi belum sampai pada titik di mana iman sungguh merasuk dalam nafas kehidupan budaya orang Dayak Katolik. Walau begitu, iman Katolik sungguh sudah menjadi bagian integral dari kehidupan orang Dayak. Di antaranya, Katolik tidak lagi dianggap sebagai agama asing yang datang dari luar, tetapi sudah menjadi kekayaan orang Dayak Katolik di Kalteng.

Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka (tengah berjubah putih) besama kelompok umat di Trans Nusa Tenggara Timur di Palangka Raya.

Agak sulit menyimpulkan mentalitas orang Dayak. Karena mentalitas itu hanya bisa digambarkan dengan beberapa fenomena. Pertama, orang Dayak suka berbagi kemujuran atau rezeki kepada orang lain. Kedua, adanya sikap demokratis sebagai salah satu khazanah dalam Rumah Panjang (Beteng). Ketiga, mempunyai rasa hormat yang tinggi terhadap alam dan lingkungan. Empat, bagi orang Dayak musuh adalah mereka yang menyerang secara fisik. Kelima, perencaan hidup masa depan masih sangat sederhana. Keenam, manja pada kekayaan alam. Ketujuh, mudah tersinggung tapi menghormati tamu secara berlebihan. Kedelapan, kejujuran dan kepolosan orang Dayak dapat dengan mudah dimanfaatkan orang lain untuk menipu.

Dengan sedikit latar belakang tentang karakteristik serta mentalitas ini, Mgr. Sutrisnaatmaka membuat rencana strategis untuk menyusun Arah Dasar Pastoral (Ardas) Keuskupan Palangka Raya.

“Magis” Uskup

Gereja Katolik baru masuk di Kalteng tahun 1950-an. Meski cukup banyak orang Dayak menjadi Katolik, tetapi iman mereka belum sungguh-sungguh mengakar. Ritual “berbau” magis dan mistik masih kuat di tengah kalangan orang Dayak. Praktik belian (penyembuhan) juga masih menjadi kebiasaan mereka. Sakit tidak dilihat dalam terminologi medis, tetapi pengaruh “roh leluhur” yang tidak bersahabat.

Sementara Gereja mengajarkan, menjadi Katolik berarti menyerahkan diri kepada Kristus. Untuk menyatukan dua paradoks ini, butuh waktu panjang. Sebagai gembala utama, Mgr. Sutrisnaatmaka tidak patah arang. Ia membenah sistem dan menghadirkan wajah baru Gereja lewat berbagai katekese. Para petugas pastoral dipaksa “mengencangkan sabuk” dalam memberi pemahaman iman kepada umat.

Hasil paling nyata adalah perubahan pada aspek perkawinan. Perkawinan “kontrak” lama kelamaan mulai hilang, demikian halnya dengan perkawinan sepupu. Orang mulai melihat nilai luhur dari perkawinan Kristiani sebagai Sakramen. Perkawinan adat bukan lagi diurutan pertama; hanya pelengkap dalam upacara dan ketentuan adat.

Peristiwa-peristiwa kehidupan seperti kelahiran dan kematian sudah dikaitkan dengan peranan Tuhan, dan diwujudkan dalam liturgi suci. Penataan ekonomi keluarga mulai berdampak pada kesejahteraan. Masyarakat Dayak tidak lagi berpikir tentang hari ini. Mereka mulai merancang masa depan mereka. Kehadiran credit union (CU, Koperasi Kredit) yang dipelopori Gereja menjadi sumbangan nyata untuk pengelolaan ekonomi umat.

Dunia pendidikan juga menjadi fokus pengembangannya. Gereja terlibat mendukung semboyan pemerintah: Kalteng Harati, yakni program pemerintah untuk mempercepat mutu pendidikan. Gereja menghadirkan sejumlah beasiswa untuk menunjang pendidikan. Persekolahan Katolik menjadi mekar karena didukung penuh Gereja. Yayasan Siswarta dengan beberapa cabang yang menaungi puluhan sekolah dari TK hingga SMAK menjadi ikon di Palangka Raya. Total siswa tahun pelajaran 2018/2019 adalah 5.032.

Paling mengesankan adalah Palangka Raya memiliki Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Tahasa Danum Pembelum. STIPAS ini terakreditasi langsung dibawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Kementerian Agama Republik Indonesia. Sasaran utama STIPAS adalah menghasilkan guru agama Katolik dan katekis yang profesional; meningkatkan produktivitas penelitian dan pengembangan di bidang pastoral katekese; serta peningkatan daya saing program studi pendidikan agama Katolik di era globalisasi.

Demi menunjang tenaga pastoral, Mgr. Sutrisnaatmaka mengusahakan berdirinya Seminari Menengah Raja Damai Palangka Raya. Seminari ini berdiri pada 31 Juli 2002 dengan nama pelindung St. Bernardus. Berdirinya seminari ini dengan latar belakang pemikiran bahwa Gereja Palangka Raya merupakan bagian dari unsur masyarakat yang turut memikirkan perkembangan bangsa pada umumnya dan iman Gereja Katolik pada khususnya.

Mgr. Sutrisnaatmaka butuh tiga tahun setelah ditahbiskan untuk menetapkan Ardas lima tahun (2013-2017) Keuskupan Palangka Raya. Pada tanggal 22-27 Mei 2018, di Aula Magna, Jl. Tjilik Riwut, Km. 6, Palangka Raya, Sinode Perdana Keuskupan Palangka Raya digelar. “Mendewasakan Iman dan Meningkatkan Martabat Manusia” menjadi tema utama sinode ini. Sebanyak 143 orang yang terdiri dari uskup, para imam, biarawan-biarawati, petugas pastoral awam, dan kaum awam dari setiap paroki dan kelompok kategorial hadir.

Sinode ini ditutup pada perayaan puncak Pesta Perak Keuskupan Palangka Raya, 20-21 Oktober 2018. Beberapa hasil keputusan sinode adalah: pertama, meningkatkan iman dan katolisitas lewat pendalaman iman mengenai sakramen-sakramen. Kedua, pendampingan kelompok kategorial. Ketiga, meningkatkan kemandirian di bidang dana. Keempat, menggiatkan kegiatan di bidang karitatif (rumah sakit, balai pengobatan, dan sebagainya). Keenam, promosi panggilan menjadi tenaga pastoral. Ketujuh, melakukan advokasi terhadap kasus-kasus seperti lahan, perkebunan dan pertambangan; dan delapan, meningkatkan peran Komisi Justice Peace Integrity of Creatin.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No.18, Tahun ke-75, Minggu, 2 Mei 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here